Pada sore harinya ….
Dari ruang keluarga, suara petikan gitar mengalun merdu, mengiringi dirinya sendiri serta seorang gadis bermidi dress cokelat selutut, yang sama-sama tengah menyanyikan lagu Surat Cinta Untuk Starla karya Virgoun.
Cowok jangkung dan gadis itu terlalu menikmati kegiatan mereka. Sampai-sampai tidak menyadari kedatangan seseorang.
"ASSALAMUALAIKUM!" Suara seorang cewek yang mereka kenal terdengar, mengalahkan petikan gitar Wisanggeni dan nyanyian Amel.
"Hana udah pulang. Gue ke dapur dulu buat manasin bakso untuk Hana."
Wisanggeni mengangguk. Tanpa membawa gitarnya, ia sendiri berlalu menuju ruang tamu. Mendapati seorang gadis ber-hoodie pink dengan tas di punggung, berjalan mendekat sembari menjinjing sepasang sepatu hitam.
"Hana, ini bukan hutan. Buat apa kamu teriak seperti tadi?"
Begitu sudah di depan sang kakak, gadis yang senantiasa berwajah datar itu menjawab, "Salah sendiri nggak jawab salamku."
"Waalaikumsalam. Tuh, udah kujawab. Inget, lain kali kamu jangan teriak-teriak lagi!"
"Iya-iya. Udah, ah, aku mau ke kamar dulu." Hana berjalan melewati Wisanggeni, tapi langkahnya urung ketika sang kakak mencekal tangan kirinya.
Cowok jangkung itu melepas cekalan tangannya. "Kenapa kamu nggak pulang bareng Bima? Dia udah bela-belain jemput kamu, lho." Ia bisa tahu lantaran tadi Bima mengirimkannya pesan, bilang bahwa Hana pulang naik taksi online.
Huft
Hana menatap datar sang kakak. "Kak, bisa berhenti bantuin kak Bima PDKT-in aku?"
"Aku bantuin Bima gimana?"
Lagi, Hana mengembuskan napas pelan. "Jangan berpura-pura nggak tahu, Kak. Aku udah lihat chat kak Bima dengan Kakak. Jadi, aku tahu persekongkonglan kalian.
"Kakak dengan sengaja menggembeskan ban mobil, lalu memvideokannya dan mengirimkan video tersebut padaku. Jika orang lain, mungkin akan termakan tipu daya kalian, tapi aku nggak sebodoh itu, Kak.
"Jadi, lebih baik Kakak berhenti bantuin kak Bima, daripada membuang-buang waktu untuk hal yang sia-sia. Terlebih, Kakak tahu, aku udah menyukai cowok lain. Sampai saat ini, hanya cowok itu yang aku suka."
"Hana." Wisanggeni menepuk pelan bahu sang adik. "Berhentilah berbohong. Selain aku dan Bima, nggak ada cowok lain yang sedekat dan seperhatian kami sama kamu. Ayolah, buka hatimu dan beri kesempatan pada Bima."
Dengan kasar, Hana menepis tangan Wisanggeni. Ia lalu memandang tajam netra kecokelatan cowok jangkung tersebut. "Nggak masalah, jika Kakak nggak memercayai ucapanku. Akan tetapi, Kakak nggak berhak menyuruhku membuka hati buat kak Bima, atau untuk cowok mana pun! Lagipula, kenapa Kakak begitu gencar ingin aku dekat sama Kak Bima?"
Kini, giliran Wisanggeni yang mengembuskan napas pelan. "Aku melakukan ini demi kebaikanmu. Karena … akan ada saat di mana aku nggak bisa berada di sampingmu. Jika saat itu tiba, kamu masih memiliki Bima, sosok yang bisa kamu andalkan."
"Apa maksud ucapanmu, Kak? Apa Kakak … berniat meninggalkanku?" Suara Hana tersekat, sementara kedua matanya yang indah mulai berkaca-kaca.
"Bukan gitu maksud---"
"LALU APA!?" Kristal bening mulai tampak di salah satu sudut mata Hana. Kendati demikian, wajahnya masih tetap datar.
Gadis berponi itu menepis tangan sang kakak yang hendak menyeka air matanya, sebelum berucap, "Aku kecewa sama Kakak."
Tak ingin berlama-lama, Hana bergegas menuju kamarnya di lantai atas. Tak menghiraukan Wisanggeni yang mengejar sembari memanggilnya, juga mengabaikan eksistensi Amel yang melihat dari dapur.
Brak!
Bantingan pintu kamar Hana terdengar memenuhi rumah.
"Lo apain Hana, sampai dia nangis gitu?" tanya Amel seraya menghampiri sang majikan yang tengah menuruni anak tangga di sudut ruangan.
Wisanggeni menoleh. "Lo kira, gue sengaja bikin dia nangis?" Ia berlalu menuju sofa ruang keluarga, lantas duduk di sana.
Seraya menepuk sofa, cowok jangkung itu berkata, "Duduk, Mel."
Amel menggeleng. Ia memilih jongkok di samping sofa, tak ingin terlihat akrab dengan sang majikan lantaran Hana ada di rumah. "Bisa lo ceritain, apa yang udah terjadi di antara kalian?" pintanya.
Sebenarnya, ketika berada di ruang keluarga, gadis itu sempat mendengar obrolan Wisanggeni dengan Hana. Namun, ia cepat-cepat kembali ke dapur lantaran tak ingin dikira menguping.
Menurut. Wisanggeni menceritakan segalanya, tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi fakta.
Begitu selesai, Amel berucap, "Lo terlalu memaksa Hana."
Wisanggeni membisu.
Gadis itu melanjutkan, "Gue juga penasaran dengan tujuan lo sebenarnya. Karena dari yang gue tangkap, ada maksud terselubung dalam ucapan lo.
"Apa karena gue?" terka Amel. Diamnya sang majikan membenarkan dugaannya. "Gen, gue nggak mau ya, jadi orang jahat yang merusak hubungan persaudaraan kalian."
Wisanggeni menggeleng. Ia mengembuskan napas pelan, sebelum menjawab, "Gue … hanya udah terlalu risih sama sifat kekanakan Hana."
Amel tak menduga tuan mudanya itu akan berkata demikian.
*****
Kamar Amel, pukul 22.18 WIB
Amel yang hendak meletakkan segelas air di nakas, dikejutkan dengan sebuah panggilan dari nomor asing.
Tak menunggu lama, gadis berpiyama dengan motif bunga itu mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, ini siapa?"
Hanya embusan napas yang terdengar.
"Halo?"
"Jauhi cowok gue."
"Ha?" Amel tak mendengar jelas suaranya.
"JAUHI COWOK GUE!" Teriakan cempreng seorang perempuan yang tak Amel kenali terdengar sebelum panggilan terputus.
Beruntung, Amel tak mengaktifkan loud speaker. Jika tidak, mungkin telinga kanannya akan berdengung semalaman.
"Gaje amat tuh orang." Gadis itu memutuskan untuk memblokir nomor si penelepon, lantas menghapusnya. Ia mematikan lampu kamar setelah terlebih dahulu menyalakan lampu tidur, mencari posisi ternyaman di ranjang, lalu menutup mata sebelum berlabuh ke dunia mimpi.
__________________
Sabtu, 05 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Teen FictionMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...