• 33rd line •

259 27 5
                                    

BAB INI BELUM PERNAH DIPUBLIKASIKAN DI WATTPAD

Meski sulit dipercaya, Hendra benar-benar ingin Niko mengakhiri apa yang telah dimulai. Waktu, peluh, lelah hingga lara, semua dinegasikan hanya karena berdiri di titik rendah yang tak seberapa. Juan sepatutnya marah, tetapi ia hanya menarik napas dalam-dalam dan mencoba memandang dari sudut lain. Kalaupun egois diperbolehkan, hanya Niko-lah yang bisa melakukannya.

"Mas?"

Juan mendongak dan tersenyum tipis. Setelah terlalu lama mematung menatap lantai, ia baru sadar bahwa ada pendapat yang membutuhkan tanggapan. Hendra yang masih menunggu lantas kembali bertanya, membuat Juan mengusap wajah dan keluar kamar. Berbicara di dalam hanya akan mengusik lelap Niko.

Saat kembali ke ruang tamu, Juan spontan celingak-celinguk mengedarkan pandangan. Ia kemudian memanggil Ina yang kebetulan sedang menyapu di teras.

"Mbak Wulan udah pulang, Mbak?"

Ina menggeleng. "Salat kayaknya, Mas."

"Oh, makasih, Mbak."

Hendra duduk di sofa dan menyandarkan kepalanya, menatap lampu gantung yang berputar. Juan memilih mengambil tiga botol air minum kemasan di kulkas, sebelum ikut duduk dan membicarakan hal yang telah dimulai. Melalui pintu samping, Wulan masuk dengan lengan baju yang terlihat basah. Riasannya juga sedikit memudar. Wanita itu tersenyum dan membungkuk kecil, berjalan lebih dulu di depan Juan.

Kini, tiga orang dewasa yang peduli terhadap Niko duduk berdekatan. Juan dan Hendra berhadapan, sedangkan Wulan di sisi satunya. Mereka masih menikmati suara sapu lidi Ina yang bertabrakan dengan dedaunan. Belum ada yang memulai percakapan sebelum Juan berinisiatif membuka mulutnya.

"Mungkin sebelum membahas lanjut latihan atau nggak, Mbak Wulan bisa cerita dulu kenapa bisa di sini? Mengingat hari ini nggak ada jadwal."

Wulan menelan ludah. Sekejap, ia melirik Hendra yang juga menatapnya. Kemudian ia merapatkan kaki dan memajukan duduknya agar lebih dekat dengan dua lelaki di hadapannya itu.

"Maaf, Kak. Tadi saya ditelpon Pak Hendra untuk datang, jadi saya langsung kemari."

Juan mengangguk, mencoba memahami. "Makasih, ya, Mbak."

"Eh?" Wulan mengerutkan kening.

"Waktu yang bisa dipakai istirahat malah Mbak pakai buat ke sini. Saya berterima kasih atas itu."

"Nggak, harusnya Kak Juan marah aja. Jangan begini. Saya udah sadar, kok, secara nggak langsung latihan tadi bikin dia tertekan. Lagi capek-capek malah dipaksa main, padahal bukan jadwalnya. Sama saja saya merampas waktu bermain dan istirahat Niko."

"Seperti biasa Mbak bakal nyalahin diri sendiri."

Perlahan, Wulan mendongak, memandang Juan yang tersenyum tulus sambil membuka tutup botol minuman, lalu memberikannya untuknya. Hendra masih terdiam, mengamati percakapan dua pendamping putranya yang berusaha menyentil hati secara halus. Juan lantas mempersilakan Wulan untuk minum terlebih dulu.

"Saya berterima kasih karena Mbak udah datang ke sini, bukan karena mau ngajar Niko karena itu urusan lain. Saya nggak berniat menyalahkan siapa pun, kok, tapi kalau bisa jangan mengambil keputusan yang nggak ada hubungannya dengan akar permasalahan."

Juan berbicara santai. Ia menyodorkan minuman bermerek sama—dengan yang diminum Wulan—ke arah Hendra. Kedua lelaki itu lantas beradu pandang.

"Jadi, intinya gimana, Mas?"

"Hari ini Niko tantrum bukan karena nggak suka sama piano, Mbak Wulan, apalagi Pak Hendra, tapi karena udah mencapai limitnya. Dia capek, dan itu wajar bagi siapa pun."

"Kalau setiap capek kayak gini, bener lebih baik nggak usah, kan, Mas? Saya nggak tega lihat Mas dan Mbak harus kena imbasnya terus-terusan."

"Akarnya di capek, Pak, bukan di latihannya. Selama kita nggak maksa Niko buat main nonstop, kejadian ini nggak bakal terulang."

Hendra merenung, meresapi kata demi kata yang Juan ucapkan. Dari awal, memang ia-lah yang patut disalahkan. Berbagai alasan yang melatarbelakangi agaknya tidak ada yang bisa membenarkan. Ia tetap tidak berhak bertindak semaunya atas nama Niko. Lelaki itu refleks mengusap wajah dan memegang kepala, berpangku lutut.

Juan mengembuskan napas panjang. "Kalau ada yang nggak sreg, dinginkan kepala dulu, Pak. Jangan karena satu kesalahan, semua usaha yang susah payah dilewati langsung terlupakan gitu aja. Niko udah mulai bersahabat lagi dengan piano. Kalau boleh saya memohon, tolong libatkan perasaannya dalam hal ini."

"Maaf, Mas, Mbak." Hendra menunduk dalam. "Saya terlalu egois."

Wulan menggeleng, sedangkan Juan segera beranjak dan duduk di sebelah Hendra. Ia menepuk-nepuk punggung lelaki yang jauh lebih tua darinya itu kemudian memegang bahu yang bergetar lemah. Penat yang seolah dapat menjalar ke tubuh Juan membuat lelaki yang semula hanya memikirkan Niko kini turut melihat perihnya batin Hendra. Setelah kerja tiada henti, ia pulang membawa antusias akan perkembangan sang putra, tetapi sayangnya berakhir merusak ekspektasinya sendiri. Tentu tidaklah ringan.

"Dikit lagi kita sampai, Pak. Jalanan ini emang nggak mulus, garisnya juga nggak lurus. Tapi setelah tiba di atas, lelahnya akan terbayarkan. Saya yakin itu ...."

Hendra mengangguk dan tersenyum. Ia berterima kasih, lirih. Juan bahkan tak dapat mendengarnya. Namun, ia paham. Berbicara saat ingin menahan tangis memang demikian. Setidaknya ia tahu bahwa lelaki di sampingnya itu telah memahami perkataannya.

"Kak Juan!"

Tidak hanya sang pemilik nama, Hendra dan Wulan juga ikut menoleh ke sumber suara. Niko dengan mata setengah terbuka tengah berjalan ke ruang tamu sambil mengusap wajah. Juan segera menghampiri dan menghentikan jalan Niko yang sempoyongan. Masih mengantuk, pikirnya.

"Kenapa? Kok bangun?"

"Tadi Lala udah dikasih makan belum, ya?" Seolah lupa dengan kejadian sebelumnya atau memang masih separuh bermimpi, Niko mengkhawatirkan tanamannya.

Juan tertawa kecil dan sedikit membungkuk. "Mbak Ina yang ngasih makan. Kita ke kamar lagi, yuk?"

"Sarapannya pakai apa?"

"Air PDAM."

"Rasanya gimana?"

"Nyegerin, mungkin."

Sambil menjawab pertanyaan acak Niko, Juan menuntun anak itu masuk kamar. Ia kemudian menoleh dan tersenyum ke arah Hendra, seolah meminta izin untuk undur diri. Lelaki tersebut hanya mengangguk sebagai jawaban.

Juan kembali menidurkan Niko. Kali ini ia ikut berbaring di sampingnya. Tanpa sadar, ia memeluk Niko dan menenggelamkan wajahnya di bahu anak itu. Tak disangka-sangka napas yang terdengar teratur mampu menenangkan pikirannya yang sempat kacau.

Setelah diucapkan, Juan baru kepikiran. Apakah kalimatnya terlalu menyakiti? Bagaimana kalau Hendra tersinggung? Ia bisa canggung setengah mati. Namun, setelah mendapat balasan Niko berupa dekapan hangat, pemikiran itu tak lagi menghantui.

"Makasih, Kak Juan."

Anak itu mengigau. Entah apa yang tengah ia impikan. Juan menggigit bibirnya, menahan air mata yang hendak jatuh.

"Benar, nggak apa-apa. Makasih juga, Niko."

Ia telah melakukan yang terbaik. Biarkan luka-luka itu tumbuh bermekaran menjadi seni yang dapat dijadikan pelajaran. Siapa saja akan memakluminya.

Walk the Line ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang