Senin, pukul 23.50
Seperti biasa, kesunyian ruang tamu menyambut kepulangan Wisanggeni. Hanya saja, cowok jangkung berseragam merah khas karyawan alfamaret itu samar-samar mendengar suara televisi.
Setelah mengunci pintu, Wisanggeni berlalu menuju ruang keluarga. Ia tak kesulitan berjalan karena dibantu penerangan dari lampu dinding.
Sesampainya di sana, Wisanggeni mendapati televisi yang masih menyala. Namun, dirinya tak mendapati satu pun sosok manusia.
Cowok jangkung itu lalu berjalan mendekati sofa. Terkejut begitu melihat Hana tertidur di sofa ruang keluarga.
"Hana, bangun! Jangan tidur di sini!" ujarnya seraya mengguncang pelan tubuh Hana.
Gadis yang tertidur menghadap televisi itu membuka mata. "Kakak?" Ia mengusap pelan matanya. "Kakak baru pulang?" Lantas, tangan kanannya menutup mulut saat menguap lebar.
"Iya, aku baru pulang," jawab Wisanggeni. "Udah, cepat bangun! Lanjut tidur di kamar, jangan di sini!"
Tanpa mengubah posisi, Hana merentangkan kedua tangannya pada sang kakak. "Gendong," pintanya, manja.
"Hana, aku baru pulang kerja, masa disuruh gendong kamu ke kamar?"
Gadis berwajah datar itu berdecak. "Gitu aja terus jawabnya. Coba kalo Amel yang minta, pasti langsung dikabulin."
Meski lirih, tetapi tetap terdengar. Wisanggeni mengembuskan napas pelan. "Ya udah, iya. Aku gendong kamu ke kamar."
Terlebih dahulu, cowok jangkung itu mematikan televisi sebelum jongkok membelekangi Hana dengan kedua tangan di punggung. "Ayo naik."
Padahal, aku penginnya digendong ala brydal style. Hana tak menyuarakan isi hatinya, takut sang kakak berubah pikiran.
Gadis berponi itu lantas naik ke punggung Wisanggeni. Tak lupa, ia melingkarkan kedua tangannya pada leher cowok jangkung tersebut.
"Inget, yang anteng! Kecuali kamu mau aku turunkan paksa."
Hana hanya mengiyakan. Ia merapatkan tubuh serta menguatkan pegangan pada tangan begitu Wisanggeni mulai berdiri. Serta, menopangkan dagu di bahu sang kakak.
"Aku berat nggak, Kak?"
Seraya berjalan pelan menuju tangga, cowok jangkung itu menjawab, "Sama seperti saat terakhir kali aku menggendongmu."
Jika saja Hana normal, ia akan menyunggingkan senyum mendengar kebohongan tersebut.
Setelahnya, kakak beradik itu tak ada yang bersuara. Bahkan, Hana sampai ketiduran dalam gendongan Wisanggeni.
Begitu sampai di kamar bernuansa merah muda---dari dinding sampai tempat tidur berwarna senada dan banyak hiasan dinding poni pink dengan tanda bakat balon---Wisanggeni menurunkan Hana di ranjang dengan perlahan, tak ingin sang adik terbangun.
Cowok jangkung itu menidurkan Hana pada sebuah bantal bergambar Pinkie Pie. Tak lupa, ia menyelimutinya dengan selimut yang juga bergambar sama.
Saat Wisanggeni hendak menyalakan lampu tidur, seseorang memegang bajunya.
"Lho, ternyata kamu belum tidur?" tanya Wisanggeni yang mendapati sang adik masih terjaga.
"Aku mau minta hadiah atas sesuatu yang sudah kulakukan."
Wisanggeni menatapnya, bingung. "Sesuatu yang sudah kamu lakukan?"
"Apa Amel belum memberitahu Kakak?"
Oh, tentang itu.
Wisanggeni duduk di kursi, sebelum balik bertanya, "Kamu sungguh mengizinkanku memiliki hubungan spesial dengan Amel?"
Hana mengangguk. "Namun, apa oma dan orang tua kita mau merestui hubungan kalian?"
"Aku akan berusaha meyakinkan mereka. Jika aku kesulitan, kamu mau membantuku, kan?"
Lagi, Hana mengangguk. "Tapi, aku tetap meminta hadiah dari Kakak. Tenang, ini bukan barang kok. Aku hanya meminta tiga permintaan aja."
Gue malah berharap, lo meminta barang ketimbang permintaan.
Wisanggeni memgembuskan napas pelan. Terakhir kali, Hana meminta untuk tinggal di rumahnya sampai lulus SMA---syarat yang gadis berponi itu ajukan saat sang kakak mewakili Pak Kepsek, memintanya menjadi salah seorang peserta perwakilan SMA Galaksi dalam LCC sekota madya Bandung. Entah apalagi yang diinginkan adiknya itu sekarang.
"Asal bukan---"
"Sesuatu yang keterlaluan dan nggak melanggar norma, kan?" Hana memotong, kemudian melanjutkan. "Apakah jalan-jalan berdua dengan Kakak di hari libur termasuk sesuatu yang keterlaluan dan melanggar norma? Jika iya, maka aku akan menggantinya. Namun, jika tidak, itu akan menjadi permintaan pertamaku.
"Lalu, permintaan keduaku sederhana. Kakak harus menemani ke mana pun aku pergi, juga tidak boleh mengeluh atas sikapku besok."
Padahal, rencananya besok gue mau nemenin Amel di rumah, ujar Wisanggeni dalam hati. Ia hanya mengiyakan, tak ingin gadis berponi itu bete.
"Lalu, apa permintaan terakhirmu?"
Sembari menatap netra sang kakak, Hana menjawab, "Aku ingin … Kakak mencium keningku."
"Eh, kamu bercanda, kan?"
"Aku serius. Lagian, aku cuma meminta Kakak mencium di kening, bukan di bibir. Apa menurut Kakak, permintaanku keterlaluan atau melanggar suatu norma?"
"Emang nggak, hanya saja---"
"Please, Kak." Hana memohon. "Sekali iniii aja, Kakak kabulin ya?"
Lagi, Wisanggeni mengembuskan napas pelan. "Janji ya, sekali ini aja?"
"Iya," jawab gadis berponi itu.
Wisanggeni berpindah duduk di bibir ranjang, lantas mulai mendekatkan wajahnya pada kening Hana.
"Sebantar, Kak!" Namun, niatnya urung lantaran kedua tangan Hana menghadang. "Biarkan aku bersiap dulu." Setelah berucap demikian, gadis berponi itu menutup wajah---dari hidung ke bawah---dengan selimut.
"Sekarang, Kakak boleh mencium keningku."
Kirain nggak jadi.
Wisanggeni melanjutkan aksinya. Terlebih dahulu, ia menyibak rambut Hana, sebelum mendaratkan kecupan lembut pada kening sang adik.
Hana menutup mata, menikmati kecupan Wisanggeni yang tak bertahan lama---sesuatu yang sudah lama tak ia dapatkan. Entah kapan gadis berponi itu bisa mendapatkannya lagi.
"Aku ke kamar dulu ya. Mimpi indah." Sebelum pergi, Wisanggeni menyalakan lampu tidur. Tak lupa, ia juga mematikan lampu kamar Hana.
Sepeninggal sang kakak, gadis berponi itu menurunkan selimut yang menyembunyikan wajah meronanya. Ia meraih sebuah bingkai foto di nakas di samping tempat tidur. Di sana, terdapat momen abadi dirinya bersama Wisanggeni saat perpisahan SMP, tiga tahun yang lalu.
Seraya mengusap figur sang kakak dalam balutan jas hitam, Hana berujar lirih, "Rasanya … sangat nggak menyenangkan membayangkan cewek lain menggantikan posisiku, kak."
Sementara itu, Wisanggeni dibuat bingung lantaran mendapati pintu kamarnya tidak terkunci. "Perasaan tadi gue udah ngunci pintu, apa gue lupa lagi ya?"
Dituntut kantuk, cowok jangkung itu mengesampingkan hal tersebut. Ia lekas masuk ke kamar untuk beristirahat setelah beraktifitas seharian.
___________________
Minggu, 13 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Ficção AdolescenteMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...