22. Ledakan Malu

685 61 0
                                    

"Tama ...."

Eshika hanya bisa membisikkan nama cowok itu. Beberapa detik setelah Tama mengucapkan permintaannya.

"Please .... Jangan buat aku khawatir."

Kata-kata itu mengiang berulang kali di benak Eshika. Dan tentu saja itu memberikan dampak yang sangat luar biasa untuknya.

Sontak saja, dadanya terasa menyesak. Dengan mata yang terasa memanas. Lalu, di saat ia merasa sudah tak mampu bertahan lagi, Eshika pun bergerak. Kedua tangannya terangkat dan dalam hitungan detik yang singkat sudah menubruk tubuh Tama.

Tama mengerjap kaget, tapi tidak menghindar sama sekali ketika Eshika justru memeluk dirinya. Menenggelamkan wajahnya di dada cowok itu sementara tangannya mengerat di punggung.

Tama mengembuskan napas panjang. Lalu turut mengangkat kedua tangannya. Balas memeluk Eshika. Dan tak hanya itu, tangannya pun lantas bergerak lembut. Membelai.

"Aku minta maaf, Tam ...."

Tama mendengar lirihan suara Eshika ketika meminta maaf padanya. Tapi, cowok itu diam saja. Tak mengatakan apa-apa. Karena jujur saja, ketimbang permintaan maaf, Tama lebih peduli dengan penenangan rasa kecemasan yang masih melanda dirinya. Dan memikirkan itu, mau tak mau mendorong Tama untuk semakin menarik tubuh Eshika ke dalam pelukannya.

"Aku seharian ini bener-bener nggak tenang gara-gara mikirin kamu, Esh. Sumpah! Dan itu rasanya bener-bener nggak enak."

Perkataan Tama membuat Eshika menutup matanya rapat-rapat. Merasa begitu bersalah. Dan ketika Tama mengatakan apa yang ia rasa, sontak saja ia merasa sedih.

"Aku minta maaf, Tam."

Tama menundukkan wajahnya. Melihat bagaimana makin lama makin erat pula Eshika memeluk dirinya. Tak perlu diyakinkan oleh apa pun, Tama pun tau. Eshika sudah sangat menyesal.

"Jangan kayak gitu lagi ya?"

Dan pertanyaan Tama serta merta langsung mendapatkan jawaban dari Eshika. Cewek itu menganggukkan kepalanya berulang kali di dada Tama.

"Aku nggak bakal gituin kamu lagi, Tam," katanya kemudian. "Aku janji."

Ucapan Eshika dengan serta merta membuat kelegaan menyeruak di dada Tama. Sama persis saat tadi ia mengetahui bahwa Eshika berada di rumahnya. Rasanya benar-benar tidak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata.

"Jadi," kata Tama kemudian. "Kamu nggak ada niat buat jelasin ke aku tentang yang terjadi hari ini? Alasan yang ngebuat kamu jadi bertingkah aneh dan imbasnya justru jutekin aku?"

Untuk pertanyaan Tama yang kali ini, bahkan cowok itu bisa merasakannya. Bahwa tubuh Eshika terasa menegang saat itu. Tapi, walau Tama memang tidak memarahi Eshika dengan bentakan, bukan berarti Tama akan melewatkan bagian utamanya. Yaitu, alasan.

"Sumpah, Esh! Kalau aku ada salah, kamu ngomong. Kalau kamu mendadak marah-marah, aku bukannya sadar. Tapi, aku malah bingung. Ujungnya justru aku yang marah ke kamu. Dan itu nggak bakal selesai sampai kiamat ntar."

Yang diomongin Tama emang benar.

Itu adalah yang diucapkan oleh benak Eshika. Sayangnya adalah sesuatu yang terlambat disadari oleh dirinya.

Aku harusnya ngomong.

Bukan justru marah-marah nggak jelas ke dia.

Menyadari itu sepenuhnya dengan akal sehat, Eshika lantas pelan mengendurkan rengkuhannya di tubuh cowok itu. Pelan-pelan menarik diri. Pun dengan takut-takut mengangkat wajahnya. Menatap sepasang mata Tama yang gelap.

[Masih] Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang