Chapter 3

1.6K 183 62
                                    

Gempa tersentak bangun dengan tiba-tiba. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dadanya naik turun, meraup oksigen dengan rakus seakan udara bisa meninggalkannya kapan saja. Tubuh yang masih dalam masa pertumbuhan itu bergetar, kedua tangannya saling mengepal hingga ia bisa merasakan ujung-ujung jarinya mendingin. Sepasang iris cokelatnya bergulir ke segala arah dengan liar, mencoba memastikan jika ia benar-benar berada di tempat yang aman.

Barulah ketika ruangan bernuansa emas yang familier menyapa indera penglihatannya, secara berangsur-angsur ia mulai tenang. Nafasnya mulai terkendali, tubuhnya tidak lagi bergetar, tetapi tak bisa dipungkiri jika keringat dingin masih merembes dari pori-pori kulit.

"Dia berhasil," Gempa berbisik lirih, suaranya yang serak tak bisa menyembunyikan suka cita di balik nadanya, "dia benar-benar berhasil."

Beberapa tetes air mata melompat keluar dari sepasang iris violetnya, menyadari tidak lagi ada rasa sakit di seluruh tubuhnya. Secara perlahan ia tersenyum, sudut bibirnya berkedut menahan luapan rasa gembira yang tak bisa diutarakan. Hanya Gempa yang tahu, betapa ia telah kehilangan banyak harapan sebelumnya. Sekarang, setelah melihat semua ini, Gempa tidak bisa menghentikan air matanya.

Di tengah kegelapan dini hari, Gempa menangis tanpa suara, melupakan citranya sebagai seorang pangeran. Dari bibirnya yang terus tersenyum meski tampak gemetaran, dapat terlihat bahwa ia tidak menangis karena sedih. Sebaliknya, kebahagiaan yang membuncah dalam hatinya terlalu besar, hingga membuat air matanya terus mengalir tanpa henti.

Barulah setelah cukup lama ia larut dalam tangisannya, Gempa mengusap wajahnya perlahan, menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Ia perlu memastikan sesuatu.

Tanpa peduli dengan penampilannya yang baru bangun tidur, Gempa segera membuka jendela kamarnya, mengabaikan angin dingin dini hari yang menyeruak masuk menyapa kulit wajahnya. Ia tersenyum, hembusan angin yang menyapa terasa begitu damai, menghantarkan perasaan nostalgia dalam hati.

Tidak pernah Gempa merasakan rasa senang sebesar ini, seolah semua beban dalam hidupnya terangkat seketika, menghantarkan perasaan hangat dengan harapan baru yang tumbuh dalam dada.

Tak ingin membuang waktu, remaja berusia lima belas tahun itu segera melewati jendela dalam sekali lompatan, mendarat mulus di luar kamar yang langsung terhubung ke taman, tanpa menimbulkan suara sekecil pun.

Memastikan tak ada yang melihat dirinya, dengan penuh kehati-hatian Gempa mengendap melewati taman, berusaha menahan semua gejolak ketidaksabaran yang berkecamuk dalam dirinya.

Area taman yang dilewati Gempa dipenuhi dengan hamparan bunga bermacam warna, memadati setengah dari lahan yang ada, menyisakan beberapa ruang yang ditanami pohon anggur yang lebat.

Mendekati salah satu pohon anggur di dekat tembok pembatas, remaja itu segera menaikinya dengan cepat seolah ia sudah sangat terbiasa melakukannya. Tak sampai hitungan ke sembilan belas dirinya telah sampai di puncak tertinggi pohon anggur, memungkinkan ia untuk mencapai bagian atas dari tembok pembatas.

Dalam sekali lompatan, Gempa telah mencapai ujung tembok, bergelantungan beberapa saat sebelum ia menaiki tembok dan melompat turun.

Gerakannya yang mulus membuktikan betapa terbiasanya ia melakukan hal itu, bahkan tidak terganggu sedikit pun dengan kenyataan jika tinggi tembok yang ia lompati seukuran lima belas kaki.

Tempat di balik tembok pembatas yang kini dipijaknya jauh berbeda dari apa yang ditemukan di sisi lain tembok. Alih-alih sebuah taman bermacam bunga dengan beberapa pohon anggur yang tinggi, tempat itu ditumbuhi lebih banyak pepohonan.

The King (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang