Waktu cepat berlalu. Tak terasa, akhir pekan keempat Amel sebagai ART pun tiba.
Sama seperti akhir pekan ketiga, akhir pekan kali ini gadis itu masih belum boleh bekerja, meski telah dinyatakan sembuh oleh dokter---kemarin, Wisanggeni membawa Amel ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut, sehabis mengantar Hana ke sekolah.
Kendati demikian, Amel tak bisa bebas bersantai. Selama tak bekerja, dirinya dipaksa belajar oleh sang tuan muda, pelaku yang memintanya untuk tidak bekerja terlebih dahulu. Bahkan, cowok jangkung itu meminta Hana menjadi guru privatnya.
Awalnya, Amel mengira itu mimpi buruk. Namun, gadis itu salah menduga. Justru, Hana menjadi guru yang baik dengan membantunya lebih menguasai mapel eksakta jurusan IPS---mapel yang menjadi kelemahan Amel.
Hal tersebut membuat Amel terkagum-kagum oleh kepintaran Hana. Padahal, nona mudanya itu murid jurusan IPA, tetapi ia mampu menguasai mapel eksakta jurusan IPS.
Karena hubungan guru dan murid itu, Amel jadi lebih sering menghabiskan waktu bersama Hana ketimbang Wisanggeni.
Berbicara soal Wisanggeni, hubungannya dengan Amel tak banyak berkembang. Memang, mereka menjadi lebih akrab, tetapi Amel masih enggan menerima perasaannya.
Meski begitu, Wisanggeni tak akan patah arang sebelum sepuluh tahun, mengikuti moto Bima dalam mengejar cinta Hana.
Setelah sepuluh tahun? Entahlah, apakah kedua remaja itu akan menyerah mengejar cinta masing-masing, atau menanamkan moto yang sama sebagai penyemangat, meski telah ditolak berkali-kali.
*****
Senin, pukul 04.27 WIB
Sehabis salat Subuh, Amel merapikan mukena dan sajadah yang ia pakai, lalu kembali menyimpannya di lemari.
Setelahnya, gadis berpiyama itu membenahi tempat tidur, lantas mengganti pakaiannya dengan midi dress biru muda selutut, sebelum berlalu menuju pintu. Begitu pintu terbuka ….
"Mel." Sang empunya nama menoleh, mendapati Wisanggeni bersandar pada dinding di samping pintu kamarnya.
"Gue mau bicara sama lo. Penting," ujar cowok jangkung berkaus merah itu. Kemudian, ia mengisyaratkan Amel untuk mengikutinya menuju ruang tamu.
Meski bingung, Amel tetap mengekor. Gadis itu pun duduk di samping Wisanggeni, sesuai perintah sang tuan muda.
"Lo mau bicara apa, Gen?" tanya Amel, memecah hening.
"Semalam, lo tidur jam berapa?" Wisanggeni balik bertanya, sementara jarinya sibuk menjamah layar smartphone.
Amel mengerutkan kening. "Gen, apa lo nunggu gue di depan kamar hanya untuk menanyakan sesuatu yang nggak penting?"
"Jika nggak penting, gue nggak akan menanyakannya." Wisanggeni memandang Amel, tepat pada sepasang netra hitamnya yang indah. "Jawab aja pertanyaan gue, lo tidur jam berapa semalam?"
"Di bawah jam setengah sebelas, tapi gue lupa kurangnya berapa menit."
Sejenak, Wisanggeni masih memandang wajahnya. Ia mengembuskan napas pelan sebelum beralih pada smartphone di tangan.
Lagi, Amel bertanya, "Gen, lo sebenarnya mau membicarakan apa?"
Sebagai jawaban, Wisanggeni menyodorkan smartphone-nya pada Amel. "Apa ini nomor lo yang lain?"
Amel memandang deretan angka berlatar putih pada layar smartphone di depannya, sebelum kembali beralih pada sang tuan muda. "Gue nggak pake WA lain, selain WA biasa. Lagian, kenapa lo menanyakan itu nomor gue atau bukan?"
"Karena nomor ini udah membuat masalah dan menyeret kita berdua dalam masalah tersebut."
Belum sempat Amel bersuara, cowok jangkung itu sudah mendahului. "Silakan lo cek grup 'Angkatan 19 Galaksi Nirguru'. Setelah mengeceknya, lo akan tahu masalah apa yang ia perbuat, juga alasan yang membuat kita terlibat."
*****
Setelah memeriksa grup yang Wisanggeni maksud, Amel paham, kenapa teman seangkatannya di SMA Galaksi menyebut dirinya sebagai gadis penyebar hoax yang tak tahu diri.
Nomor asing itu, entah milik siapa, mengirimkan sesuatu yang belum seharusnya diketahui orang lain ke grup tersebut. Mereka yang tak mengetahui kebenarannya, mengira itu adalah hoax. Beberapa di antara mereka ada yang menduga-duga.
Lantaran hal tersebut, Amel banjir hujatan. Ia juga banjir panggilan tak terjawab, begitu smartphone-nya hidup kembali. Baik dari teman sekelas, juga nomor asing. Mungkin, mereka berniat menghujat gadis itu via telepon.
Namun, Amel mengesampingkan mereka karena ada seseorang yang harus ia yakinkan terlebih dahulu.
"Demi Allah, Gen, gue beneran nggak tahu itu nomor siapa. Gue juga nggak pernah meminta admin untuk memasukkannya ke grup, apalagi bilang bahwa nomor itu adalah nomor gue yang lain.
"Gue juga bukan cewek bermulut ember yang suka mengumbar rahasia orang lain. Jika lo nggak percaya, gue bisa menelepon Dara, Desi, dan Ocha. Mereka mengenal gue dengan baik."
"Nggak perlu." Jawaban Wisanggeni mengurungkan niat Amel untuk menelepon ketiga sahabatnya.
"Lo … nggak memercayai gue?"
"Gue percaya kok."
"Eh!?" Amel berharap, Wisanggeni berkata jujur. "Lo beneran memercayai gue, kan?"
Cowok jangkung itu mengangguk. "Sebelumnya, ada seseorang yang mengatakan, lo itu orang yang bisa dipercaya. Jadi, gue nggak akan meragukan setiap ucapan lo."
Meski gue sempat meragukan lo tadi.
"Siapa orang itu?" tanya Amel, penasaran.
Wisanggeni tersenyum. "Lo cukup tahu, dia … adalah seseorang yang meminta gue untuk menjaga lo."
*****
"Akan tetapi, siapa pemilik nomor itu sebenarnya?"
Pertanyaan Wisanggeni membuyarkan lamunan Amel, yang tengah menerka orang yang meminta sang tuan muda untuk menjaganya.
Gadis itu menyahut, "Mungkinkah dia orang gaje yang mengganggu kita sebelumnya?"
Sejenak, Wisanggeni terdiam. "Tapi, kenapa ia bisa mengetahui kebenaran itu? Bahkan ia tahu, gue memberitahu lo saat di makam ibu."
Kali ini, gadis di sampingnya yang terdiam. Itu juga yang saat ini tengah ia pikirkan.
Amel ingat, saat itu hanya ada mereka berdua di sana. Tak terlihat sosok orang lain. Jadi, bagaimana itu bisa mengetahui hal tersebut?
Satu misteri belum terjawab, misteri lain muncul dalam benak. "Selain itu, kenapa dia bisa menggunakan WA gue?" Amel bersuara, memecah lamunan Wisanggeni.
"Diretas?" terka Wisanggeni.
"Jika orang itu bisa meretas WA gue, untuk apa dia repot-repot berakting menjadi gue agar nomornya dimasukin ke grup?
"Lagian, kenapa dia memilih waktu setelah gue tidur untuk menyebar kebenaran itu? Alasannya, pasti karena nggak mau ketahuan sama gue."
Lagi, Wisanggeni dibuat terdiam. Tak berselang lama, ia kembali bertanya, "Apakah ada orang lain yang pernah menggunakan HP lo sebelumnya?"
"Orang lain yang pernah menggunakan HP gue?" Amel membeo. Dalam benaknya terlintas sebuah nama yang belum lama ini pernah meminjam smartphone-nya.
___________________
Jumat, 18 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Ficção AdolescenteMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...