Chapter 4

1.3K 186 105
                                    

"Err ..." Gempa menatap Frost dengan canggung, "apa dia selalu tidur seperti itu?"

Yang ditanya menggeleng tanpa daya, "tidak tahu. Aku selalu datang sebelum dia tidur, dan menumpang tidur di tempatnya lebih dulu. Saat aku bangun, dia hanya akan tidur di kursi dan bertelungkup pada meja. Aku belum pernah melihatnya tidur di ranjang."

Di antara para pangeran, hanya Frost yang paling sering bertemu dengan Halilintar tanpa diketahui, itu karena kemampuan menyelinapnya jauh lebih baik dari siapa pun.

Gempa mendesah pelan, netra cokelatnya menemukan seorang remaja yang tertidur pulas. Posisinya tengkurap, sebelah tangan dan kakinya menjuntai hampir menyentuh lantai, tangan lainnya terentang dan kaki yang lain disangga sebuah bantal, sedangkan kepalanya terkulai begitu saja di sisi ranjang dengan sesuatu yang mengalir dari mulutnya. Iyuuh ... cairan apa itu?

"Tidakkah dia akan bangun? Harusnya dia mengalami hal yang sama seperti kita kan?" Frost mengerutkan kening, mengabaikan posisi tidur sang kakak yang mengganggu matanya, ia berjalan mendekati kursi panjang tempat biasa kakaknya duduk.

Gempa mengikuti dari belakang, ketika Frost mendudukkan diri di kursi, ia ikut duduk di arah yang berlawanan. Keduanya dipisahkan oleh sebuah meja dengan dua tumpuk buku di atasnya.

"Mungkin belum? Sebaiknya kita tunggu saja sebentar lagi," Gempa mengalihkan pandangan dari sosok yang tengah tertidur, kemudian mengambil salah satu buku yang bertumpuk dan membukanya.

"Sampai sekarang aku masih belum tahu, apa isi di dalam buku-buku ini?" ia mengernyitkan alis, menatap aneh deretan kalimat dalam buku yang terlihat seperti cacing-cacing meringkuk di matanya. Sungguh, tulisan di sana sangat asing hingga satu huruf pun tidak bisa dibacanya.

"Kak Hali pernah bilang padaku, isinya hanya dongeng," Frost menjawab santai, menggendikkan bahu saat Gempa menatapnya penuh tanya.

Dulu ia juga sama penasarannya dengan Gempa, berpikir mungkin isi buku-buku itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Tapi setelah mengetahui yang sebenarnya, Frost tidak lagi peduli.

Siapa yang mau menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk buku-buku dongeng?

"Dongeng? Sebanyak ini? Kak Hali selalu mendapat sepuluh buku setiap hari, masing-masing buku tidak kurang dari lima ratus halaman. Dongeng apa yang bisa memakan halaman sebanyak itu?" Gempa benar-benar tidak mengerti. Buku sebanyak dan setebal itu hanya berisi dongeng?

Frost mengendikan bahu, ia bukan orang yang akrab dengan buku, "aku tidak tahu, tapi Yang Mulia Ratu yang memberikannya untuk Kak Hali."

Seketika Gempa mengangguk paham. Halilintar pernah mengisyaratkan sesuatu padanya, jika Ratu ingin dirinya menjadi pangeran yang bodoh. Ternyata karena buku-buku ini.

Gempa menghela nafas, mengulas senyum miris. Dulu ia merasa sangat beruntung karena dirinya terlahir dari rahim seorang ratu. Ia, Halilintar dan enam saudaranya yang lain, semua dilahirkan oleh wanita nomor satu di Kekaisaran Elemental ini.

Siapa yang tidak akan merasa bangga karenanya? Memiliki seorang ibu yang lembut dan penuh kasih, bukankah itu impian semua anak? Tapi siapa sangka, di balik sikap penuh kasih sayang itu, sang ratu ternyata hanya menganggap satu orang di antara mereka sebagai anaknya? Mengabaikan tujuh orang lainnya untuk dijadikan pion yang akan dibuang di kemudian hari.

Bukankah ini terlalu sulit dipercaya? Andai Gempa tidak mengalaminya sendiri, mungkin ia tidak akan pernah mempercayai keberadaan seorang ibu yang seperti itu.

Perang yang dialami sebelumnya, adalah bukti nyata dari sikap pilih kasih ibunya.

"Dari pada memikirkan hal itu, kenapa kita tidak membahas apa yang harus dibahas?" Frost menyadari apa yang dipikirkan Gempa, jadi sebisa mungkin ia mengingatkan saudara beda ibunya itu untuk tidak tenggelam dalam emosinya sendiri.

The King (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang