58. Dalam Rencana

525 37 1
                                    

"Kamu itu ... ehm ... beneran tega jadi anak, Tam. Bener-bener tega. Seumur hidup ... kayaknya baru kali ini aku ketemua anak kayak kamu. Sama Mama ehm ... ckckckck."

Suara Eshika memecah keheningan perjalanan pulang mereka berdua. Ketika mobil yang Tama kendarai melaju dengan mulus di atas aspal, setelah kepergian mereka dari rumah Mawar. Menjelang sore hari itu, tanpa lupa membawa serta rapor mereka tentunya. Padahal sebelumnya Mawar bersikeras loh untuk menahan rapor mereka, terutama milik Tama. Tapi, jelas saja Tama tidak membiarkan ibunya melakukan hal itu. Kata Tama tadi begini.

"Mama ini malu-maluin banget sih. Masa mau ngeliatin rapor aku semalaman? Bukannya anak kecil aku tuh."

Bisa dibayangkan ya bagaimana ekspresi wajah Mawar kala itu? Cemberut. Manyun. Tidak terima. Tapi, sayangnya ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hihihihi. Lagipula kalau Mawar mau merenungkannya, yang dikatakan oleh Tama benar juga sih. Sedikit memalukan sepertinya kalau Mawar memang menghabiskan waktu malamnya hanya untuk membandingkan nilai-nilai pelajaran Tama selama ini. Maklum, tapi Mawar benar-benar tenggelam dalam euforianya. Bahkan sejujurnya, kalau ingin menambahkan bumbu dramatis, Tama heran kenapa Mawar tidak mengumpulkan ibu-ibu PKK untuk menyebarkan berita bahagia itu. Tipikal ibu-ibu kan? Biar heboh.

Dan sekarang, mendengar perkataan Eshika tentang dirinya, mau tak mau membuat Tama menyeringai geli. Tapi, jujur saja. Wajah Mawar tadi benar-benar masih membayang di benaknya. Ekspresinya ketika harus merelakan rapor itu untuk ia bawa pulang. Alih-alih membiarkan ibunya memandanginya sepanjang malam. Lucu.

"Ih, kan. Tega banget," kata Eshika lagi seraya menunjuk pada Tama. "Lihat aja senyumnya. Ckckckck. Bener-bener keterlaluan. Sama ibu kandung sendiri juga."

Mengendalikan kemudi dengan satu tangannya, Tama lantas tanpa sadar mengusap wajahnya sekilas. Dengan ekspresi geli tentunya.

"Nggak ah. Senyum aku biasa aja. Nggak ada yang keterlaluan," elak Tama. "Kamu ini hiperbola banget. Melebih-lebihkan sesuatu."

Mata Eshika pun menyipit. "Yang bisa ngeliat ... ya aku. Bukannya kamu."

Kekehan kecil berderai dari bibir Tama. Memanfaatkan fakta bahwa lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah, Tama pun menghentikan sejenak lanju mobilnya. Ia berpaling pada Eshika.

"Tapi, aku bisa ngerasain kok kalau misalnya aku senyumnya beda atau sama dengan yang biasanya," kata Tama dengan wajah sok yakin. "Lagian ... ya sekali-kali giniin Mama kayaknya nggak apa-apa juga."

"Ckckckck." Eshika berdecak seraya geleng-geleng kepala. "Kamu bener-bener keterlaluan sama Mama sendiri."

Masih dengan ekspresi geli di wajahnya, Tama justru mencibir sekilas bibir bawahnya pada Eshika.

"Biarin," katanya dengan santai. "Anggap aja kenang-kenangan. Soalnya Mama lebih dari sering juga ngerjain aku. Ngangguin aku. Padahal anak kandungnya sendiri juga."

"Aaah. Kamu masih kesel soal bagi rapor tadi ya?" tanya Eshika menggoda. Kali ini wajah cewek itu juga terlihat geli. "Pas Mama maju ke depan kelas tadi?"

Di depan sana, lampu lalu lintas berubah warna kembali. Dari merah berganti warna menjadi kuning, untuk kemudian berganti lagi menjadi hijau. Dan Tama perlu menunggu beberapa detik, hingga kendaraan di depan mobilnya melaju terlebih dahulu sebelum pada akhirnya mobilnya pun turut bergerak. Melaju kembali. Dengan kecepatan rendah pada awalnya, baru pelan-pelan setelah memungkinan, Tama pun menaikkan kecepatannya.

Mengawali jawabannya dengan satu ringisan, Tama merasa tidak perlu malu untuk benar-benar berekspresi dengan pertanyaan itu. Alih-alih mencoba untuk tidak mengakuinya, Tama justru mengangguk seraya memukul kemudinya sekilas.

[Masih] Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang