Semalam
Amel bersiap untuk tidur karena smartphone-nya sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB.
Setelah mengganti pakaiannya dengan piyama bermotif bunga, Amel keluar kamar.
Sepi.
Kamar depan dan kamar sebelah pintunya sama-sama tertutup, tapi hanya kamar sebelah yang lampunya padam.
Selain suka mendengarkan musik melalui earphone, kebiasaan lain Amel ialah bangun tengah malam untuk minum.
Jadi, segelas air di nakas adalah hal wajib sebelum ia tidur.
Ketika menuruni tangga, Amel tak menyadari pintu kamar sebelah terbuka. Juga tidak menyadari kehadiran gadis berponi yang diam-diam mengekorinya.
*****
Dapur
"Bisa kita bicara sebentar?" Amel mengalih pandang dari gelas yang tengah diisi air.
Ia menoleh, mendapati Hana masuk ke ruang makan dan berjalan mendekat ke arahnya.
Terlebih dahulu Amel menutup mulut gelas dengan ceper sebelum atensinya benar-benar teralihkan pada gadis berponi berwajah datar yang kini sudah berdiri di sampingnya.
Belum sempat ia membuka mulut, Hana kembali bersuara. "Boleh kasih tahu obrolanmu sama kakak ketika di ruang makan rumah utama?"
Amel agak heran mendengar pertanyaan Hana. Benaknya bertanya, Kenapa nggak nanya langsung sama Wisanggeni?
Akan tetapi, karena tak ingin membuat Hana marah, alhasil Amel tetap memberitahu obrolannya dengan Wisanggeni.
Toh, cowok jangkung itu tidak memintanya untuk merahasiakan obrolan mereka dari Hana.
Gadis berponi itu membisu sejenak sebelum kembali bertanya, "Ngomong-ngomong, apa kamu sudah punya pacar?"
Amel tertegun. Kenapa, nih, cewek tiba-tiba nanyain gue udah punya pacar atau belum?
"Maaf, kenapa Nona tiba-tiba menanyakan hal itu?" Amel menyuarakan isi hatinya.
"Jika kamu sudah punya pacar, aku bisa membantumu bertemu dengan pacarmu minimal satu minggu sekali."
Amel tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Nona sungguh ingin membantu saya?"
"Melihat responmu, sepertinya kamu sudah punya pacar. Akan tetapi, aku memiliki satu syarat.
"Asal kamu setuju untuk menjaga 'jarak' dengan kakak, kamu bisa malam mingguan dengan tenang tanpa perlu mengkhawatirkan akan ketahuan oleh oma, mama, atau kakak. Bagaimana?"
Bagi Amel, tawaran Hana cukup menggiurkan. Jujur saja, ia tak ingin LDR tanpa pernah ketemu dengan Galang. Selama setahun pula.
Gadis itu khawatir, Galang akan melirik perempuan lain karena tak bisa menemui dirinya.
"Saya setuju, Non!" seru Amel mantap. "Tapi, bagaimana Anda membantu saya? Selain kamar dan kamar mandi, ruangan lain dipasangi CCTV. Meski saya pergi diam-diam ketika tuan muda tengah bekerja juga akan ketahuan oleh CCTV."
Sebagai jawaban, Hana berkutat dengan smartphone yang ia bawa dari kamar.
Sesaat kemudian, gadis berponi itu menunjukkan layar smartphone-nya pada Amel. "Ini nomor pos security rumahku. Aku akan menelepon pihak security dan meminta mereka untuk tidak melaporkanmu pada oma atau mama saat kamu tengah malam mingguan."
"Apakah mereka mau membantu?"
"Tidak tahu jika tidak dicoba."
Hana lantas menelepon nomor pos security rumahnya.
Tak lebih dari satu menit, panggilan gadis berponi itu diangkat. "Ya, dengan siapa saya bicara?" Terdengar suara seorang pria paruh baya dari smartphone Hana.
Terlebih dahulu Hana mengaktifkan loud speaker sebelum menjawab, "Ini aku. Hana Roselina Nirduri. Aku menelepon karena ingin meminta tolong.
"Mulai besok malam, hanya untuk malam Minggu saja, tolong matikan CCTV di rumah kakak.
"Jika mama atau oma nanyain, bilang aja CCTV-nya eror. Tenang aja, aku akan memberi kalian uang upah jika kalian mau menolongku," jelas Hana.
Amel melongo. Tak menyangka Hana akan menyuap security di rumahnya.
Dari smartphone Hana, terdengar suara orang mengobrol. Jika Amel tidak salah hitung, ada tiga orang pria yang sedang mengobrol---sudah termasuk pria yang mengangkat panggilan Hana.
"Jika saya boleh tahu, kenapa Anda ingin CCTV di rumah tuan muda Wisanggeni dimatikan setiap malam Minggu?" tanya si pria yang mengangkat panggilan Hana.
"Tak perlu tahu, cukup tahu aku akan memberi kalian bertiga masing-masing 500 ribu per orang."
"500 ribu per orang, Non!?"
"Kenapa? Apakah terlalu sedikit?"
"Tidak, tidak! Justru terlalu banyak. Cukup 300 ribu per orang saja, Non."
"Anggap saja yang 600 ribu sebagai bonus kalian. Besok aku akan mentransfernya, jadi kirimkan rekening bankmu ke nomorku--"
"Sebentar, Non! Saya menyiapkan HP dulu," potong si pria di seberang telepon. "Oke, saya sudah siap. Nomornya berapa, Non?"
Hana mengeja nomor kartunya dengan perlahan agar tidak perlu mengulang.
"0878-6680-XXXX. Benar, kan, Non?"
"Iya," jawab Hana pendek.
"Sebelumnya kami ucapkan terima kasih. Akan tetapi, ada sedikit masalah dengan 'permintaan' Nona.
"Jika CCTV di rumah tuan muda Wisanggeni dimatikan setiap satu minggu sekali, hal itu bisa menimbulkan kecurigaan. Saya punya saran, bagaimana jika satu atau dua kali sebulan?"
Hana tak langsung menjawab. Ia beralih pada Amel yang sedari tadi menyimak. "Bagaimana, Mel?"
Sebagai jawaban, Amel membentuk huruf V dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
Hana yang mengerti akhirnya berucap, "Dua kali sebulan aja."
Dirasa cukup, Hana memutuskan untuk mengakhiri obrolan. Terlebih dahulu gadis berponi itu mengingatkan si security agar tidak lalai menjalankan tugas yang ia berikan, sebelum akhirnya memutus panggilan.
"Sori, aku tidak bisa memenuhi ucapanku tadi."
Amel cepat menggeleng. "Saya justru berterima kasih karena Nona sudah mau membantu. Lagipula dua kali dalam sebulan lebih dari cukup daripada tidak bertemu sama sekali.
"Tapi, maaf, saya mungkin belum bisa mengembalikan uang Nona dalam waktu dekat."
"Tidak perlu kamu kembalikan. Cukup ingat untuk menjaga 'jarak' dengan kakak." Tiba-tiba Hana menutup mulut dengan tangan kanan, bersamaan dengan kedua matanya yang memejam.
Mungkin tengah menguap. Namun, kenapa wajahnya tetap datar? Bahkan, sedari tadi ekspresi gadis berponi itu tidak berubah.
Jika diingat lagi, Amel juga belum pernah melihat Hana tanpa wajah temboknya sejak pertama kali mereka bertemu.
Kelopak mata Hana kembali terbuka, menampakkan sepasang mata indah yang tengah berkaca-kaca---Amel yang melihatnya tidak terkejut karena ia juga menangis saat menguap.
"Aku balik ke kamar dulu." Hana berbalik, lantas meninggalkan Amel seorang diri di ruang makan dengan sebuah pertanyaan di benaknya.
Sungguh, apa cewek itu hanya bisa berwajah tembok?
________________
Kamis, 26 Mei 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA ORKAY JADI ART
Fiksi RemajaMenjadi ART? Karamel tak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Namun, siapa sangka, gadis yang akrab disapa Amel itu sungguh menjadi ART demi melunasi hutang orang tuanya. Entah apakah ia akan betah, atau justru menyerah di tengah jalan. _________...