39. Hadiah

8.5K 472 14
                                    

Pagi ini rumah sederhana Alzam dan Dhira sangat ramai. Kedua orang tua Dhira, Papa Alzam, Oma Alzam dan adik Alzam berkumpul menjadi satu weekend kali ini. Dan pagi ini, El sudah membuat keributan sampai membuat semua orang kebingungan. Bocah kecil yang sebentar lagi menginjak umur 5 tahun itu hilang begitu saja.

"Al, bantu cari! Kamu itu, ya!" Oma berkacak pinggang di depan cucu sulungnya ini. Bukannya membantu mencari adiknya yang hilang, Alzam justru sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Nanti pasti balik sendiri, Oma," balas Alzam terlewat santai. Semua orang memasang wajah cemasnya, Alzam justru memasang wajah datar seperti biasa. Pikirnya, kemana juga bocil itu hilang, gerbang depan dan belakang di kunci, jadi kemungkinan masih ada di sekitar sini.

Oma yang melihat itu kesal dan langsung menjewer telinga Alzam. Suara Alzam yang mengaduh kesakitan membuat orang-orang berkumpul di ruang tamu. Dhira sendiri tidak peduli, perempuan itu ikut kesal melihat sikap santai sang suami.

"Sayang, tolongin dong. Telinga aku hampir lepas ini," rengek Alzam, mengundang pandangan malas setiap orang di sana. Tadi saja santai, sekarang berubah menjadi kucing yang takut pada ibu nya. Tapi, hal ini membuat Papa Alzam tersenyum dalam hati. Putranya akhirnya tidak secuek dan sedingin dulu.

Melirik sekilas, Dhira memilih duduk dan mengabaikan rengekan demi rengekan Alzam. Setiap hari hidupnya diisi oleh suara rengekan dari bayi besarnya. Dhira pernah berpikir, bagaimana hidupnya jika sudah memiliki anak? Apakah ia harus mengurus dua bayi? Satu bayi besar, dan satu lagi memang bayi.

"Oma, telinga Alzam bisa lepas dari tempatnya." Seolah tidak mendengar ucapan cucunya, Oma melepas begitu saja telinga Alzam yang sudah memerah. Wanita itu mendekat pada cucu mantunya dan mengobrol santai, melupakan El yang masih belum ditemukan.

"Awas aja tuh bocil," geram Alzam pelan. Telinganya sangat panas, jeweran Omanya tidak pernah berubah dari dulu. Setiap kali ia berbuat salah atau nakal, pasti Oma akan menjewer telinganya sampai memerah. Meski Alzam meminta maaf beberapa kali pun, hati Oma tidak akan luluh. Tapi, Alzam tidak pernah menyesal karena sudah berubah nakal, hal itu wajar saja bagi anak kecil.

Kembali ke kegiatan awal, Alzam sibuk kembali dengan ponselnya karena tengah mengerjakan tugas. Sebentar lagi libur dan masih ada beberapa tugas yang harus ia selesaikan.

"OMAAAA!" Teriakan melengking dari arah pintu utama berhasil mengalihkan atensi semua orang. Mata mereka langsung melotot melihat penampilan bocah yang sedang menampilkan senyum manis. Bagaimana mereka tidak shock melihat bocah yang tadi pagi masih bersih kini sudah berlumuran lumpur. Wajahnya pun tidak terlihat, hanya gigi putihnya yang membuat orang tau bahwa bocah itu tersenyum.

"El punya sesuatu," katanya seraya menunjukkan tangannya yang dari tadi ia sembunyikan di belakang tubuh.

Lagi-lagi mereka semua dibuat terkejut melihat apa yang ada di tangan bocah penuh lumpur itu. Ayam jantan yang sepertinya sudah tidak bernyawa itu digenggam erat tepat di bagian leher. Sedang sang pelaku kekejaman itu tersenyum lebar, seperti habis mendapat hadiah.

"El," Suara lirih milik Dhira membuat El tersenyum. Bangga ketika ia berhasil menangkap ayam yang telah mengganggunya saat sedang bermain. "Itu ayam siapa?" tanya Dhira kebingungan.

"Punya Pak RT, tadi terbang dari tembok dan masuk ke sini. Terus dia ganggu El main, jadi El kejar terus El bawa biar dihukum Abang."

Bahu Alzam merosot mendengar alasan tidak logis meluncur dari bibir adiknya. Entah dulu Mamanya ngidam apa sampai adiknya nakal dan susah diatur. Sangat amat berbanding terbalik dengannya. Bohong ges.

Kaki kecil El melangkah mendekati sang Abang. Bibir kecilnya tersungging, tak sabar melihat ayam yang mengganggunya dihukum oleh Abangnya. Tapi, bukannya mendapat dukungan, El justru ditatap datar oleh Alzam. Refleks kaki El berhenti melangkah, takut melihat wajah dingin milik Abangnya. Apakah ia salah?

Alzam (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang