"Maaf lama," ucap Amel begitu masuk ke mobil.
Tanpa menjawab pertanyaan Amel, Wisanggeni mulai menjalankan mobilnya.
Diamnya cowok jangkung itu, membuat Amel tak enak hati. "Maaf, jika gue menyakiti perasaan lo. Akan tetapi, gue sungguh nggak mau menjadikan lo sebagai pelampiasan."
Dengan pandangan tetap pada jalan raya, Wisanggeni membalas, "Gue nggak keberatan jadi pelampiasan lo."
Tak percaya, Amel memandang majikannya tersebut. "Lo bercanda, kan?"
"Perasaan nggak bisa dibuat candaan. Cuma orang berengsek yang menjadikan perasaan sebagai candaan."
Amel terdiam. Ia lalu bertanya, "Emangnya, apa yang membuat lo menyukai gue? Selain fisik, gue nggak punya kelebihan lain. Gue nggak pinter, nggak punya bakat pula."
"Lo cewek baik," jawab Wisanggeni.
"Tahu dari mana, gue cewek baik? Kita aja belum lama kenal."
Kini, giliran Wisanggeni yang terdiam. Membuat Amel meragukan jawabannya. Bilang aja, lo cuma lihat fisik gue. Tentu, gadis itu tak menyuarakan isi hatinya.
Ia memilih untuk berkata, "Sekalipun kita pacaran, belum tentu hubungan kita direstui oma dan kedua orang tua lo. Ditambah Hana yang nggak menyukai gue sejak pertama kali bertemu."
"Soal restu, gue yakin mereka akan merestui. Mengenai Hana, gue tinggal meyakinkannya aja."
"Gue boros, Gen." Amel tak kehabisan akal. "Sekali shopping, gue bisa habis lima juta. Bisa-bisa, harta lo habis cuma buat gue belanjain doang."
"Nanti juga lo berubah sendiri setelah lama menjadi ART."
Baiklah, Amel menyerah. Cowok jangkung itu sudah bertekad dan sulit digoyahkan hanya dengan beberapa kalimat.
"Terserah, jika lo nggak mau menyerah. Namun, gue tetep nggak mau menjadikan lo sebagai pelampiasan, sekalipun lo menawarkan diri."
Sekilas, Wisanggeni mengerling pada gadis di sampingnya. Lo emang cewek baik, Mel. Entah apakah sikap lo masih baik sama gue, setelah lo mengetahui kebenarannya.
Setelahnya, tak ada yang berbicara. Sampai Wisanggeni memakirkan mobilnya di pinggir jalan, tak terlalu jauh dari pemakaman umum.
Amel melepas earphone, memandang Wisanggeni bingung. "Kenapa kita berhenti di sini, Gen?"
"Gue laper. Mau makan dulu." Wisanggeni membuka pintu. "Lo mau ikut atau tinggal di mobil?"
Amel yang tengah mengedar pandang, kembali mengalihkan atensinya pada sang majikan. "Lo mau makan di mana? Di sini, selain bakso pangkalan, nggak ada kafe atau restoran."
"Emangnya, saat makan di luar, gue harus makan di kafe atau restoran?" Cowok jangkung itu lalu keluar dari mobil. "Lo mau ikut atau kagak?"
"Gue ikut," jawab Amel. Ia juga lapar. Sekalian, hitung-hitung menambah pengalaman baru, makan bakso pangkalan pinggir jalan.
*****
"Sekarang, gue tahu kenapa lo suka makan di sini. Baksonya enak, seperti kata lo. Khususnya, bakso urat ini." Amel lalu kembali melanjutkan makan.
Wisanggeni memang sering makan di Bakso Mang Ujang. Biasanya, cowok jangkung itu mampir sehabis ziarah dari makam ibu kandungnya.
Ketika hendak menyuap sebiji bakso kecil, tangan Amel terhenti di udara saat telunjuk Wisanggeni mengusap lembut dagunya.
"Ada bawang goreng di dagu lo," ucap Wisanggeni seraya menunjukkan bawang goreng di telunjuk tangan kanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Teen FictionMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...