Chapter 2

1.8K 193 68
                                    

"Aku tidak akan pernah bersikap baik padamu, di kehidupan selanjutnya!"

Halilintar terbangun. Dalam sekali hentakkan ia langsung mendudukkan dirinya, merasakan seluruh tubuh bergetar tanpa kendali. Keringat dingin mengucur membasahi alis hitamnya yang rapi, hampir mencapai bulu mata, tapi ia tidak memiliki inisiatif untuk menyekanya. Sepasang iris merahnya yang khas terbelalak, bergulir ke sana ke mari dengan penuh antisipasi, berusaha mengenali tempat dirinya berada.

Ada gejolak rasa takut yang sulit diungkapkan ketika ia melihat suasana gelap di sekelilingnya. Apa ini? Apakah ia telah mati?

"Yang Mulia, ada apa?" seorang pria muda keluar dari kegelapan di sebelah kiri, berjalan mendekati Halilintar dari satu sisi. Wajahnya yang tersinari cahaya bulan dari celah gorden tampak menyiratkan kekhawatiran.

Kehadiran pria itu membuat Halilintar semakin membelalakkan mata, tubuhnya bergetar lebih kuat hingga ranjang empuk yang ditempatinya ikut bergerak. Ia segera melompat ke sisi ranjang yang lain, mengambil jarak jauh dari sosok yang tampak blur di matanya.

"Yang Mulia?" jelas pria itu merasa kebingungan. Kenapa tuannya ini terlihat seperti ...

"P-pergi! Pergi!" terlalu kesulitan menahan rasa takut yang menyesakkan, suara Halilintar bahkan terdengar sangat lirih.

Beruntunglah pria itu memiliki ketajaman pendengaran yang baik, sehingga suara sekecil apa pun masih bisa didengarnya terutama di tengah kesunyian malam yang gelap.

"Yang Mulia tenanglah, ini saya, Sai," ia mencoba menjulurkan kedua tangannya sekalipun jaraknya dengan Halilintar terpisah oleh ranjang yang cukup untuk tiga orang, sebisa mungkin mengendalikan suara bass-nya untuk terdengar lembut tanpa ancaman bahaya.

Barulah ketika satu nama disebutkan, Halilintar membuka matanya yang entah sejak kapan terpejam. Ia memperbaiki fokus penglihatan, dan mulai bisa mengenali wajah yang entah kenapa cukup familier di ingatan.

"Sai?" Halilintar memanggil lamat-lamat, penuh keraguan.


Untuk situasi yang tidak ia mengerti, Halilintar merasa sangat mengenal orang bernama Sai ini, tapi di sisi lain ia sangat yakin tidak pernah berkenalan dengan orang ini.

Jadi, di mana ia pernah sangat mengenal dan memahami Sai?

Mengabaikan pikiran itu, Halilintar mendekat perlahan. Ujung jarinya menyentuh sisi ranjang untuk lebih membuatnya yakin, jika ia tidak sedang menjadi roh tak kasat mata. Ketika tekstur lembut dirasakan olehnya, ia terdiam dengan ekspresi rumit di wajah. Bingung, tidak mengerti dan terkejut, semua menghiasi sepasang iris merahnya yang berkilau di tengah cahaya temaram.

Jadi ia tidak mati?

'Tunggu! Kenapa aku berpikir kalau aku sudah mati? Bukankah sebelumnya aku menjalani kehidupanku dengan normal?'

Halilintar tidak mengerti, tapi sensasi berada di ambang kematian itu benar-benar terasa nyata hingga ia tidak yakin apakah dirinya masih hidup atau tidak, untuk itulah ia perlu pembuktian dengan menyentuh benda nyata.

Melihat tuannya mulai tenang, Sai berbalik mendekati meja di sebelah tempat tidur, menyalakan lilin kemudian mengambil gelas air yang bersinar di tengah terpaan api kecil dalam satu-satunya lilin yang menyala di ruangan itu. Dengan perlahan ia memutari ranjang untuk mendekati sang tuan, terlihat sangat berhati-hati seolah takut tuannya kembali ketakutan.

The King (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang