Juan tak lagi sekadar hidup setelah bertemu Niko, pengidap autisme yang baru kehilangan sosok ibunya. Hari-hari sebagai caregiver menuntunnya untuk mengenalkan dunia lama yang sempat terlupakan oleh anak itu. Melodi piano yang senada dengan perjalan...
• selamat membaca • bila suka boleh meninggalkan jejak yaa
/bersiap menghadapi kegemasan
😊😊😊
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semut yang berbaris bukanlah pemandangan langka. Namun, sosok yang berkali-kali menghitung jumlah pasukan pembawa remahan roti kering itu tampak menjadikan mereka sebagai objek pelipur kebosanan. Depan ke belakang, lalu balik lagi ke pemimpin yang paling besar, ia terus menunjuknya dari balik kaca. Sesekali ia berbicara pada si mungil yang tak kebagian membawa apa pun, mempertanyakan apakah hari ini ia bisa makan malam.
Seketika perutnya berbunyi. Ah, seharusnya ia tidak bertanya demikian. Mungkin, anak semut itu lebih mau membahas sampai mana arak-arakan mereka berhenti, berhubung cara jalan mereka mengingatkan Niko pada piknik libur semester di sekolah. Ia pasti mendapat hukuman sampai lapar di luar jadwal seperti sekarang.
"Kalau sudah sampai, makan yang kenyang, ya. Biar kamu cepat besar dan bisa menggantikan ayahmu. Nanti, kamu berdiri di sini. Paling depan."
Dua lelaki yang duduk berhadapan di sisi kanan sontak menoleh dan mengamati anak itu. Kompak, mereka perlahan menunjukkan senyuman yang dapat mencairkan suasana kaku di ruang konsultasi. Meski lirih, kalimat polos tersebut tidak dapat mereka abaikan, terlebih bagi sang ayah. Ingin ia beranjak dan mengusap lembut puncak kepala anaknya. Namun, ia tahan sampai semua pembahasan selesai.
Tidak apa-apa, Niko masih sabar menunggu. Lagu yang terputar di daftar favoritnya baru sampai urutan kelima. Ia lantas menyandarkan kepalanya pada kaca jendela dan menatap taman luar. Hanya rerumputan. Tidak ada bunga warna-warni seperti yang ia miliki di belakang rumah. Dalam diamnya berpikir, kalau ke sini lagi, ia akan meminta izin pada ayah untuk membawa belasan pensil warna dan melukis di sana.
"Hai!"
Seorang wanita berseragam biru muda mendekati Niko dengan langkah-langkah kecil. Ia menyembunyikan tangannya di belakang, berharap anak berkulit pucat itu penasaran akan sesuatu yang ia pegang. Namun, bukannya tertarik dan aktif bertanya layaknya pada semut-semut tadi, Niko justru balik badan dan mengetuk-ngetukkan jarinya di pinggiran sofa.
"Kalau Niko ngasih kelap-kelip dari kamar ke semut ini, apa mereka akan temenan sama kunang-kunang?"
"Niko pengin mereka temenan, ya?" Tak menyerah, wanita itu lekas berjongkok, lalu berjalan hingga tiba tepat di depan anak yang terus memainkan jari-jemarinya.
Hening sebentar, anak yang sekian detik menatap wanita di sampingnya itu berbisik, "Niko pengin punya temen."
Senyum hangat lantas terpancar tanpa tertahan. Meski gemas, wanita yang menggulung rambutnya itu tetap menjaga hasratnya untuk tidak memeluk Niko sembarangan. Sekadar mengusap kepala pun ia tidak berani. Hal yang ia lakukan hanya beralih menatap seorang ayah yang tak mengalihkan pandangannya pada sang putra.