"Sekarang, lo udah percaya, kan?" tanya Wisanggeni. "Kalo lo masih belum percaya juga, gue bisa menelepon oma, atau membawa lo ke Permata Suci. Dengan begitu, lo bisa bertanya langsung pada bu Laras, pak Karto, juga bu Karti. Bahkan, gue nggak keberatan membawa lo menemui kedua orang tua almarhumah ibu kandung gue."
Amel cepat menjawab, "Nggak perlu." Lantas, ia bertanya, "By the way, apa isi surat dari mendiang ibu lo?"
"Jika lo penasaran ...." Wisanggeni merogoh saku celana panjangnya. Ia mengeluarkan secarik kertas laminasi yang dilipat dua kali. Kemudian, kertas putih itu disodorkan pada Amel. "Lo bisa membacanya sendiri."
Amel menatap wajah Wisanggeni. "Lo sengaja membawa surat itu?"
Wisanggeni mengangguk. "Karena gue udah bertekad memberi tahu lo. Jadi, gue nggak akan tanggung-tanggung.
"Nih, ambil! Katanya lo pengen tahu isi surat dari almarhumah ibu kandung gue. Lo juga penasaran sama asal-usul nama gue, kan? Nah, di surat ini ada jawaban atas pertanyaan lo."
Sejenak, Amel menatap wajah sang majikan sebelum beralih pada surat di tangan kanannya. Gadis itu mengambil surat tersebut, membuka lipatannya, lantas membacanya dalam hati.
'Teruntuk siapa pun yang merawat putraku. Tolong, berikan surat ini ketika ia dirasa sudah siap menerima kenyataan.'
Hanya paragraf itu yang tertulis. Amel lalu membalik kertasnya sebelum kembali melanjutkan membaca dalam hati.
'Putraku sayang.
'Ketika kamu membaca surat ini, Ibu yakin, kamu pasti sudah dewasa. Kira-kira, kamu sudah umur berapa, ya? 15, 16, atau 17 tahun?Apa Geni belum lama menerima surat ini? Benak Amel bertanya. Ia tak menanyakannya dan memilih untuk membaca surat tersebut sampai selesai.
'Ah, itu tidak penting. Berapa pun usiamu, kamu pasti tumbuh sebagai cowok yang ganteng. Semoga saja, akhlakmu juga sebaik rupamu. Jangan seperti ayahmu yang hanya enak dipandang saja.'
Hanya enak dipandang saja? Apa maksudnya? Tak ingin bingung sendiri, gadis itu melanjutkan membaca surat tersebut.
'Ibu harap, kamu tidak mengikuti jejak ayahmu yang tega merusak perempuan yang mencintainya. Lalu, meninggalkan perempuan itu tanpa memberi pertanggungjawaban.'
Amel tertegun. Sekilas, ia mengerling pada sang majikan yang tengah bermain smartphone. Namun, Geni, lo termasuk anak yang beruntung.
Gadis itu lalu kembali mengalihkan atensinya pada surat di tangan.
'Lucunya, justru Ibu yang mengikuti jejak ayahmu. Tahukah kamu, Ibu sempat terpikir untuk menggugurkanmu, tak lama setelah tahu bahwa kamu telah hadir dalam rahim Ibu.
'Akan tetapi, pada akhirnya Ibu memutuskan untuk melahirkanmu. Ibu pergi ke Bandung dengan alasan kerja. Di sana, Ibu menumpang hidup pada seorang sahabat. Kendati demikian, Ibu tetap tak bertanggung jawab karena telah meninggalkanmu di panti asuhan.
'Ibu terpaksa. Jujur, Ibu tak sanggup menanggung malu dan takut memperlakukanmu dengan buruk. Di sisi lain, Ibu juga tak ingin kamu terbebani oleh olok-olok orang lain.
'Ibu tak keberatan jika kamu membenci Ibu, tak menganggap Ibu, serta tak mengunjungi Ibu. Ibu hanya berharap, kamu hidup bahagia dan sukses di masa depan.
'Selain itu, Ibu berharap kamu sudi memakai nama yang Ibu siapkan untukmu. Wisanggeni. Itu namamu. Ibu ambil dari nama salah satu tokoh pemayangan. Sengaja, karena kalian bernasib sama---sama-sama anak yang dibuang.
'Juga, melalui nama itu, Ibu harap kamu tumbuh layaknya Wisanggeni. Tumbuh sebagai sosok yang tangguh menjalani hidup, tegas dalam membuat keputusan, dan berani mengambil keputusan serta bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kamu ambil.
'Sebelum Ibu akhiri surat ini .... Ngomong-ngomong, putraku sayang, apa kamu mau mengunjungi Ibu andai kata perempuan tak bertanggung jawab ini meninggal?'
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Novela JuvenilMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...