64. Jeda Perjalanan

463 39 0
                                    

Hari itu, entah mengapa langit terlihat lebih cerah dari biasanya. Seperti bersinar. Seakan sedang merayakan kebahagiaan yang sama dengan yang sedang mereka rasakan saat itu. Mereka lulus.

Suasana yang meriah seketika pecah di lapangan SMA Citra Buana. Para siswa kelas 12 yang telah bergelar alumni tampak membuncahkan kebahagiaan yang tengah mereka rasakan saat itu. Kelulusan hanya terjadi sekali seumur hidup dan rasa senang yang menyertainya tentu bukanlah hal yang main-main.

Tak hanya siswa, bahkan para guru pun tampak sama bersuka citanya dengan para anak didik mereka. Walau jelas, untuk beberapa kesempatan, momen kebahagiaan itu justru diwarnai oleh air mata.

Ada beberapa orang guru yang tampak memeluk siswa. Seraya menangis meminta maaf untuk cara mendidik mereka yang mungkin terlampau tegas dan justru terkesan kasar. Namun, meyakinkan mereka bahwa itu adalah yang terbaik yang bisa mereka lakukan. Pun tak sedikit pula siswa yang juga meminta maaf pada guru mereka. Menyadari bahwa selama tiga tahun ini mereka kerap menggerutu, menganggap bahwa tugas yang diberikan hanya menyusahkan mereka, dan melakukan beberapa tindakan yang sering merepotkan. Pada hari itu, baik siswa maupun guru sama menyadari, bahwa tiga tahun kebersamaan memang bukanlah waktu yang lama. Nyaris bisa dikatakan teramat singkat. Dan sekarang, kebersamaan mereka akan berakhir.

Layaknya mereka yang memanfaatkan hari itu untuk menuntaskan rasa bahagia dan juga penyesalan, di satu titik tampak Alex yang menarik napasnya dalam-dalam. Berjalan dengan mantap. Demi menghampiri seseorang. Eshika? Ehm ... sayangnya bukan. Alih-alih mendekati gadis manis yang tengah bersorak di pelukan Velly, cowok itu justru menghampiri Tama yang sedang berkumpul dengan teman-teman futsalnya.

"Selamat!"

Satu kata pembuka itu Alex berikan pada Tama. Seraya mengulurkan tangan dan menatap pada mata cowok itu.

Tama menarik diri sedikit dari teman-temannya, melihat pada tangan Alex, dan kemudian menyambutnya. Berjabat dalam hitungan tiga detik yang tidak terlalu singkat.

Kepala Tama mengangguk sekilas. "Thanks. Selamat juga buat kamu," balas cowok itu.

Dan ketika jabat tangan itu berakhir, Alex tampak menghirup udara dalam-dalam. Seperti tengah menguatkan dirinya ketika akan berkata.

"By the way, aku minta maaf untuk semua yang sempat terjadi antara aku dan kamu. Bukan pembelaan, tapi aku beneran nggak tau kalau kamu dan Eshika dulu udah jadian."

Tama mengangguk sekali. "Oke. Udah lewat juga. Tapi, makasih."

Maka mendapati respon Tama yang seperti itu, Alex pun mengembuskan napas leganya. Lantas ia pun beranjak dari sana. Berkumpul dengan teman-temannya. Merasa lapang karena di hari terakhir mereka tercatat sebagai siswa, ia bisa menunaikan satu hal yang selama ini mengganjal di benaknya. Meminta maaf pada Tama. Setidaknya menjernihkan masalah antara mereka.

"Ngapain Alex?"

Tepat setelah kepergian Alex, Tama merasakan ada tepukan di punggungnya. Ketika ia menoleh, ada wajah Reki yang terlihat. Enteng, Tama menjawab pertanyaan itu.

"Minta maaf. Soal tempo hari."

Reki manggut-manggut. "Oooh ...," lirihnya seraya melirik pada Tama. "Terus kamu maafin nggak?"

Tama turut melirik pada sahabatnya itu. "Ya aku maafin lah," tukasnya dengan dahi berkerut. "Kalau orang cari masalah, kita wajib ngeladenin. Dan kalau orang minta maaf, kita wajib maafin."

Setelah mengatakan itu, Tama mendengkus. Beranjak dari sana dan meninggalkan Reki yang tampak melongo.

"Sejak kapan Tama jadi dewasa kayak gitu?"

[Masih] Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang