Chapter 34

911 81 21
                                    

"Buku lagi, buku lagi. Dasar nenek-nenek cerewet, nggak di dunia modern nggak di sini, semua ibu nggak ada yang nggak cerewet," Halilintar menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dengan kesal, mulutnya terus menerus menggerutu setelah kepergian sang ibu dari kamarnya.

Seperti apa yang ada dalam sekilas ingatan Halilintar, ibunya memang selalu mendatanginya sebelum memasuki tengah malam, memastikan ia menyelesaikan tugasnya dengan baik kemudian memberi beberapa petuah, lalu setelahnya pergi meninggalkannya dengan langkah yang arogan.

Sekarang, keberadaan sang ibu di kamarnya jauh lebih lama dari yang ia perkirakan sebelumnya. Tentu saja alasannya karena Halilintar sama sekali tidak bisa menyelesaikan tugasnya di hari ini, hingga membuat sang ibu mengomelinya tanpa henti.

Jika ibu angkatnya di dimensi modern terus mengomel dengan segala macam ekspresi sambil sesekali melayangkan panci, wajan, centong sayur atau apapun yang ada di sekitarnya, maka ibu kandungnya yang ini benar-benar melakukan omelan tingkat ningrat.

Maksudnya, sang ibu sama sekali tidak terlalu banyak bergerak sejak awal kedatangannya, ekspresi di wajahnya pun sama sekali tidak terlalu berlebihan. Ia hanya menampilkan raut datar nan dingin yang membuat Halilintar tidak berani menatap wajahnya dalam waktu yang lama. Belum lagi suara yang dikeluarkan sang ibu, setiap kata yang diucapkannya membuat punggung Halilintar berkeringat dingin.

"Tidak berguna! Bahkan hal sepele seperti ini saja kamu tidak bisa melakukannya? Benar-benar sampah!"

Itu adalah sedikit penggalan kalimat yang diucapkan sang ibu, dipadukan dengan ekspresinya yang dingin, suaranya yang tajam dan pandangan matanya yang menusuk, Halilintar sukses gemetar di bawah aura otoritasnya.

Ibu angkatnya juga sering mengejeknya, menyebutnya bodoh, pemalas atau bermacam julukan tidak mengenakkan lainnya. Tapi ekspresi dan nada yang diucapkan sang ibu benar-benar hanya menunjukkan bentuk amarah sesaat, Halilintar sama sekali tidak pernah memasukkannya dalam hati. Tentu saja ia tahu, ibu angkatnya adalah jenis wanita yang selalu mengutarakan isi pikirannya tanpa berpikir panjang, mulutnya yang pedas tidak pernah memiliki filter apapun. Apalagi saat marah, bahkan tetangga rumah mereka yang seorang mantan petinju galak sekalipun harus menyusut takut di hadapan mulut bebek ibunya.

Tapi ibunya yang ini berbeda. Apa yang diucapkannya terdengar begitu serius. Dia memanggilnya 'tidak berguna', 'sampah', atau panggilan lain yang merendahkannya, membuat Halilintar merasa dirinya memang seperti itu.

Harus ia akui, berada di dimensi ini tanpa memiliki ingatan yang lengkap, Halilintar sama sekali memang tidak berguna. Tapi apakah itu salahnya? Siapa yang ingin tinggal di tempat seperti ini sebenarnya? Bukankah akan lebih baik jika Halilintar tidak pernah ada di sini dan tetap hidup di dimensi modern bersama keluarga angkatnya?

Dengan begitu, ia bisa kembali pada kehidupannya yang damai ...

"Apa bagusnya sih buku-buku kuno ini? Udah mau robek, bau apek, tulisannya nggak jelas lagi," Halilintar mengambil satu buku yang disimpan sang ibu di atas meja samping tempat tidurnya, itu bertumpuk dengan sembilan buku yang lain. Ketika membukanya secara acak, ia menemukan tulisan-tulisan rumit yang sangat aneh.

Jauh lebih aneh lagi ketika Halilintar justru bisa membacanya.

"Huh?" membuka salah satu halaman, Halilintar memastikan jika ia benar-benar bisa membacanya.

"Hemisha tak punya pilihan, kasus pemberontakan itu telah diketahui seluruh rakyat Xinburg, membuatnya--eh?" Halilintar memiringkan kepalanya dengan bingung. Ia bisa membacanya? Benar-benar bisa membaca?

"Tunggu! Aku yakin aku tidak pernah mempelajari bahasa cacing ini, tapi kok ..." dipandanginya tulisan-tulisan rumit yang sekilas mirip cacing sedang reunian, mencoba mengingat kehidupannya selama dua puluh tahun di dimensi modern.

Benar, ia tidak jago dalam bahasa asing, bahkan ulangan bahasa inggrisnya saja selalu mendapat nilai angsa --alias angka 2, bagaimana bisa Halilintar membaca ini dengan mudah?

"Apa kemampuan membaca ini sudah ada sebelum aku hidup di dimensi modern?"

Jika dua puluh tahun ini dirinya tidak pernah mempelajari bahasa ini, maka hanya ada satu kemungkinan --ia pernah mempelajarinya di dimensi asalnya. Mungkin ... ingatan tentang bahasa ini telah mengakar dalam benaknya, hingga walau ingatannnya hilang, ia tetap masih memiliki kemampuan untuk membacanya.

Em ... teori seperti itu ... mungkin memang ada kan?

Mencoba memastikannya lagi, Halilintar kembali melanjutkan bacaan, "... menyadari jika nyawanya kini berada di ujung tanduk. Tapi yang tidak pernah ia sangka adalah, bahwa algojo yang bertugas memberinya hukuman mati adalah putra mahkota kerajaan Xinburg itu sendiri, Diego Shiferal, orang yang pernah mengikat sumpah untuk menjadi saudaranya. Tunggu! Ini ... ini ..."

Halilintar menatap halaman yang dibacanya dengan mata melebar, ia membolak-balik lembaran lainnya untuk memastikan tebakannya.

"Ini beneran novel?!" Halilintar sama sekali tidak percaya. Paragraf yang dibacanya barusan, bukankah itu seperti penggalan sebuah cerita?

Masih ingin memastikan lebih jauh, Halilintar mengambil ke sembilan buku lainnya kemudian membuka halaman pertama dari setiap buku.

"'Hidup dan Mati Ruddlestive' ... 'Legenda Tiga Keabadian' ... 'Panah Pengikut Iblis' ... 'Putra Mahkota Aishkara' ... Shit! Ini bener-bener-bener novel?"

Halilintar masih melebarkan matanya penuh ketidakpercayaan. Bagaimana bisa buku kuno, kucel dan lecek ini, yang tebalnya hingga beratus-ratus halaman, ternyata merupakan buku-buku novel? Bagaimana bisa ada novel di dimensi sekuno ini?

"Kalo tahu gitu, aku tidak perlu repot-repot cari cara buat kabur segala," ia merutuk dalam hati.

Kebenciannya pada buku sama sekali tidak termasuk novel. Andai ia tahu buku-buku yang dibawa ibunya ke sini berisi sekumpulan novel, maka Halilintar pasti akan dengan senang hati duduk anteng di dalam kamarnya bahkan jika ia harus dikurung selamanya sekalipun.

Sejak dulu Halilintar sangat menyukai novel dengan berbagai jenis genre. Malah ketika mendekati waktu ujian sekolah dan sang ibu berkoar-koar memerintahkan kedua anaknya untuk belajar, Halilintar akan dengan senang hati mendekam di kamar dan mengunci pintunya.

Ibunya selalu senang ketika Halilintar mampu bertahan berjam-jam di dalam kamar, sangat berbeda jauh dengan adiknya yang akan langsung merengek dan mencari begitu banyak alasan hanya untuk bisa keluar kamar setelah berada di sana tidak kurang dari lima menit.

Kalau saja sang ibu tahu, anak sulungnya ini bahkan tidak pernah membuka-buka buku pelajarannya sendiri ...

"Ah, lupakan! Aku masih punya banyak waktu untuk menghabiskan semua ini!" Halilintar menatap tumpukan buku di hadapannya dengan mata berbinar.

Baiklah, ia penasaran kisah seperti apa yang akan ditampilkan dalam novel-novel yang ditulis oleh orang-orang dimensi ini.

TBC

Nah, siapa yang 11 12 kayak Hali dalam urusan belajar? :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The King (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang