40. KEBENARAN YANG BELUM TERUNGKAP

9 3 0
                                    

Setiap di hari kerja, kecuali pas tanggal merah, rutinitas Amel sebagai ART tidaklah banyak. Di pagi hari, memasak untuk sarapan dirinya dan Wisanggeni. Lalu sepulang sekolah, memasak lagi, dilanjut mencuci peralatan makan dan peralatan memasak. Terkadang juga bersih-bersih rumah dari debu. Itu pun hanya satu atau dua ruangan saja, juga menggunakan mesin penyedot debu yang membuat pekerjaannya lebih cepat selesai.

Begitu semua pekerjaannya selesai, gadis itu menghabiskan waktu di kamar. Jika tidak bermain smartphone, ia habiskan waktunya untuk belajar---hobi baru Amel semenjak tahu dirinya tergolong dalam jajaran murid pintar, yang juga berkat Hana karena mau menunjukkan hal itu.

Namun, malam ini Amel kebosanan. Suntuk rasanya bermain smartphone terus, mau belajar juga malas. Menonton televisi? Ia masih segan jika tanpa Wisanggeni.

Gadis itu masih mengingat status sebagai ART di rumah dua lantai ini, meski sudah menjadi kekasih sang tuan muda dan sudah mendapat restu dari oma serta kedua orang tua mereka.

Andai ia ikut bekerja di alfamaret, mungkin tidak akan sesuntuk ini. Namun, Wisanggeni melarang, dengan alasan akan berpengaruh buruk pada kinerjanya sebagai ART dan nilai-nilai ulangan juga ujiannya. Apalagi sekarang sudah semester dua, masa paling sibuk bagi murid kelas XII.

Huft

"Sumpah, bosen banget gue," ujar Amel, seraya memandang langit-langit kamar yang berwarna putih. Ia tengah tiduran di ranjang ketika smartphone di sampingnya bergetar panjang.

Gadis berpiyama motif bunga itu menoleh, mengerutkan kening ketika mendapati nomor asing yang meneleponnya via aplikasi hijau. Terlebih, nomor itu bukanlah nomor asal Indonesia.

Penasaran, Amel mengangkat panggilan tersebut. "Halo, dengan siapa saya bicara?" tanyanya menggunakan bahasa Inggris, berjaga-jaga kalau si penelepon bukan orang Indonesia dan tidak bisa berbahasa Indonesia.

"Ini aku, jadi nggak usah pake bahasa Inggris." Suara lembut itu menyapa rungu Amel.

Gadis itu lekas mengambil posisi duduk. "Ini beneran lo, Han?" tanyanya lagi, memastikan.

Hana mendengkus. "Siapa lagi kalo bukan aku?"

Sementara Amel hanya terkekeh garing. Heran saja, tiba-tiba Hana menelepon, setelah berbulan-bulan tidak mengabari, juga tidak bisa dikabari olehnya dan Wisanggeni karena tidak memiliki nomor terbaru gadis berwajah datar itu.

Alhasil untuk mengetahui kabar Hana, mereka harus bertanya pada Kirana atau Wulan.

"Gimana kabarmu dan kakak?" Suara Hana terdengar lagi, mencairkan kecanggungan selama beberapa saat.

"Alhamdulillah, sehat. Kalo kalian?"

"Kalian?"

"Kamu sama Bima," jelas Amel. Dari Instagram, ia tahu, Bima ikutan pindah ke Singapura dan tinggal di apartemen yang sama dengan nona mudanya itu.

Hana menjawab, "Ya, kami sehat."

"BTW, gimana hubungan kalian berdua?"

Lagi, gadis berwajah datar itu mendengkus. "Harusnya aku yang nanya soal itu ke kamu." Terdengar embusan napas pelan dari seberang sana. "Sebelumnya, aku ucapin selamat karena kamu udah jadian sama kakak."

"Thanks, Han. Ngomong-ngomong, apa lo baru mengetahuinya?"

"Nggak, aku udah lama tahu. Bukan dari mama atau oma, melainkan dari Ig kakak. Mungkin kakak sengaja mengunggahnya di sana agar aku tahu bahwa kalian udah jadian," jelas Hana. "Maaf, aku baru ngucapin sekarang."

"Eh, nggak apa-apa kok." Amel sama sekali tidak keberatan. Ia paham kenapa Hana baru sekarang mengucapkan selamat padanya. Pasti sakit ketika tahu Wisanggeni jadian sama gue.

KETIKA ORKAY JADI ARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang