01. KABAR BURUK UNTUK AMEL

182 66 113
                                    

"Papa bangkrut!?" Karamel---gadis cantik berambut panjang digerai ke belakang yang akrab disapa Amel itu, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seketika kebahagiaannya sepulang berbelanja lenyap entah ke mana begitu mengetahui sang ayah bangkrut.

"Iya, Sayang. Papa bangkrut dan terpaksa menjual perusahaan beserta seluruh asetnya untuk membayar hutang perusahaan." Mama Amel yang menjawab. Sementara sang suami duduk di sampingnya sembari menunduk.

Tangan kanan pria paruh baya itu sedari tadi memijit pelipisnya pelan.

"Ini bercanda, kan? Papa nggak mungkin bangkrut, kan?" berondong Amel masih enggan memercayai nasib sang ayah.

Papa Amel menengadah, menampakkan wajah kusutnya pada sang putri. Ia tersenyum kecut. "Papa juga berharap, semua ini hanya lelucon."

Amel tertegun. Lebih terkejut lagi begitu mendengar kalimat sang ayah berikutnya.

"Papa juga terpaksa akan menjual rumah ini beserta seluruh isinya untuk melunasi sisa hutang perusahaan."

"Aku nggak setuju!" tentang Amel. "Jika rumah ini dijual, terus kita mau tinggal di mana?"

"Kita masih bisa ke Batang, tinggal bersama nenekmu, Sayang," jawab Mama Amel.

"Tinggal bareng nenek di Batang?" Amel membeo, lantas cepat menggeleng. "Nggak, nggak! Aku nggak mau tinggal bareng nenek. Desa nenek itu jauh dari kota, Ma."

Sejenak Mama dan Papa Amel saling melempar pandang sebelum kembali menatap sang putri yang duduk di sofa panjang lain. Terpisah oleh sebuah meja.

"Sebenarnya masih ada satu pilihan lain untuk melunasi sisa hutang perusahaan, selain menjual rumah ini beserta seluruh isinya."

"Apa, Ma?" Amel terdengar bersemangat. Setidaknya masih ada kabar baik setelah kabar buruk.

"Kamu harus jadi ART di rumah sahabat Papa karena tinggal hutangnya yang belum Papa bayar." Papa Amel yang menjawab.

"Aku?" Amel menunjuk diri sendiri. "Jadi ART?"

"Iya, Sayang. Itu keringanan yang diberikan sahabat Papa," timpal Mama Amel.

"Tapi ... masa aku harus jadi ART, sih?" Amel tetap keberatan.

"Hanya itu pilihan lain yang kita punya. Sebenarnya Mama nggak mau kamu yang jadi ART. Andai Mama nggak mengidap anemia, Mama dengan senang hati menggantikan kamu sebagai ART."

Amel terdiam sejenak sebelum kembali bertanya, "Berapa lama aku harus jadi ART?"

"Satu tahun," jawab Mama Amel.

"Satu tahun!?" Kembali Amel membeo.

Mama Amel mengangguk. "Karena sisa hutang Papa kamu nggak sedikit. Lebih dari 350 juta," jelasnya.

Sementara Papa Amel hanya mengangguk, membenarkan ucapan sang istri. Ia lantas menimpali, "Selama kamu jadi ART, kamu akan tinggal di rumah sahabat Papa di Bandung."

"Jadi ... aku tetep harus pindah?"

"Hanya untuk sementara, Sayang." Kembali Mama Amel yang menjawab.

"Lalu, bagaimana dengan sekolahku? Aku masih lanjut sekolah, kan?" tanya Amel harap-harap cemas. Gadis itu tak ingin putus sekolah. Minimal ia harus lulus SMA, meski dengan nilai pas-pasan.

"Kamu tetep lanjut sekolah, Sayang."

"Di swasta, kan, Pa?" Baru sadar apa yang ia ucapkan, gadis itu segera meralat ucapannya. "Di negeri juga nggak papa ding. Hehehe."

"Jadi, kamu setuju jadi ART?" tanya Mama Amel memastikan.

"Iya, Ma. Daripada aku tinggal di pedalaman, mending jadi ART di kota." Jawaban Amel membuat kedua orang tuanya melongo. Akan tetapi, mereka tetap menyunggingkan senyum mendengar pilihan sang anak.

_______________________

Kamis, 17 Maret 2022

KETIKA ORKAY JADI ARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang