Saat ini, kelas XII IPS3 tengah melangsungkan ulangan harian, mapel matematika.
Meski materi yang diajarkan berbeda, tapi ada satu kesamaan antara matematika jurusan IPA dan IPS. Sama-sama bikin pening.
Banyak dari mereka yang sibuk celingak-celinguk---antara menyontek dan memperhatikan Pak Dirman, selaku guru mapel, yang sibuk mondar-mandir keliling kelas.
Tidak termasuk Amel. Gadis itu justru masuk dalam daftar murid yang mampu menghadapi ulangan matematika hari ini, berkat Hana yang telah mengajarinya.
Berbicara tentang Hana, Amel sudah mengetahui semuanya dari Wisanggeni. Ia tak menyangka, Hana ternyata hanya berpura-pura baik padanya.
Kendati demikian, Amel tetap saja kasihan dan agak bersimpati, terlebih ketika tahu gadis berwajah datar itu mengurung diri di kamar di rumah orang tuanya. Sampai sekarang, Hana masih enggan keluar.
Selain keluarga sang majikan, Amel juga ikutan cemas. Bahkan, sampai berpikiran yang tidak-tidak, tapi segera ditepis olehnya. Sama seperti Wisanggeni, ia pernah mencoba menghubungi Hana, tapi usahanya juga sia-sia.
Di saat seluruh penghuni kelas XII IPS3 tengah fokus, pintu yang sengaja ditutup, mendadak dibuka dari luar.
"Wisanggeni, apa kamu nggak punya sopan santun!?" Pak Dirman memelotot pada cowok jangkung berseragam batik biru itu, yang masuk ke kelas tanpa permisi.
"Maaf, Pak, saya lagi buru-buru," ujar Wisanggeni, baru menyadari sosok sang guru yang berdiri di salah satu pojok belakang kelas. Ia lantas kembali melangkah, menghampiri meja guru sebelum menuju bangku Amel di barisan bangku kedua dari timur.
"Ada apa, Gen?" Amel bertanya, begitu sang majikan tiba di samping bangkunya.
Maklum, jika gadis yang juga berseragam batik biru itu bertanya demikian. Heran saja, tiba-tiba Wisanggeni datang ke kelas, di saat jam pelajaran pula. Lebih heran lagi ketika melihat wajahnya yang berkeringat, dengan napas tersenggal-senggal.
"Nanti gue jelasin." Wisanggeni menggenggam tangan kanan Amel pada pergelangannya, menariknya agar gadis itu berdiri.
"Eh-eh, Gen, gue lagi ulangan," ucap Amel, tetapi tidak melawan ketika tangannya ditarik sang majikan. Ia mengikuti langkah cowok jangkung itu yang berlalu menuju pintu.
"Tinggal aja. Lagian kurang dikit juga," jawab Wisanggeni, yang sempat melihat lembar jawaban Amel. Kurang dua soal dari lima belas soal.
"Tapi--"
"Apa lo nggak mau menjenguk Hana di rumah sakit?"
Pertanyaan Wisanggeni bukan hanya mengejutkan Amel, tapi juga seluruh penghuni kelas XII IPS3.
*****
Setelah menjelaskan---ralat, membohongi Pak Dirman mengenai penyebab Hana masuk rumah sakit, Wisanggeni kembali menarik tangan Amel.
Sang tuan muda mempercepat langkah, membuatnya sedikit kewalahan. Ia juga merasakan genggaman tangan Wisanggeni semakin mengencang. Hingga pada akhirnya ....
"Sakit, Gen."
Mendengar itu, Wisanggeni langsung melepas genggaman tangannya. Ia lekas memandang pergelangan tangan Amel. Meski samar, terlihat jejak kemerahan di sana.
"Maaf." Wisanggeni berujar lirih, "Gue nggak bermaksud menyakiti lo."
Tanpa perlu bilang, Amel juga tahu. Terlihat jelas dari wajah cowok jangkung di depannya ini. Wajah yang mengisyaratkan kecemasan mendalam.
Amel tersenyum. "Nggak apa-apa kok. BTW, kita lari aja ya, biar cepet sampai." Setelah berkata demikian, ia berlari bersama sang majikan menuju parkiran, tanpa ada adegan menarik tangan seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Teen FictionMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...