Chapter 20

363 69 3
                                    

Baik Halilintar maupun pria tua berjubah merah muda sama-sama mengalihkan pandangan ke sumber suara, hanya untuk menemukan seorang pria paruh baya duduk bersila di salah satu cabang pohon tinggi yang tak jauh dari keduanya.

Pria itu memakai pakaian putih dengan jubah senada, di punggung lengan jubahnya terdapat gambar naga bersayap yang dirajut dengan benang emas, menyampaikan getar kharismatik yang membuat orang lain merasa segan ketika melihatnya.

Naga ... itu adalah lambang otoritas tertinggi. Tidak sembarangan orang diperbolehkan memakai pakaian dengan lambang itu, apalagi lambang yang dibuat dengan benang emas atau semacamnya.

Tidak salah lagi, orang ini pasti ...

"Suatu kebanggaan dapat bertemu dengan Yang Mulia Kaisar di tempat seperti ini, bawahanmu ini memberi hormat untuk Yang Mulia," belum selesai Halilintar menyimpulkan, pria tua berpakaian merah muda itu telah lebih dulu membuka suara, ia menundukkan sedikit tubuhnya dengan tangan kanan di depan dada kiri, memberi penghormatan.

Pria berjubah putih yang dipanggil Kaisar mengangkat tangan, memberi perintah tanpa kata agar pria tua itu kembali berdiri tegak, "Senior, siapa budak kotor ini?"

Jika semula Halilintar terpana melihat penampilan agung sosok di atas pohon itu, kini ia justru merasa jengkel hanya dengan mendengar pertanyaan yang diajukannya, "budak kotor? Budak? Kau memanggilku budak?"

Terkejut dengan nada tinggi si remaja, pria tua itu dengan kejam memukul belakang kepala Halilintar, "bodoh! Kau baru saja berteriak pada Yang Mulia Kaisar?"

Sembari meringis menahan sakit, Halilintar melengoskan wajah dengan kesal. Jadi orang ini Kaisar? Apakah itu artinya dia adalah ayahnya?

Halilintar kembali menatap pria berjubah putih yang tak bergeming dari tempatnya. Perawakan pria itu tampak tegap meski ia tengah duduk, punggungnya lurus dan kokoh dengan kedua pundak lebar yang terlihat kuat. Kedua mata hijaunya bersinar dengan ketegasan yang sulit diabaikan, dipadukan dengan hidung mancung yang runcing dan rahang yang kuat, membentuk figur wajah seorang bangsawan dengan keagungan yang nyata.

Walau jarak antara Halilintar dengan pria itu terpaut beberapa meter, tapi ia bisa merasakan aura penindasan dari sosok itu yang seolah menekannya untuk tunduk.

Seperti inikah kharisma seorang Kaisar?

"Hey, kenapa masih belum meminta maaf juga?" geram karena bocah kotor di depannya belum juga membuka suara untuk memperbaiki kesalahannya, pria berjubah merah muda itu kembali memukul kepala Halilintar di tempat yang sama.

"Sakit, Pak Tua Banci!" Halilintar bukan orang dengan kesabaran yang tinggi. Mentolerir pemukulan pertama pria tua itu mungkin adalah suatu pencapaian yang besar, tapi jika pemukulan kedua, maka ia tidak akan bersabar. Namun, belum sempat memberi balasan untuk pak tua berjubah nyentrik, suara sang kaisar kembali terdengar.

"Senior, kau belum menjawab pertanyaanku," nada yang dikeluarkannya begitu dingin, membuat punggung Halilintar merinding tanpa sadar.

"Menjawab pertanyaan Yang Mulia Kaisar, dia hanya anak kecil yang tersesat. Mohon Yang Mulia tidak perlu mempermasalahkannya, bawahanmu ini akan memberi pelajaran untuknya secara pribadi," walau kaisar memanggilnya senior, pria berjubah pink itu tetap memahami statusnya. Mereka mungkin pernah menjadi senior-junior selama masa akademi, tapi bukan berarti ia bisa mengabaikan posisi seorang kaisar hanya karena hal ini. Tentu, kaisar selalu menjadi otoritas tertinggi yang harus dihormati.

Halilintar benar-benar tidak senang. Sejak bertemu pria jubah pink ini dirinya selalu dihina, walau di dimensi modern dirinya kenyang dengan segala macam hinaan, tetap saja terlalu kenyang juga tidak baik, bukan?

The King (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang