"Udah dong nangisnya, Mel," ucap Desi, sembari mengelus lembut surai panjang Amel.
Sang sahabat masih menangis dalam pelukannya, tapi sudah tidak terisak seperti tadi.
Tak berselang lama, Amel melepas pelukan Desi. Tangisnya sudah tidak terdengar lagi. Hanya menyisakan netra yang masih berair dan jejak air mata.
Gadis itu lekas menghapus jejak air matanya, lantas tersenyum simpul sembari menatap bergantian ketiga sahabatnya. "Makasih, karena kalian udah mau nemenin gue di masa-masa sulit. Tanpa kalian, gue nggak mungkin bisa bangkit secepat ini. Juga, nggak mungkin datang kemari hari ini."
"Untuk apa makasih, Mel?" Dara menimpali. Senyum terukir di wajahnya. Begitu juga dengan kedua sahabatnya yang lain. "Bukankah wajar bagi sahabat saling menemani satu sama lain dalam suka maupun duka?"
Ucapan Dara membuat senyum Amel lebih merekah. Ia berdiri sebelum merentangkan kedua tangannya. "Boleh gue minta peluk?"
"Meski lo nggak minta ...." Desi ikut berdiri, diikuti Ocha dan Dara.
"Kami akan dengan senang hati memberi lo pelukan hangat," sambung Ocha. Ia menjadi orang pertama yang memeluk Amel. Desi dan Dara lantas menyusul memeluk sang sahabat.
Tak ada orang yang melihat kehangatan keempat gadis tersebut. Hanya banyaknya makam yang menjadi saksi bisu.
*****
"Sekarang, kita shopping, yuk! Buat healing," ajak Desi, begitu sudah tidak berpelukan dengan ketiga sahabatnya.
Dara dan Ocha serentak menyahut, "Yuk!" Lantas, ketiganya menatap Amel penuh harap. Pasalnya, gadis itu sudah menolak ajakan mereka dalam lima hari terakhir.
"Lo ikut, kan, Mel?" tanya Desi.
Amel tersenyum simpul. Ia menggeleng sebelum berkata, "Sori, gue terpaksa menolak ajakan kalian lagi. Karena hari ini, gue mau pergi ke Bandung."
"Emangnya, harus sekarang banget, Mel?" Desi bertanya lagi.
"Kan, bisa nanti sore perginya," timpal Dara. Ocha mengangguk setuju.
Amel masih mempertahankan senyum simpulnya. "Di kota ini, banyak kenangan gue dengan Galang. Jika gue terlalu lama di sini, itu akan membuat gue susah untuk mengikhlaskan kepergiannya.
"Selain itu, gue nggak mau terlalu lama meninggalkan pekerjaan di sana."
"Yah, masa batal lagi?" Kentara sekali kekecewaan Ocha. Baik dari nada bicara maupun air mukanya.
"Apanya yang batal?" Desi bersuara. Ia kembali mengalih pandang pada Amel. "Kami anterin lo ke Bandung, tapi lo harus ikut kami shopping! Lo bisa milih, mau shopping di Jakarta atau di Bandung. Terserah."
Amel tetap menggeleng. "Gue lagi mau hemat."
"Kami traktir," jawab Dara.
Namun, Amel kukuh menolak."Gue nggak mau ngerepotin kalian."
Huft
"Lo kayak sama siapa aja," ucap Desi. "Pokoknya, lo harus ikut kami shopping! Jika lo menolak, persahabatan kita cukup sampai di sini saja!"
Amel melotot mendengarnya. Ia lebih terkejut ketika kedua sahabatnya yang lain justru berpihak pada Desi. Mereka pasti sudah berkomplot, terkanya dalam hati.
Gadis itu lantas mengembuskan napas pelan. "Ya sudah, gue ikut kalian shopping."
Jawaban Amel membuat senyum ketiganya merekah
"Dari tadi, kek, lo jawabnya gini," ucap Ocha, sembari merangkul Amel.
Yang dirangkul hanya tersenyum simpul. Begitu Desi mengusulkan untuk langsung berangkat berbelanja, ia kembali bersuara, "Sebelumnya, bisa tolong anterin gue pulang terlebih dahulu? Gue mau ngambil seragam yang masih di rumah, sekalian pamit sama mama dan papa."
*****
Saat ini, Amel dan ketiga sahabatnya tengah dalam perjalanan menuju Bandung.
Gadis itu memutuskan untuk langsung ke kota sang majikan setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya. Sekalian, berbelanja di Kota Kembang tersebut.
Selama dalam perjalanan, mereka banyak mengobrol.
Namun, Amel lebih banyak diam. Sama seperti saat perjalanan pulang pergi mengunjungi Galang, ia hanya menyimak dan sesekali menimpali obrolan ketiga sahabatnya, tanpa berminat ikut nimbrung.
"Oh iya, Mel ...." Suara Desi terdengar lagi. Sekilas, gadis yang duduk di kursi pengemudi itu mengerling pada bayangan sang sahabat di spion dalam mobil. "Gue saranin, lo segera membuka hati buat Wisanggeni."
"Ha!?" Tak hanya Amel. Dara dan Ocha pun dibuat terkejut dengan ucapan Desi.
Dara, gadis yang duduk di samping Amel, mewakili yang lain dengan bertanya, "Lo kenapa tiba-tiba bilang gitu?"
Dengan pandangan tetap pada jalan raya, Desi menjawab, "Itu demi kebaikan Amel. Dengan membuka hati buat Wisanggeni, dia bisa cepat move on dari mendiang Galang."
"Tapi, kenapa harus Wisanggeni?" timpal Ocha.
Sekilas, Desi mengerling pada gadis yang duduk di sampingnya. "Ada dua alasan. Pertama, Wisanggeni akan menjadi cowok yang paling sering bersama Amel. Kedua ... karena cowok itu menyukai Amel."
Lagi, apa yang diucapkan Desi membuat para penumpangnya terkejut.
Belum sempat ada yang merespons, gadis twintail itu kembali bersuara, "Gue bilang gini bukan tanpa sebab. Sebelum Wisanggeni pulang, gue mendapatinya tengah menatap Amel. Dari tatapan juga ekspresinya, cowok itu tampak mengkhawatirkan Amel dan terlihat berat meninggalkannya."
"Emang bener gitu? Tapi, kenapa gue nggak menyadarinya, ya?"
"Karena kita berdua terlalu sibuk menenangkan Amel yang masih terisak, sampai tidak memperhatikan sekitar." Dara yang menjawab pertanyaan Ocha. Ia lalu menambahkan, "Akan tetapi, hal itu nggak cukup untuk membuktikan bahwa Wisanggeni menyukai Amel."
"Gue setuju sama Dara." Amel tiba-tiba bersuara, membuat ketiga sahabatnya mengalihkan atensi padanya. "Khawatir bukan berarti suka. Terlebih, kami belum lama saling mengenal. Jadi, nggak mungkin Wisanggeni menyukai gue."
"Di dunia ini, segala sesuatu berkemungkinan terjadi. Termasuk, kemungkinan Wisanggeni menyukai lo pada pandangan pertama."
Balasan Desi membuat Amel bungkam. Dalam benaknya terngiang satu pertanyaan. Benarkah Wisanggeni menyukai gue?
_______________
Selasa, 2 Agustus 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Novela JuvenilMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...