BAB INI BELUM PERNAH DIPUBLIKASIKAN DI WATTPAD
Dekor panggung bertulisan 'Selamat Hari Orang Tua' telah dihias cantik. Acara yang diadakan di aula utama SMA Noble itu telah dipenuhi wali murid dari seluruh angkatan. Penampilan demi penampilan berhasil memukau hingga tepuk tangan pun menggema.
Lain hal dengan Kevin. Dibanding semangat, ia justru mengentak-entakkan kakinya gugup. Berkali-kali ia menggigiti jari, terlebih saat mendengar pembawa acara menyebutkan kelas selanjutnya. Juan yang melihat itu lantas mendekat dan menawarkan segelas air, berpikir bahwa meminumnya akan membuat Kevin tenang. Namun, nyatanya tidak ada hasil yang berarti.
"Gimana ini, Kak?" Kevin terus mengucapkan kalimat yang sama sedari tadi. "Aku nggak hafal liriknya. Salah-salah mulu."
Juan menepuk pundak Kevin dan sedikit menekannya lembut. Anak yang berjas hitam-putih dengan pita merah itu sontak diam dan menatap lekat. Getaran di kakinya perlahan mereda.
"Kamu tenang, ya. Kalau emang nggak hafal, nggak apa-apa. Niko, kan, nyanyi juga."
"Tapi kalau Niko nggak hafal juga gimana? Kan bisa kacau."
"Vin," Juan tersenyum menoleh ke arah Niko yang berjongkok menghadap dinding, "kamu percaya aja sama dia, ya."
Kevin turut mengamati Niko, seperti yang Juan lakukan. Ia kemudian mengangguk dan menghela napas panjang. Juan pun mengacak rambutnya yang langsung ditata kembali agar tidak berantakan.
"Nikmati momennya, Vin. Lagunya memang penting, tapi kebersamaan kalian di panggung itu jauh lebih berharga. Jadi, jangan sampai karena terlalu memikirkan lirik, kamu menyia-nyiakan kenikmatan tampil dengan sabahatmu sendiri. Oke?"
Kevin mengiakan, lalu memeluk Juan. "Makasih, Kak."
Niko sudah selesai memberi makan semut, juga selesai berbincang dengan mereka. Ia lekas beranjak dan mengucap kalimat perpisahan. Saat ingin kembali, ia mendapati Kevin dan Juan berpelukan erat. Tidak mau kalah, ia lekas berlari-lari kecil dan memeluk dua lelaki di dekatnya itu.
Juan sempat terkejut dengan gerakan tiba-tiba tersebut, tetapi ia tak mempermasalahkannya. Ia melepas pelukan Kevin dan merentangkan tangan untuk kali kedua, yang disambut hangat oleh Niko dan Kevin. Ketiganya tersenyum dan makin semangat seolah energi tubuh mereka terisi penuh.
"Niko dan Kevin siap-siap, ya. Setelah dua penampilan nanti giliran kalian," ucap salah satu panitia.
"Ah, iya. Makasih, Kak."
Mendengar itu, Juan refleks mengeluarkan ponsel dan mengecek notifikasi media sosialnya. Sayang, tidak ada pesan atau panggilan yang masuk. Ia mulai gelisah, tetapi tidak ingin menampakkannya.
"Niko," panggil Juan lembut, tetapi sang lawan bicara hanya tersenyum dan melanjutkan permainan jarinya dengan Kevin.
"Niko, Kak Juan keluar sebentar, boleh?"
Setelah mendapat anggukan, Juan keluar ruangan. Ia menghubungi Hendra yang belum membalas pesannya. Syukurlah, panggilan itu langsung mendapat jawaban.
"Halo, Mas. Saya masih di jalan. Macet."
Juan mendengkus. "Semoga bisa tepat waktu, ya, Pak. Dua penampilan lagi giliran Niko."
Tidak banyak yang Hendra katakan, Juan pun tak tahu harus merespons bagaimana lagi. Ia menutup telepon dan memanjatkan doa, memohon pada Tuhan agar orang terpenting di dalam hidup Niko dapat mendengar suara hatinya walau sekali saja.
Menit demi menit berlalu, pembawa acara telah memanggil nama Niko dan Kevin yang mewakili kelas mereka. Juan segera meraih tangan dua anak itu dan mengajak mereka untuk berdoa lebih dulu. Kemudian ia tersenyum lebar.
"Semangat, ya. Kalian pasti bisa! Kakak lihat dari depan, oke?"
Niko dan Kevin kompak mengangguk. Mereka langsung naik ke panggung dan berdiri di depan instrumen yang akan dimainkan—gitar dan piano. Sontak tepuk tangan meriah menyambut mereka. Hal yang justru membuat jantung Niko berdegup tak karuan hingga ia pun menunduk. Namun, anak itu kembali mendongak setelah melihat lambaian tangan Juan di dekat panggung.
Kalau nanti Niko deg-degan, cari Kak Juan aja, ya. Tetap tersenyum, Niko pinter banget.
Pesan tersebut selalu Niko ingat. Ia lantas cengar-cengir, membuat Kevin bingung sendiri. Anak itu kemudian membuka salam dan memperkenalkan diri.
"Niko mau nyanyi buat Ayah," ucap Niko tiba-tiba.
"Iya," Kevin mengangguk semangat, "kami akan membawakan lagu berjudul Ayah karya Rinto Harahap. Selamat mendengarkan dan semoga dapat menikmatinya."
Kevin segera mengambil gitarnya dan duduk di kursi yang disediakan. Niko juga melakukan hal yang sama. Namun, ia segera berdiri lagi setelah melihat sosok yang dinanti-nanti.
"Ayah! Ayah!" teriaknya sambil melambaikan tangan. Senyumnya merekah sempurna.
Juan refleks menoleh, begitu juga para wali murid yang hadir. Ia lekas mengucap syukur dan menyambut Hendra yang tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Terima kasih, Pak."
"Belum terlambat, kan, Mas?"
"Aman."
Tanpa menunggu lagi, Kevin memetik gitar dan Niko menekan tuts pianonya. Melodi akustik yang berpadu indah itu membuat seluruh tatapan tertuju pada mereka. Semula, Kevin-lah yang melantunkan lirik-lirik lagu tersebut. Baru setelah Niko bertukar pandang dengan sang ayah, anak itu membuka mulutnya.
"Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi, walau air mata di pipiku."
Hening yang mendukung lagu itu membuat setiap baitnya menusuk relung. Hendra tak dapat menyembunyikan senyumnya, meski mata telah berkaca-kaca sejak kata 'ayah' terucap. Ia menitikkan air yang tak terbendung.
"Ayah ... dengarkanlah, aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi."
Tangis Hendra makin pecah. Tubuhnya terguncang, merasa apa yang didengar benar-benar ungkapan hati kecil putranya. Melihat raut Niko yang riang saat menemukan hadirnya hingga bisa bernyanyi untuknya membuat Hendra luruh. Wali murid yang bergantian menyaksikan Niko dan Hendra ikut terharu.
Juan mengeluarkan saputangan dan memberikannya pada Hendra. Lelaki di sampingnya itu menolak dengan gelengan pelan.
"Makasih, Mas. Saya nggak apa-apa. Ini tangis bahagia, kok. Makasih, Mas. Sekali lagi terima kasih."
Juan kebingungan karena Hendra berkali-kali mengucapkan kata yang sama. Meski tanpa menatapnya—karena sibuk melihat Niko, Juan tetap merasakan ketulusan dari ucapan tersebut.
"Saya hanya menawarkan saputangan, Pak."
Hendra menggeleng, lagi. "Lebih dari itu. Saya berterima kasih atas semuanya. Mas Juan adalah pengasuh terbaik yang pernah saya temui dan Niko miliki. Makasih, Mas."
Hati Juan seketika lapang dan ringan. Ia pun tersenyum dan mengangguk, tak lupa berterima kasih atas apresiasinya.
Setelah penampilan Niko selesai, Juan dan Hendra berjalan ke ruang tunggu siswa. Mereka menghampiri Niko dan mengajak anak itu—juga Kevin—untuk berfoto di photobooth.
Saat Kevin mencari bantuan pada panitia, Juan memberikan medali buatannya pada Niko sebagai hadiah. "Selamat, ya, Niko. Udah berani tampil di depan banyak orang dan nyanyi buat Ayah."
"Terima kasih, Kak Juan."
Juan memeluk Niko erat. Perjalanan pertama mereka telah sampai. Meski peluh dan luka senantiasa mengiringi, dekapan hangat di bawah atap sekolah ini memudarkannya. Nanti, pelajaran yang diterima akan terus berlanjut hingga garis-garis kisah lain menemukan ujung yang indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walk the Line ✔
Ficção AdolescenteJuan tak lagi sekadar hidup setelah bertemu Niko, pengidap autisme yang baru kehilangan sosok ibunya. Hari-hari sebagai caregiver menuntunnya untuk mengenalkan dunia lama yang sempat terlupakan oleh anak itu. Melodi piano yang senada dengan perjalan...