On playing
Turbulence - Ateez
• selamat membaca
• bila suka boleh meninggalkan jejak yaa😊😊😊
Bukan salah hujan bila ayah-anak yang seharusnya pulang sejak setengah jam lalu masih terjebak di Me Home Care. Obrolan ramah-tamah dari Juan membuat Hendra betah meladeninya, baik sekadar mendengarkan maupun turut menimpali topik yang ada-ada saja. Kadang mereka menunduk, malu-malu. Kadang pula berbagi tawa yang tersamarkan derasnya hujan. Sesekali juga memperhatikan anak yang berjalan lebih dulu, menyusuri barisan semut yang kalang-kabut berkat angin yang amat ribut.
"Bener, lho, Mas. Saya tunggu hari Minggu."
Juan tersenyum sambil menautkan kedua tangannya di belakang. "Insyaallah, Pak. Setelah selesai pamitan, saya bakal cepat-cepat packing. Makasih sekali, Pak. Selain ke Bang Dwi, Bapak juga mau mempekerjakan saya, padahal selesai liburan nanti harus ngatur jadwal lagi."
"Nggak masalah, toh nanti si Niko juga masuk. Kalau di sekolah, kan, bisa kamu tinggal bimbingan. Lagi pula, kalian udah dekat. Saya bersyukur."
Belum bisa dikatakan demikian, tetapi Juan mengiakan pernyataan itu dalam hati. Ia berharap, apa yang Hendra pikirkan dapat menjadi doa yang mempermudah lembaran asingnya. Kalaupun tidak, lelaki berambut cokelat terang itu cukup berusaha guna mengabulkannya sendiri. Ia seketika tersenyum saat mengingat momen beberapa jam lalu. Andai kakinya tak melangkah dan berhenti tepat di depan tumpukan bebatuan yang disusun rapi, mungkin Niko tidak akan menyukai keberadaannya.
"Sebelum keluar, kebetulan tadi lihat dia mainan sendiri, Pak, jadi saya samperin."
Pandangan Juan lantas terpaku pada anak yang berjongkok di ujung koridor. Angin yang membawa air hujan sudah cukup berkurang. Ia tak perlu lari-larian untuk menjauhkan Niko dari hawa dingin ini. Sebaliknya, Juan membebaskannya dan hanya mengamati dari jauh sampai lupa cara berkedip--untuk beberapa saat.
Tiba-tiba hatinya menghangat. Detak yang tak dapat dijelaskan perlahan mengganggu dan membuat Juan menelan ludah. Tidak hanya itu, perutnya juga ikut bergemuruh tak karuan. Ia lekas menghela napas dan mengusap wajah. Selama sekian detik, bayangan yang tak seharusnya muncul tanpa permisi itu muncul dari sosok Niko. Juan menggeleng, menggumamkan kalimat bahwa ia hanya lelah dan butuh secangkir kopi hitam yang dicampur sedikit garam.
Anak yang masih mengobrol dengan para semut sengaja meneteskan es krimnya ke lantai. Niko pikir, mereka kehausan setelah perjalanan jauh, apalagi kali ini tidak ada remahan yang dibawa. Lapar yang melilit pasti terasa berkali-kali lipat. Setidaknya, ia dapat berbagi manisnya rasa vanila yang sedari tadi menetes ke kausnya.
Juan menyelami pemandangan itu cukup lama. Sampai-sampai Hendra tertawa kecil dan menggeleng pelan. Batin lelaki single parent itu makin yakin, meski tidak ada yang tahu bagaimana esok akan diukir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walk the Line ✔
Ficção AdolescenteJuan tak lagi sekadar hidup setelah bertemu Niko, pengidap autisme yang baru kehilangan sosok ibunya. Hari-hari sebagai caregiver menuntunnya untuk mengenalkan dunia lama yang sempat terlupakan oleh anak itu. Melodi piano yang senada dengan perjalan...