6. Debaran Yang Masih Asing

1K 77 0
                                    

Untuk beberapa saat lamanya, tak ada yang bersuara di antara mereka. Keduanya tampak masih diam setelah momen di mana Eshika mengangguk untuk pertanyaan Tama tadi. Seperti mereka yang masih butuh waktu beberapa saat untuk meresapi hal tersebut. Masih dengan posisi mereka yang tak berubah, Tama bisa melihat bagaimana Eshika menundukkan wajahnya. Tapi, bukan berarti ekspresi Eshika kala itu merupakan hal yang ia resahkan, melainkan sebaliknya. Mendapati bulu mata Eshika tampak bergerak-gerak lembut justru merupakan hal yang menyenangkan.

"Ehm ..., Tam ...."

Suara lembut Eshika menarik Tama dari keterpanaannya. "Ya?"

Pelan-pelan, Eshika mengangkat wajahnya dengan posisi kedua tangan yang masih mengepal di depan dada. Melirik sekilas pada tangan Tama yang mengurung dirinya di sofa itu, Eshika lantas menatap Tama dengan bola mata polosnya.

"Ini maksudnya ... kita pacaran di saat kita udah nikah ya?"

Dooong!

Tama melongo sedetik. Lalu ia hanya terdiam seolah sedang meresapi pertanyaan itu. Hingga kemudian, matanya mengerjap-ngerjap bodoh.

"Aaah .... Kamu benar," lirih Tama. Tanpa sadar satu tangannya naik. Menggaruk tekuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. "Kita udah nikah kan ya?"

Eshika menahan desakannya untuk tertawa. Alih-alih cewek itu hanya mengulum senyum. Mendapati itu, Tama melotot.

"Ketawa?"

Eshika geleng-geleng kepala. "Ya ... aku pikir juga nggak ada salahnya pacaran dengan suami sendiri."

Astaga!

Eshika seperti yang tidak menyadari ketika lidahnya mengatakan hal itu. Maka ketika ia tersadar, tepat di saat pelototan mata Tama berganti dengan sorot lainnya, Eshika dengan segera menundukkan wajahnya lagi. Hal yang sebaliknya, Tama tidak mengizinkan hal itu untuk terjadi. Menggunakan satu tangannya yang lain, Tama meraih dagu Eshika. Pelan-pelan menaikkannya.

Eshika meremang. Dengan cepat merasakan bahwa aura di sekitar dirinya berubah begitu saja. Aura yang membuat ia meneguk ludah sementara matanya membalas tatapan Tama.

"Kamu benar. Aku suami kamu."

Bernapas semakin menjadi hal yang sulit bagi Eshika. Terutama ketika ia menyadari bagaimana dalam dan beratnya suara Tama ketika berkata seperti itu.

"Ta .... Ta ... ma ...."

Suasana saat itu membuat Eshika dengan cepat berpikir. Bahwa setelah sekembalinya mereka dari Puncak, mereka belum melakukan hal-hal romantis lainnya. Alih-alih sekadar berpelukan, tidur bersama pun tidak. Mereka berdua seperti yang sedang berusaha untuk menyesuaikan diri masing-masing dengan perubahan yang terjadi. Juga mungkin lebih karena ... perasaan yang tumbuh di hati mereka masih terasa begitu asing.

Rasanya seperti mereka berdua yang tak bisa saling menatap dalam waktu yang lama. Bukan karena tak nyaman, melainkan karena rasa berdebar itu terlalu riuh memenuhi dada mereka. Ketika mereka bertatapan, debaran itu datang. Ketika tangan mereka tak sengaja menyentuh, debaran itu datang. Bahkan sekadar menghirup aroma tubuh masing-masing pun, debaran itu datang.

Dan sekarang, Eshika menyadari bahwa keputusan tanpa kata-kata yang ia dan Tama ambil memang benar adanya. Lihat saja. Hanya sentuhan seujung jari yang Tama berikan di dagunya, namun ternyata hal itu sudah terlalu mampu untuk membuat Eshika menahan napasnya. Jantungnya terasa bertalu-talu di dalam sana. Bahkan Eshika khawatir Tama akan bisa mendengar suaranya.

"Tama ...."

Tama tak berkedip. Tetap melihat lurus pada bola mata Eshika. Membuat ia sadar tak sadar justru merendahkan wajahnya.

[Masih] Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang