Juan tak lagi sekadar hidup setelah bertemu Niko, pengidap autisme yang baru kehilangan sosok ibunya. Hari-hari sebagai caregiver menuntunnya untuk mengenalkan dunia lama yang sempat terlupakan oleh anak itu. Melodi piano yang senada dengan perjalan...
• selamat membaca • bila suka boleh meninggalkan jejak yaa
/mulai oleng
😊😊😊
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sendiri, Juan memandangi kedua kakinya yang menginjak ruang kaprodi. Ia terus menunduk, menghela napas, dan berdecak. Tak tahu harus melangkah maju atau mundur. Ke samping pun tidak ada bedanya. Ia tetap berada di lingkaran yang sama. Tagihan yang melilit membuatnya harus menyatakan surat kesanggupan atau ia akan berakhir dipindahkan ke universitas lain.
Perlahan, ia duduk di salah satu kursi tunggu, menatap ponsel yang telah terbuka. Layar yang menunjukkan kontak Hendra terus ia amati hingga lelah dan pusing sendiri. Tidak menemukan solusi baru, ia pun memutuskan mengirim pesan yang seharusnya belum ia sampaikan, mengingat masa bekerjanya belum lama dan nominal yang ia mohon juga tidak sedikit.
Sebenarnya, datang ke sini saja sudah berat dan seakan menyalahi tanggung jawab. Dengan dalih menghabiskan waktu berdua, Juan mengiakan tindakannya untuk membiarkan Niko bersama ayahnya saja. Mungkin, memang benar Hendra menginginkan waktu khusus, tetapi Juan rasa hal itu hanya agar ia tak enak hati.
Lelaki itu lantas mengacak rambut dan menyandarkan kepalanya pada pinggiran kursi. Kembali berpikir, harus ke mana ia mencari sandaran. Hidup sendiri tanpa siapa pun yang dijadikan rumah tidaklah mudah. Mau seberapa pun ia berkata 'baik-baik saja', Juan tetap membutuhkan uluran tangan orang lain.
Sontak ia terperanjat saat ponselnya berbunyi. Terburu-buru Juan mengangkat telepon dan sedikit berdeham, menjernihkan kerongkongan yang sebelumnya telah lelah berbicara pada karyawan jurusan--juga pihak akademik.
"I-iya, Pak?" jawab Juan tergagap.
"Saya sudah transfer ke rekeningnya Mas. Coba dicek, ya."
Eh? Alis Juan bertaut. "Bapak dari mana tau rekening saya?"
"Dari Mas Dwi. Ini saya sama beliau. Lagi makan siang bareng. Nanti Mas ke sini juga, ya. Saya share lokasinya."
"Pak Hendra, saya--"
"Sudah, kalau mau makasih-makasihan, mending cepet nyusul sini. Saya tungguin."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Panggilan itu pun terputus. Juan langsung luruh dan memeluk lututnya. Ia menenggelamkan wajahnya di balik sana, bersembunyi dari banyaknya orang yang menatap. Sekejap saja, ia ingin menguras air mata, sebelum harus mengeringkannya kembali dan menyunggingkan senyum. Ia lantas bersyukur dan beranjak menuju musala terdekat.
Setelah menunaikan ibadah, Juan memesan angkot dan berhenti di area pemakaman umum. Kakinya yang mulai bergetar dipaksa terus berjalan, melewati makam-makam yang tak ia ketahui. Meski tak bertenaga lagi, mata Juan amat tertuju pada dua nisan yang berdampingan di sisi kanan. Ia lekas duduk tanpa alas dan membaca nama ibu dan adiknya yang tertera di sana.
Tanpa banyak bicara, Juan memanjatkan doa. Tidak ada bunga, tidak ada air, lelaki itu benar-benar hanya membawa dirinya dan seluruh pengharapan terbaik yang bisa ia katakan pada Tuhan. Dalam diam, ia menutup mata, menghayati seluruh kalimat yang memanggil memori lama.
"Ringankanlah, tempatkan mereka di sisi terbaik-Mu, dan sampaikan kabar bahwa hamba selalu merindu di setiap malam."
Juan pun berdiri, sejenak menarik napas dalam-dalam sambil menatap makam dua orang yang sangat berarti di hidupnya. Kemudian ia beranjak ke tempat yang Hendra maksud.
Setiap berkunjung, ia memang jarang mengeluhkan hari, menyesali nasib, atau mempertanyakan alasan Tuhan memisahkan mereka dan membuat Juan sendirian di dunia ini. Lelaki itu hanya berhenti sesaat, mendoakan setulusnya, lalu kembali pulang. Bukan tak ingin menghabiskan waktu, melainkan Juan menghindari pikiran negatif yang bisa muncul kalau terus-menerus bersampingan dengan makam ibu dan adiknya.
Kali ini menggunakan ojek motor daring, Juan menuju tempat makan siang yang cukup besar. Suasananya pun ramai, sampai ia bingung harus menoleh ke mana. Untunglah, Hendra yang tak jauh dari pintu masuk lekas melambaikan tangan dan membuatnya menemukan mereka.
"Kak Juan!" Niko segera menghampiri Juan dan memeluknya. "Eh, basah."
Juan mengusap kemejanya yang menjadi korban derai air mata. "Iya, maaf, ya. Niko udah makan?"
Teralihkan, Niko mengangguk. "Ayo, makan juga."
Juan mengiakan saat anak berpakaian santai itu menarik tangannya. Ia lekas menyalami Hendra dan Dwi yang menatapnya riang.
"Pak Hendra, makasih banyak atas bantuannya. Makasih juga, Bang," ucap Juan pada Hendra dan Dwi bergantian.
"Santai aja, yang penting kuliahmu lancar dulu. Masalah gantinya nanti bisa disesuaikan sama gaji. Iya, kan, Pak?"
Hendra menyetujui kalimat Dwi. "Iya, lagian saya nggak keberatan kalaupun nggak diganti. Selama itu bermanfaat buat Mas Juan. Toh, bagi saya sebenarnya uang segitu nggak seberapa. Misal memang Mas lebih membutuhkan, saya ikhlas."
"Terima kasih, Pak, tapi saya nggak bisa menerimanya secara cuma-cuma."
"Kan, saya bilang juga apa, Pak." Dwi terkekeh, lalu menghabiskan minumannya.
"Ya, sudahlah. Saya ngikut Mas Juan aja nanti gimana, yang penting dari saya sendiri nggak cepat-cepat nagih. Bagi saya, cukup Mas asuh Niko dan bikin dia seceria waktu sama ibunya dulu, lebih dari sekarang, itu sudah cukup."
"Insyaallah, saya pasti usahakan, Pak."
Hendra menepuk bahu Juan dan tersenyum yakin. "Saya percaya sama Mas."
Dua lelaki tersebut lekas mengalihkan pandangan ke arah Niko. Anak yang asyik memainkan game musik itu tampak menikmati alunan lagu yang didengar melalui headset. Rona wajah Juan kembali merona dan hatinya menghangat. Benar, ia tidak perlu jauh-jauh dalam mencari obatnya.
"Saya akan mencoba mengajak Niko mengenal dunia lamanya, Pak."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DAY 19 6 Maret 2022
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.