Juan tak lagi sekadar hidup setelah bertemu Niko, pengidap autisme yang baru kehilangan sosok ibunya. Hari-hari sebagai caregiver menuntunnya untuk mengenalkan dunia lama yang sempat terlupakan oleh anak itu. Melodi piano yang senada dengan perjalan...
• selamat membaca • bila suka boleh meninggalkan jejak yaa
😊😊😊
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jendela yang menampakkan derasnya hujan menjadi objek menarik bagi Niko. Papan tulis di depannya diabaikan sedari tadi, toh guru yang mengajar kelasnya sudah izin keluar lebih dulu. Lain dengan para siswa yang memilih mendekam di ruangan dan menunggu sinar matahari mengalahkan awan hitam. Mereka bahkan tak beranjak sedikit pun dari tempat duduk. Hanya berbalik badan dan membicarakan hal-hal acak pada teman bangku di belakang, depan, atau sampingnya.
Bukannya Niko tidak mau ikut-ikutan, hanya saja ia tidak sedang berselera. Anak itu lantas berjalan keluar dengan ransel yang sudah dikemas. Ia juga sudah menata kursi dan mengunci loker, jadi tidak ada alasan lagi untuk tetap tinggal. Namun sayang, sosok yang ia pikir sudah menanti di tempat biasa belum menunjukkan batang hidungnya.
Kevin mengikuti dari belakang. Entah perasaannya atau bukan, ia merasa Niko lebih diam dari kemarin, bahkan seperti menjauhinya. Mereka memang masih bertukar kotak bekal dan ke perpustakaan bersama, tetapi Niko tidak banyak bicara--dibanding sebelumnya. Justru, hari ini Kevin-lah yang banyak omong dan kerepotan mencari bahan percakapan.
Melihat Niko memandangi tetes hujan dari atap sekolah, Kevin mengulurkan telapak tangannya, menampung air sebisa mungkin. Niko lekas menoleh memperhatikan aksi teman sebangkunya, tetapi tak langsung melakukan hal yang sama. Ia justru mendongak dan menatap langit yang belum mau bersahabat.
"Lo marah sama gue, ya, Nik?"
Niko tidak menoleh. Ia mendengar, tetapi mengabaikan. Anak itu mendengkus, menggumamkan lagu yang dipelajari beberapa kali hingga jari-jarinya terasa kasar. Tatapan Kevin makin layu hingga ia pun berdecak. Dalam hati berpikir, apa yang harus dilakukan agar senyum sahabatnya kembali?
"Kalau nyanyi bareng gue udah nggak bikin lo seneng, gue nggak masalah kalau harus mundur, Nik."
"Kak Juan sampai mana, ya?"
Kevin mengusap wajah dan rambutnya menggunakan tangan yang sebelumnya mewadahi tetesan air hujan. Ia kemudian meraih tangan Niko dan menggenggamnya, mengarahkan anak itu agar saling berhadapan. Semula, Niko tidak menolak. Akan tetapi, saat melihat binar mata Kevin, ia berubah pikiran dan mencoba melepaskan diri. Sayangnya, genggaman Kevin terlalu kuat.
"Gue minta maaf, oke?"
"Lepas, Kevin! Sakit!"
Sadar bahwa tindakannya keterlaluan, Kevin langsung menarik tangannya dan mundur dua langkah. Ia berkali-kali meminta maaf, atas hal ini dan hal yang tak ia ketahui apa tepatnya. Namun, Niko hanya menggeleng kecil dan mengusap lengan. Ia berbalik, lalu berjalan menjauhi Kevin.