Wisanggeni dan Amel kembali tiba di rumah sakit, tapi tidak lagi mengenakan baju batik biru dan dasi berlogo SMA Galaksi.
Dari sekolah, sejoli itu tidak langsung ke rumah sakit, melainkan pulang untuk berganti pakaian. Wisanggeni memilih kaus hitam berlengan pendek tanpa mengganti celana putih panjangnya. Juga Amel, ia tidak mengganti rok putih panjangnya dan memilih hoodie biru muda sebagai pengganti atasan.
Selain itu, mereka juga menyiapkan pakaian ganti, seragam pramuka, tas serta buku mapel hari Jumat, dan peralatan mandi sebagai persiapan untuk menginap di rumah sakit---sebenarnya Amel dilarang ikut, tapi gadis itu tetap berkeras. "Gue bosen sendirian di rumah. Lagian, gue pengen lihat perkembangan kondisi Hana secara langsung." Begitulah alasannya pada Wisanggeni. Alhasil, cowok jangkung itu membiarkannya ikut menginap.
Wisanggeni tentu tidak lupa membawa buah tangan, makanan dan minuman yang disukai sang adik; susu kotak perisa stroberi, beberapa camilan rasa stroberi---minus es krim---dan tidak ketinggalan buah stroberi itu sendiri.
Amel? Gadis itu juga membawa buah tangan. Namun, karena bingung, ia memilih apel dan pir sebagai pilihan. Lantas dijadikan satu dengan buah tangan sang majikan, agar lebih praktis saat membawanya.
Setibanya di ruang rawat Hana … gadis berponi itu tengah makan disuapi Kirana, tetapi Wisanggeni maupun Amel tidak ada yang masuk. Keduanya sudah diberitahu Wulan, bahwa untuk sementara Hana tidak ingin bertemu mereka.
Wisanggeni tidak memaksa. Ia tahu dirinya salah, jadi memaklumi sikap Hana. Pun, Amel juga demikian. Lantaran disukai sang tuan muda, gadis itu ikut merasa bersalah.
"Oh iya, Oma …." Wulan menoleh pada sang cucu angkat yang duduk di sampingnya, mengalihkan atensinya dari smartphone di tangan.
"Apa tadi Bima datang menjenguk?" Wisanggeni tiba-tiba teringat pada sang sahabat.
Sahabatnya itu tadi menelepon saat ia dan Amel dalam perjalanan kembali ke mobil. Entah dari siapa cowok itu mengetahui kabar perihal Hana masuk rumah sakit. Di telepon, Bima menanyakan rumah sakit serta ruangan tempat Hana dirawat.
Mereka tadi juga sempat berpapasan di jalan saat dalam perjalanan menuju sekolah.
"Iya, tapi dia cuma nitip salam dan ngasih buah tangan karena Hana lagi tidur." Wulan mengembuskan napas pelan. "Oma kasihan sama Bima. Dia sangat memedulikan Hana, tapi sikap gadis itu begitu dingin."
Mendengar itu, Wisanggeni jadi merasa bersalah pada Bima---sudah membuatnya menjalani cinta bertepuk sebelah tangan.
"Ngomong-ngomong, kamu sama Amel udah makan?"
"Belum, Oma." Amel yang menjawab. Ia dan sang tuan muda memang belum makan. Demi pulang lebih awal, keduanya terpaksa melewatkan jam istirahat kedua.
"Itu yang di dalam plastik makanan, kan?" Wulan bertanya lagi, berfokus pada kantong plastik putih di sampingnya, yang sempat ia lihat isinya.
"Mending kalian makan aja." Wulan berujar, mendahului sang cucu angkat, "Daripada harus keluar uang buat beli makan dan minum. Lagian Hana udah dapat buah tangan dari Bima. Kirana juga tadi bawa cemilan kesukaan Hana dari rumah."
"Nggak deh. Kami mending jajan di kantin rumah sakit aja. Yuk, Mel." Setelah berkata demikian, sejoli itu bangkit dari kursi lantas meninggalkan Wulan sendirian di sana.
Tidak lama, Kirana keluar dari ruang rawat Hana. Memandang kepergian sang putra dan ART-nya. "Mereka mau ke mana, Bunda?"
"Nyari makan," jawab Wulan. "Hana udah mau makan?" tanyanya pada sang menantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Teen FictionMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...