Bunyi bel terdengar di setiap penjuru kelas. Itu bel tanda berakhirnya waktu mengajar, sekaligus dimulainya istirahat kedua.
Seraya beres-beres buku pelajaran dan alat tulis, Wisanggeni berucap, "Han, kamu ke kantin sama Bima ya. Soalnya aku mau pulang, buat ngambil buku yang ketinggalan."
Teman sebangkunya, Hana, menatap sang kakak. "Tumben, Kakak lupa bawa buku."
Wisanggeni balas memandang. "Yaaa namanya juga manusia. Wajar dong kalo lupa, asal nggak keterusan aja," jawabnya, lalu mengalih pandang ke bangku di belakang Hana, tempat Bima duduk.
Baru hendak membuka mulut, satu-satunya siswa kelas XII IPA1 yang tidak memiliki teman sebangku itu mendahului. "Nggak perlu lo ingetin, gue akan selalu menemani Hana, ke mana pun dia pergi."
Wisanggeni tersenyum, meski Bima masih bersikap ketus padanya. Atensinya lalu berpindah ke bangku belakang. "Roni."
Si empunya nama, cowok berambut cepak yang duduk di belakang Bima, mengalih pandang dari smartphone-nya.
"Kan, lo tadi telat tuh, berarti motor lo gampang dikeluarin dari parkiran dong?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Gue pinjem. Tenang aja, gue bawanya hati-hati kok. Plus, gue bakal ganti uang bensin."
Sejenak, Roni terlihat berpikir. "Oke deh." Lantas mengeluarkan kunci motornya dari salah satu saku celana. Melemparnya pada si peminjam.
Gampang saja Wisanggeni menangkapnya. "Thanks ya. BTW, motor lo yang ninja merah itu, kan?"
Roni hanya mengangguk. Ia pun kembali bermain game di smartphone. Sementara Wisanggeni beranjak dari duduknya, berlalu menuju pintu.
Begitu sosok cowok jangkung itu ditelan dinding, Hana mulai mengobrak-abrik tasnya. Tidak ketinggalan mengecek laci meja sang kakak.
Kurang satu. Hana tidak menemukan buku tulis Bahasa Sunda milik Wisanggeni. Kendati demikian, firasat gadis berponi itu tetap merasa ada yang janggal.
*****
"Amel!"
Bukan hanya si empunya nama yang menoleh ke sumber suara, tetapi juga beberapa murid lain.
Wisanggeni tersenyum, menuruni anak tangga untuk menghampiri Amel yang baru keluar kelas. Gadis itu tidak sendirian, Melati berdiri di sampingnya.
"Hai, Put," sapa Wisanggeni, ramah. "BTW, thanks ya, udah mau membantu gue ngomong tadi."
"Iya. Lagian cuma hal sepele juga," jawab Melati, tidak lupa melempar senyum ramah.
Wisanggeni lalu beralih pada Amel. "Gue mau pulang dulu."
"Pulang? Ngapain?"
Sekilas, cowok jangkung itu mengerling ke tangga. Aman. Kemudian berbisik ke telinga Amel, memberinya jawaban.
*****
"Baru juga digituin, wajah lo udah kayak kepiting rebus," ujar Melati, setelah Wisanggeni pergi dari hadapan mereka.
"Eh!?" Amel, yang mematung dengan wajah merona, akhirnya tersadar. "Ma-mana ada!" Gadis itu langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Dalam hati, ia merutuk Wisanggeni yang tiba-tiba mencubit pipinya di tempat umum, pas lagi ramai pula.
Melati terkekeh melihat tingkah teman sebangkunya itu. "Kayaknya, Wisanggeni suka deh ama lo, Mel." Gadis berbando biru muda itu kembali bersuara, "Kelihatan jelas dari sikapnya sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Novela JuvenilMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...