CHAPTER 18

107 18 3
                                    

Hari ini Iyon dan Seya terlihat sedang menghabiskan waktu kebersamaan mereka di sebuah cafe buku. Mereka duduk bersebelahan sambil bersandar ke rak buku di belakangnya.

Sebenarnya Seya sempat menolak ajakan Iyon untuk ke cafe buku, mengingat dia tipe yang akan cepat bosan, terlebih lagi harus memandangi jajaran buku di cafe nanti. Namun, dia akhirnya setuju setelah Iyon meyakinkannya.

Terlihat Iyon masih betah membaca bukunya dari halaman per halaman. Beda halnya dengan Seya, dia hanya membolak-balikkan halaman tanpa niat membacanya sedikit pun.

Perlahan rasa bosan mulai menggerayangi tubuh Seya yang menjelmah menjadi rasa kantuk. rasa kantuk yang mulai menggerogoti membuatnya secara perlahan memejamkan matanya

Iyon yang masih berkutat dengan buku bacaanya tak menyadari jika Seya sudah berada di alam mimpinya. Dia pun baru menyadari hal itu tatkala kepala Seya hampir terjatuh bebas membentur lantai di hadapan mereka.

Melihat hal tersebut, Iyon pun segera menjulurkan tangannya agar Seya yang sedang tertidur itu tidak merasa kesakitan. Setelahnya, diarahkannya kepala Seya untuk bersandar di bahunya.

Lagi-lagi, segala tindakan Seya ternyata mampu membuat Iyon menyunggingkan senyum manisnya. Dalam hati berharap waktu dapat dihentikan. Biarlah moment ini tetap seperti ini.

Jam sudah menunjukkan pukul 14.00 yang artinya Seya sudah dua jam tertidur dengan kepala menyandar di pundak Iyon. Hingga terlihat Seya tengah menggeliat kecil dari tidurnya. Rupanya dia sudah terbangun dan masih berusaha untuk mengumpulkan nyawanya. Selang beberapa menit, dia pun sadar sepenuhnya. Namun, otaknya masih mencerna situasi yang terjadi sekarang.

Menunggu otaknya untuk kembali berfungsi, dia pun menoleh ke arah Iyon yang ternyata juga sedang terlelap dengan kepala Seya sebagai sandaran. Kini otaknya sudah memproses semuanya dan benar-benar membuatnya terkejut. Bagaimana bisa dia tertidur dengan kepalanya bersandar di bahu Iyon? Dan terlebih lagi Iyon juga tertidur dengan kepalanya dijadikan sandaran.

Seya sangat ingin mengangkat kepalanya dari bahu Iyon, namun diurungkannya mengingat Iyon sedang terlelap dengan kepalanya sebagai sandaran. Tak ingin mengusik tidur Iyon, ia pun hanya pasrah dan menunggu Iyon terbangun.

Tak lama kemudian, Iyon pun juga ikut terbangun dari tidurnya. Bahunya terasa sakit, jujur saja Seya merasa bersalah dan menatap Iyon dengan mata penuh penyesalan. Namun Iyon membalas tatapan Seya dengan senyum hangat.

"Nyenyak tidurnya?" tanyanya yang membuat Seya mengangguk.

"Maaf" cicit Seya dengan suara penuh penyesalan.

"Maaf kenapa?"

"Bahu kakak jadi sakit karna gue sanderin"

"Gapapa. Lagi pula lo juga pinjamin kepala lo buat jadi sandaran gue. Simbiosis mutualisme"

"Tapi kakak nerima bebannya lebih banyak dibanding usaha kakak, jadinya pasti ketibang beban dan sakit. See? Dari tadi kakak mijit bahu"

"Terus maunya apa? Mau pijitin?" tanyanya bercanda, namun diangguki serius oleh Seya.

Seya pun beranjak mengubah posisinya ke belakang badan Iyon guna memudahkannya untuk memijat bahu Iyon. Namun Iyon menolak hal itu, niatnya hanya bercanda dan menjahili gadis yang tengah bersamanya itu.

"Ihh... Kak Iyon gakpapa tau. Sini bahunya, Kakak jangan gerak-gerak, kalau gerak gue pulang aja sekarang daripada nanti terus ngerepotin kakak"

"Lo gak ngerepotin Sey" bantahnya masih menolak pijatan Seya.

"Udah diem atau gue pergi sekarang?" ucap Seya dengan nada mengancam yang membuat Iyon pasrah.

Iyon sungguh merasa berat hati karena telah membuat anak gadis orang memijat bahunya. Namun disatu sisi ia merasa bahagia. Entah mengapa dia berharap momen ini terus terjadi dalam hidupnya.

Sekedar RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang