Chapter 12

465 92 7
                                    

Halilintar terbangun dengan perasaan kecewa. Semula ia berharap, walaupun tidak bisa kembali ke dunia modern setidaknya ia bisa kembali ke sana dalam mimpi, tapi justru dirinya harus menelan kekecewaan saat menyadari ia tidak bermimpi apa pun. Sepertinya memang ia tidak ditakdirkan kembali walau hanya dari mimpi sekalipun.

Akibatnya, suasana suram menyelimuti Halilintar saat ini. Bibirnya ditekuk, kedua alisnya menukik turun. Ekspresi itu terlihat sangat jelek, tapi Halilintar tidak peduli.

Pikirannya berputar mengingat keluarga angkatnya di dimensi modern. Bagaimana keadaan mereka? Apa mereka baik-baik saja?

'Bagaimana bisa baik-baik saja? Mereka pasti sangat cemas!'

Halilintar memikirkan ayah angkatnya. Pria tua itu sangat menjengkelkan. Orang-orang mengatakan dia adalah pria tua yang ramah dan pemurah, tapi hanya Halilintar yang tahu betapa menyebalkannya pria itu.

Betapa tidak? Pria tua itu sering menjadi magnet masalah. Tidak ada satu tempat pun yang akan aman jika didatangi ayah angkatnya.

Pernah suatu waktu sang ayah pergi ke bank, rencananya ingin membayar pinjaman. Tahu-tahu bank tiba-tiba dirampok, ayah malah mendekati ketua perampok dan berkata dengan air mata bercucuran, "tidak perlu merampok saya, saya akan memberikan seluruh hidup saya padamu. Hidup saya sudah tidak berguna, KTP saya disita karena tidak bisa bayar hutang, istri saya lari dengan pria lain, anak-anak saya semuanya meninggal karena busung lapar, saya hanya ingin mencari tempat tinggal dan makanan, tidak masalah walaupun itu menjadi budakmu seumur hidup." 

Apanya yang istri lari dengan pria lain? Apanya yang meninggal karena busung lapar? Tiga anggota keluarga itu sedang menunggu sang ayah di toko dekat bank, bukankah itu sama seperti menyumpahi keluarganya sendiri?

Di waktu yang lain ayahnya sering keluar masuk kantor polisi, alasannya karena berkendara tanpa membawa kartu SIM, KTP, atau surat-suratan lainnya. Sifat alami sang ayah angkat adalah pelupa, itu sudah mendarahdaging dan tidak bisa diganggu gugat. Setiap kali berurusan dengan polisi, pasti yang jadi kambinghitam adalah Halilintar.

"Anak sulung saya baru keluar dari rumah sakit, kakinya patah, tapi tidak mau diperban, dia selalu bersikap baik-baik saja padahal dokter bilang akan mati satu tahun lagi. Mengetahui dia berangkat kuliah hari ini tentu saja saya cemas, makanya saya langsung pergi ingin membawanya pulang jadi lupa membawa surat-suratan penting. Pak Polisi juga seorang pria, tidak tahu sudah menjadi ayah atau belum, tapi setelah jadi ayah, Pak Polisi pasti akan merasakan kesulitan yang saya rasakan saat ini."

Ekspresi pria tua itu benar-benar tampak menderita, bahkan polisi tidak sanggup melihatnya sampai tidak menyadari kejanggalan ucapan si ayah.

Kenapa patah kaki sampai diprediksi hanya bisa hidup satu tahun lagi?

Pada waktu itu Halilintar sedang ada jam kuliah dengan dosen perempuan idolanya, tiba-tiba mendapat panggilan ayahnya di kantor polisi langsung disuruh datang. Tahu-tahu sang ayah malah menendang kakinya tanpa sepengetahuan si polisi setelah ia sampai, belum lagi tendangan si ayah angkat tidak bisa diremehkan. Tanpa peringatan apa-apa langsung bersandiwara seolah Halilintar yang salah membuat ayahnya cemas, jadilah polisi menceramahinya satu jam penuh untuk selalu menjadi anak yang patuh.

Waktu yang lain di kantor polisi yang berbeda, "anak saya belum pulang sejak dua hari yang lalu, saya sudah mencarinya ke mana-mana tapi masih belum ketemu. Dia itu sudah dewasa tapi sangat penakut, tidak bisa tidur kalau tidak ada saya di sisinya. Saya sangat cemas, isi pikiran saya penuh dengan anak sulung saya, bagaimana saya bisa ingat KTP kalau begini keadaannya? Bahkan berpakaian pun dipakaikan mertua saya, kalau sampai hari ini anak saya tidak ditemukan, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan pada mendiang istri saya kalau saya mati nanti."

The King (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang