02. PERPISAHAN

79 49 101
                                    

Jumat ini, Amel berangkat sekolah bersama sang ayah. Gadis itu biasanya berangkat sendiri dengan naik mobil. Ia juga tidak membawa tas. Hanya mengenakan seragam pramuka.

Amel berlalu menuju kantin. Semalam, gadis itu meminta ketiga sahabat dan pacarnya untuk berkumpul di kantin. Katanya, sih, ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan mereka.

Di koridor menuju kantin, Amel dapat melihat ketiga sahabatnya menunggu di salah satu meja kantin. Terlihat juga beberapa murid lain di meja lain.

Salah seorang sahabatnya melambai begitu menyadari keberadaan Amel.

Amel hanya tersenyum. Ia pun bergegas menuju meja di mana ketiga sahabatnya berada.

"Galang mana?" Amel celingak-celinguk mencari keberadaan sang pacar.

"Kayak nggak kenal Galang aja lo," timpal Dara, gadis cantik berambut sebahu yang duduk di samping Amel yang masih berdiri.

"Dia 'kan, hobi absen. Kayak Anton dan Kai," sambung Desi, gadis cantik dengan rambut twintail-nya yang duduk di depan Dara.

Gadis penyuka twintail itu satu-satunya sahabat Amel yang masuk jurusan IPA.

Sementara Amel dan kedua sahabatnya yang lain masuk jurusan IPS. Mereka sama-sama berotak pas-pasan. Tidak sanggup, jika harus berhadapan dengan fisika dan kimia selama dua tahun.

Desi sendiri masuk jurusan IPA karena kemauan kedua orang tuanya yang menginginkan ia menjadi dokter di masa mendatang. Beruntung, gadis itu terbilang pintar, jadi masih bisa mengikuti pelajaran jurusan IPA.

Amel hanya mengembuskan napas pelan. Padahal hari ini hari terakhirnya bersekolah di SMA Cakra Buana dan ia hanya sebentar berada di sekolah. Di dalam hati, Amel berharap semoga hari ini sang pacar berangkat sekolah.

"By the way, hal penting apa yang ingin lo bicarakan, Mel?" tanya Ocha, gadis cantik dengan rambut ekor kudanya yang duduk di samping Desi.

Terlebih dahulu, Amel duduk di samping Dara, di depan Desi. Ia memaksakan tersenyum sebelum berkata, "Gue mau pindah ke Bandung, Guy's."

Seketika Desi tersedak siomai yang hendak ia telan hingga terbatuk-batuk. Segera gadis itu meminum susu cokelat hangatnya yang tinggal setengah hingga tandas.

"Lo nggak papa, Des?"

Tak menghiraukan pertanyaan Amel, Desi balik bertanya, "Lo beneran mau pindah, Mel?" Gadis itu menatap Amel tak percaya.

Pun, dengan Dara dan Ocha yang baru mengalihkan atensi mereka pada Amel.

Amel hanya mengangguk.

"Emang lo nggak mau wisuda bareng kita? Kurang setahun lagi, lho, sebelum kita semua lulus," ucap Ocha.

"Iya, Mel, emang lo nggak mau wisuda bareng kita?" tukas Dara.

"Gue juga nggak mau pindah dan mau wisuda bareng kalian, tapi gue nggak punya pilihan. Karena ...." Amel menggantung ucapannya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya ketika hendak mengatakan alasan kepindahannya ke Bandung.

"Karena apa?" tanya Desi. Ia menangkap gelagat lain sahabatnya yang satu ini.

Bersahabat dari kelas I SD membuat Desi mengenal Amel luar dalam. Dara dan Ocha pun demikian. Mereka juga menangkap gelagat lain sang sahabat dan mengerti arti gelagatnya.

Amel masih menggigit bibir bawahnya. Ia teringat ucapan sang ibu kemarin.

"Yang namanya persahabatan dan cinta sejati itu tulus, tidak memandang fisik, status sosial, atau masa lalu kamu."

"Karena apa, Mel?" Pertanyaan Dara berhasil menyadarkan Amel.

Amel menatap ketiga sahabatnya bergantian sebelum akhirnya berkata, "Bisa tunggu sampai kantin sepi? Karena gue nggak mau ada orang lain yang mengetahui hal ini."

Dara, Desi, dan Ocha pun hanya mengiyakan permintaan Amel. Penasaran dengan alasan gadis itu pindah sekolah.

*****

Dara, Desi, dan Ocha terkejut begitu mengetahui alasan kepindahan Amel ke Bandung. Setengah tak percaya, tapi keraguan ketiganya menghilang saat melihat air muka Amel.

Dengan senyum paksa, Amel kembali bersuara. "Entah apakah kalian masih mau sahabatan sama gue yang sekarang."

"Mel, di mata lo, kami ini orang yang seperti apa?"

Amel menatap Desi. Ia dapat menangkap nada tersinggung dalam ucapan gadis twintail tersebut.

Masih dengan nada tersinggung, Desi melanjutkan, "Kenapa lo bisa berpikir, kami nggak mau sahabatan sama lo yang sekarang? Apa karena lo udah bukan orang kaya lagi, jadi mengira kami nggak sudi sahabatan sama lo?"

Amel menunduk. "Maaf." Hanya satu kata bernada lirih ini yang terucap dari mulutnya.

Desi mengembuskan napas pelan. Ia tidak menyalahkan Amel. Dirinya mungkin juga akan melakukan hal yang sama, jika ada di posisi Amel. Dara dan Ocha juga memaklumi tindakan Amel.

Amel menoleh sembari mendongak ke samping ketika Dara menepuk pelan bahunya. Mendapati gadis berambut sebahu itu tengah tersenyum manis.

"Masih inget ikrar persahabatan kita?" Amel hanya mengangguk.

Dara meletakkan tangan kanannya di meja, mengacungkan kelingkingnya ke atas. "Sekali sahabat ...."

Ocha mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Dara. "Tetap sahabat ...."

Desi juga melakukan hal yang sama. "Sahabat untuk ...."

Kini giliran Amel sebagai penutup. Gadis itu tersenyum menatap ketiga sahabatnya yang juga tersenyum kepadanya, meniru tindakan Ocha dan Desi sebelum menyahut, "Selama-lamanya." Sembari menitikkan air mata bahagia.

Dara pun memeluk Amel. Demikian juga dengan Desi yang sudah berpindah posisi, duduk di samping Amel. Sementara Ocha memeluk ketiga sahabatnya dari belakang.

Aksi keempat gadis itu hanya disaksikan para penjual kantin. Sementara murid lain sudah kembali ke kelas masing-masing karena bel masuk sudah berbunyi beberapa menit yang lalu.

*****

"Udah berpamitan sama sahabat dan pacar kamu?" tanya Papa Amel begitu Amel duduk di sampingnya.

Amel menoleh, menampakkan senyuman manis pada sang ayah. "Udah, Pa."

Gadis itu tadi sudah bertemu Galang setelah lima menit menunggu di kantin bersama ketiga sahabatnya. Amel juga memberitahu cowok itu perihal kepindahan beserta alasannya pindah ke Bandung.

Papa Amel balas tersenyum. Begitu Amel selesai memasang sabuk keselamatan, pria paruh baya itu melajukan mobilnya menuju rumah sebelum mengantar sang putri ke Bandung.

__________________________

Selasa, 22 Maret 2022

KETIKA ORKAY JADI ARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang