Kurang lebih 45 menit, yang terasa seperti setahun, akhirnya terlewati.
Salahkan Pak Kepsek. Pria paruh baya berperut buncit itu sudah cukup lama berdiri di mimbar, menyampaikan topik amanat yang mengundang kantuk---saking seringnya topik itu dibahas.
Beruntung, pagi ini langit tengah mendung. Jadi, tidak ada yang mengeluh atau tiba-tiba jatuh pingsan karena kepanasan---membuat regu PMR, yang berdiri di belakang barisan siswa, bisa sedikit bersantai dalam menjalankan tugas mereka.
Menit-menit setelah amanat pembina upacara cepat berlalu, hingga tak terasa upacara pun telah usai. Namun, keluhan terdengar dari para murid, ketika Pak Kepsek kembali naik ke mimbar. Meminta mereka untuk jangan membubarkan diri terlebih dahulu.
Ia berkata bahwa ada salah seorang teman mereka hendak menyampaikan sesuatu.
"Kepada Nak Geni, Bapak persilakan kamu naik ke mimbar," ujarnya, membuat barisan para siswa seketika gaduh. Dari setiap barisan, bahkan dari barisan staf dan guru.
Wisanggeni melangkah maju, tidak perlu repot permisi sana sini karena dirinya berdiri terdepan dalam barisan cowok kelasnya.
Hana, yang berdiri terdepan di barisan perempuan kelasnya, menatap cowok jangkung itu. Benaknya bertanya, bingung. Sebenarnya, apa yang kamu rencanakan, Kak?
Wisanggeni pun tiba di mimbar, yang sengaja dibangun di pinggir lapangan itu. Ia mengambil mikrofon nirkabel dari stand holder mic. Sejenak mengedar pandang ke barisan para siswi, lantas tersenyum begitu menemukan sosok Amel.
Seperti Hana, gadis itu juga berdiri terdepan di barisan perempuan kelasnya.
Amel balas tersenyum. Thanks, atas kebaikan lo ini, Gen. Gue harap, mereka nggak berubah setelah mengetahuinya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Suara Wisanggeni terdengar lantang, dibalas oleh peserta upacara yang beragama islam.
"Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih pada Pak Ridwan karena berkenan meloloskan permintaan saya," ucapnya, seraya mengalihkan pandangan pada Pak Kepsek yang berdiri di samping pembaca protokol upacara.
Hanya sesaat, sebelum memandang ke arah yang berlawanan. "Saya juga meminta maaf pada guru dan staf SMA Galaksi." Lalu kembali mengedarkan pandangan ke barisan para murid. "Serta kepada teman-teman semua, karena membuat kalian menunggu lebih lama.
"Bagi yang merasa lelah berdiri, bisa duduk terlebih dahulu." Tidak perlu diperintah dua kali, banyak dari mereka yang duduk beralaskan rumput. Ada pula yang jongkok atau tetap berdiri.
Wisanggeni kembali bersuara, "Saya tidak akan banyak berbasa-basi. Sebagian besar, atau justru kalian semua pasti sudah mengetahui isu tentang saya yang tersebar di grup WA, kan? Tepatnya, isu perihal saya yang ternyata anak haram, yang diangkat anak oleh mama Kirana dan papa Dirgantara."
Sekali lagi, riuh timbul di seluruh barisan. Ternyata masih banyak yang belum mengetahui isu tersebut. Khususnya jajaran adik kelas, serta staf dan guru.
"Isu itu pertama kali muncul di grup 'Angkatan 19 Galaksi Nirguru', oleh nomor yang mengaku sebagai Amel. Namun, saya tegaskan … nomor itu bukanlah milik Amel! Ia dijebak!
"Sebelumnya, ada orang yang menggunakan HP-nya, lalu berpura-pura menjadi Amel. Orang itulah yang meminta admin untuk memasukkan nomornya dalam grup."
"Tapi, bukannya lo bilang WA-nya Amel diretas orang?" timpal salah seorang siswa yang duduk terdepan di barisan cowok kelas XII IPS3.
"Iya. Terus, kenapa lo sekarang bilangnya lain? Lo bohong ya?" sahut cowok lain, yang juga murid kelas XII IPS3.
"Sepertinya kalian sudah salah tanggap," jawab Wisanggeni. "Saat itu saya bilang, ada orang lain yang memakai WA-nya. Namun, bukan berarti diretas, melainkan orang itu menggunakannya langsung di HP Amel."
Jadi ini rencanamu, Kak, mengambinghitamkan anonim untuk membersihkan nama Amel? Sembari duduk, Hana memerhatikan sang kakak.
Sementara cowok jangkung itu kembali melanjutkan. "Jadi, saya mohon, jangan ada yang menyerang Amel dalam bentuk apa pun. Verbal maupun fisik. Baik secara langsung atau tidak langsung. Lalu, mengenai isu itu …."
Wisanggeni terdiam sejenak. "Itu bukanlah hoax! Saya memang anak haram, yang sangat beruntung … karena diangkat anak oleh mama Kirana dan papa Dirgantara."
Hana dan Bima tertegun. Sementara barisan mereka heboh mendengar pernyataan Wisanggeni. Pun, barisan lain juga ikut heboh mendengarnya.
"Kan, bener yang gue bilang," ucap salah seorang siswa.
"Tapi, mereka sama-sama punya darah seni," sahut salah seorang temannya.
"Itu nggak membuktikan apa-apa. Saat SMP, gue pernah ketemu ibu dan neneknya, juga pernah lihat foto ayahnya. Cuma Hana yang mirip sama mereka, sementara Wisanggeni nggak mirip sama sekali." Siswa yang lain menimpali.
Wisanggeni masih diam. Biarlah semua orang tahu, tidak peduli juga dengan respons mereka nanti. Jika ikatan yang terbentuk didasari ketulusan, mereka tidak akan menjauhinya hanya karena kebenaran ini.
*****
Rasanya, beban Wisanggeni sedikit berkurang setelah "berkhotbah" selama beberapa menit. Ia lega, lebih lega lagi ketika mendapat banyak respons positif. Khususnya dari sesama murid. Bahkan, ada beberapa murid yang membantunya berbicara.
Melati-lah yang menjadi pemicu. Teman sebangku Amel itu berbicara tidak kalah lantang dan berapi-api, kesal dengan cara bicara Wisanggeni, yang seolah-olah mengartikan bahwa anak haram sama seperti penyakit menular, yang harus dijauhi.
Maklum, ia juga sama seperti Wisanggeni. Sama-sama anak angkat yang lahir di luar nikah.
Namun, cowok jangkung itu belum bisa bernapas lega. Begitu tiba di barisan, Bima mengajaknya mengobrol empat mata. Ia tahu, itu berarti satu hal … munculnya masalah baru.
*****
Setelah barisan dibubarkan, Wisanggeni dan Bima berlalu menuju toilet terdekat, di kawasan kelas X. Mereka masuk ke sana, tidak lupa menutup pintu agar tidak ada yang mengganggu.
Bima duduk di samping wastafel, memandang sang sahabat yang berdiri di depannya.
"Tentang lo yang ternyata cuma anak angkat …." Ia mendahului Wisanggeni berbicara, "Apa itu semua bener?"
"Ya." Cowok jangkung itu menjawab, pendek.
"Ternyata begitu," timpal Bima. "Sekarang semuanya jadi jelas," gumamnya, tetapi tetap terdengar oleh rungu Wisanggeni.
"Bim, lo sebenarnya mau membicarakan apa sih?" tanya Wisanggeni.
"Cowok yang Hana suka …. Lo tahu kan, selain kita nggak ada cowok lain yang deket sama Hana?"
Wisanggeni pun paham arah obrolan ini. "Lo mengira, Hana menyukai gue?"
"Lo juga berpikir begitu, kan?"
Wisanggeni terdiam.
Bima turun, lalu tangan kanannya hinggap di bahu kiri cowok jangkung itu. "Dibanding gue, lo lebih mengenal Hana. Luar dalam. Jadi, gue rasa, lo bisa menebak siapa cowok itu." Menepuk sekali bahu sang sahabat, sebelum berlalu menuju pintu. Namun, ketika hendak membuka pintu, niat itu urung oleh jawaban Wisanggeni.
"Baru tadi Hana mengetahui kebenaran ini. Jadi, dia hanya menyukai gue sebatas saudara."
"Lo yakin, baru tadi Hana mengetahuinya?"
Lagi, Wisanggeni terdiam.
Bima lalu membuka pintu. "Gen, inget ini. Jika lo berani menyakiti perasaan Hana, gue berjanji akan membuat wajah lo babak belur." Lantas keluar dari toilet, enggan menunggu atau mendengar jawaban Wisanggeni.
____________________
Minggu, 25 Desember 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Novela JuvenilMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...