2. Ragu?

14.6K 867 1
                                    

Langit berganti menjadi gelap, matahari pun telah kembali ke tempatnya. Waktu menunjukkan pukul 19.45 WIB. Terlihat seorang gadis yang tengah termenung di balkon kamarnya.

"Besok jadi ketemu dia?" monolognya pelan. Ia memikirkan sesuatu yang membuatnya gelisah.

"Nggak pa-pa kok, kan Dhira bisa tanya sama yang di atas," ujarnya untuk menenangkan hatinya.

Ya, gadis itu adalah Dhira. Ia tengah memikirkan nasib nya yang harus menerima sebuah perjodohan. Bukan apa, ia hanya takut laki-laki itu tak bertanggung jawab. Takut jika laki-laki yang akan menjadi suaminya hanya bermain.

Netranya menatap langit yang cerah dengan di hiasi bintang dan juga bulan, indah. Ia suka dengan bintang, karena ia akan tetap indah walau tanpa bulan. Sedangkan bulan, ia akan terlihat biasa tanpa adanya bintang. Seperti dirinya, yang tiada apa-apa nya tanpa Allah.

Bibirnya tersungging membentuk senyuman kecil. Ia ingat, dulu ia hanya menganggap Allah itu sepele. Namun, setelah mendengar kajian, ia mulai mendekatkan dirinya ke Allah. Masih kecil, sekitar umur 7 tahun ia berhasil dekat dengannya, hanya sulit untuk konsisten.

"Ya Allah, Dhira serahkan semua kepada engkau, karena Dhira percaya semua yang engkau beri adalah yang terbaik untuk Dhira."

Angin malam membuat dirinya malas beranjak dari duduknya. Pemandangan dari balkon kamar Dhira sangat indah, karena balkon itu langsung menghadap ke arah taman kecil samping rumahnya.

"Dhira, makan malam dulu."

Mendengar suara itu, Dhira menoleh, senyum lebarnya terbit. "Abi," panggilnya seraya beranjak dari duduknya. Ia menubruk tubuh tegap sang Abi yang memang selalu menjadi tempat ternyaman nya.

"Kenapa?" tanya Abi dengan tangan yang mengelus kepala putrinya.

Dhira menggeleng, ia hanya ingin membuat banyak kenangan sebelum menjadi milik orang lain.

"Hei, sayangnya Abi kenapa nangis?" tanyanya panik ketika mendengar isakan kecil.

"Dhira belum siap nikah, nanti Dhira jauh dari Abi," balas Dhira dengan suara teredam.

Fadlan, Abi Dhira hanya mengelus lembut punggung putrinya. Putri kecilnya yang sangat ia sayangi. "Abi tetap di sini, pelukan ini akan selalu menjadi milik Dhira. Kita tidak akan jauh, kamu juga bisa sering-sering main ke rumah."

Dhira mendongakkan wajahnya, menatap sang Abi yang justru tertawa kecil. "Jangan ketawa!" serunya kesal.

Abi menjawil hidung kecil Dhira. Bagaimana ia tidak tertawa? Wajah manis itu basah air mata, hidungnya memerah, matanya juga masih berair, dan bibirnya yang mengerucut.

Tangannya menghapus jejak air mata di wajah putrinya. "Sudah, jangan nangis. Turun yuk! Di tunggu Ummah loh."

Dengan lesu Dhira mengangguk. Berjalan beriringan dengan sang Abi menuju meja makan. Ini lah rutinitas nya, tidak makan jika bukan Abi nya yang memanggil.

.....

Pagi ini Dhira berjalan santai di koridor sekolah yang cukup sepi, karena hari ini ia berangkat cukup pagi. Sesampainya di kelas, ia segera melaksanakan tugas piket nya.

Tak berselang lama, kelas semakin ramai. Ia hanya duduk di tempat duduknya seraya membaca novel yang di berikan Abi nya kemarin.

"Dhiraaaaa."

Teriakan itu membuat atensi nya beralih menatap sang sahabat yang berjalan memasuki kelas, tak lupa dengan senyuman manisnya.

"Tumben udah sampe? Biasanya juga mepet bel," ucap Fellin ketika sudah duduk di tempatnya, tepat di depan Dhira.

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang