22. RAHASIA WISANGGENI

15 5 0
                                    

Gue bukannya berharap. Tapi, jika benar Wisanggeni menyukai gue, jawaban apa yang akan gue berikan saat dia mengungkapkan perasaannya?

Haruskah gue mengikuti saran Desi? Tapi, bukankah ini terlalu cepat?

Eh!?

Gadis yang tengah menyandarkan kepala pada pintu mobil dengan telinga kiri tersumbat earphone nirkabel itu tersadar dari lamunannya.

Ia lekas menegakkan tubuh, lantas menoleh. "Gen, kita baru aja melewati Permata Suci."

"Iya, gue tahu."

"Lalu, kenapa lo ...." Amel tersadar apa yang dilakukan Wisanggeni. "Lo bohongin gue, ya!?"

"Maaf," ucap Wisanggeni tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya. "Gue khawatir lo menolak ajakan gue. Jadi, gue terpaksa membohongi lo."

Huft

Amel melepas earphone nirkabelnya, tak lupa mematikan musik pada smartphone. Lantas, kembali memasukkan kedua benda tersebut pada sling bag.

Gadis itu kembali menatap cowok jangkung di sampingnya. "Jadi, lo mau membawa gue ke mana?

"Ke suatu tempat." Kembali, Wisanggeni mengerling sekilas pada Amel. "Di sana, gue mau mengenalkan lo pada seseorang."

Mungkinkah ... dia cewek yang disukai Wisanggeni?

Tak kuasa menahan rasa penasaran, Amel berucap, "Apa dia cewek yang lo suka?"

Diluar dugaan, Wisanggeni menggeleng. "Beliau adalah orang yang sangat berjasa buat gue."

Beliau? Sangat berjasa? Amel membeo dalam hati.

"Sebenarnya, siapa orang itu?"

Untuk kesekian kali, Wisanggeni mengerling sekilas pada gadis yang duduk di sampingnya. "Setelah kalian bertemu nanti, gue akan mengenalkannya sama lo. Namun, sebelum mengunjunginya, kita harus membeli bunga tabur terlebih dahulu."

"Buat apa beli bunga tabur segala?"

"Nanti lo juga tahu."

*****

Dua jam kemudian

"Sampai juga," ucap Wisanggeni. Namun, tak ada balasan dari gadis di sampingnya.

Maklum. Saat ini, gadis itu tengah memejamkan mata dengan kedua telinga tersumbat earphone nirkabel sembari menyandarkan kepala pada pintu mobil.

Lantaran bosan karena kehabisan kuota internet---ia lupa mengisi ulang kouta internet yang ternyata sudah sekarat---Amel memilih mendengarkan musik. Itu satu-satunya hiburan di smartphone selain beberapa game online yang tak bisa dimainkan.

Wisanggeni tadi menawarkan Amel untuk meminjam smartphone-nya, tetapi gadis itu menolak.

Pada akhirnya, Amel mengantuk karena Wisanggeni tak mengajaknya mengobrol. Sementara ia sendiri juga tak mengajak sang majikan mengobrol karena kehabisan topik yang menarik.

Alhasil, gadis itu memilih untuk tidur. Tak lupa, terlebih dahulu meminta Wisanggeni untuk membangunkannya jika sudah sampai tujuan.

Namun, tak seperti yang diminta. Cowok jangkung itu hanya memandang wajah polos Amel, tak tega membangunkannya.

Tangan kanannya terulur, hendak merapikan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Amel.

"Ukh."

Wisanggeni cepat menarik tangannya ketika melihat gelagat Amel yang akan terbangun.

Perlahan, Amel membuka mata. Seraya mengucek matanya yang berair, ia berucap, "Apa kita udah sampai?"

"Ya, baru aja sampai," jawab Wisanggeni. Netranya masih tak lepas memandang Amel. Cantik.

Sehabis melepas earphone nirkabel, gadis itu melakukan sedikit peregangan tubuh.

Eh!? Amel kembali mengucek mata, tetapi yang ditangkap netranya tetap sama.

Kenapa Wisanggeni membawa gue ke pemakaman umum!?

*****

"Gen, apa masih jauh?" tanya Amel.

Hampir sepuluh menit berlalu, tapi mereka masih belum sampai tujuan. Selama itu pula, Amel belum juga mendapat jawaban atas pertanyaannya; siapa yang ingin Wisanggeni kenalkan padanya?

Siapa pun orang itu, kemungkinan besar dia sudah meninggal dan dimakamkan di sini. Begitulah dugaan Amel.

"Nggak. Bentar lagi juga nyampe." Cowok jangkung yang jalan di depannya itu lantas menunjuk ke depan. "Tuh, makam yang diapit pohon kamboja. Nggak jauh lagi, kan?"

"Emangnya, siapa yang disemayamkan di sana?" tanya Amel penasaran.

"Sabar. Nanti, gue pasti mengenalkannya sama lo, kok."

Kenapa nggak sekarang aja, sih!? Gue udah kepo akut, nih!

Huft

Lagi-lagi, Amel hanya bisa bersabar.

Sesampainya di makam, Wisanggeni tak langsung menepati janjinya. Ia membersihkan makam dari dedauan yang jatuh di atas makam, tanpa perlu mencabuti rumput liar.

Lantaran, ketika mereka sampai, makam tersebut masih terbilang bersih tanpa adanya rumput liar.

Setelahnya, cowok jangkung itu menabur bunga tabur yang dibelinya saat perjalanan menuju pemakaman umum ini, lalu memanjatkan doa.

Amel yang jongkok di samping sang majikan juga ikut memanjatkan doa, meski tak mengenal orang yang disemayamkan di sana.

"Sekarang, bisakah lo kasih tahu gue, siapa almarhumah ini?" tanya Amel begitu selesai memanjatkan doa.

Wisanggeni membisu sejenak sebelum menjawab, "Beliau ... adalah ibu kandung gue."

*****

Minggu ini, Kirana dalam perjalanan menyambangi salon yang berada di bawah naungannya. Memastikan setiap karyawannya bekerja dengan baik.

Seperti yang sudah-sudah, wanita penyuka warna ungu itu berkunjung tanpa ada pemberitahuan.

Biasanya, ia berkunjung seminggu sekali, di pagi hari pada akhir pekan. Namun, tak jarang dirinya berkunjung pada hari Sabtu atau hari-hari kerja.

Saat tengah fokus pada jalan raya, smartphone ber-casing ungu yang diletakkan di dasbor mobil itu layarnya menyala. Disusul, nada dering yang sukses memecah konsentrasi Kirana, sekaligus memecah hening yang tercipta di dalam mobil.

Sekilas, wanita bergaun ungu panjang itu mengerling pada benda pipih tersebut. Keningnya berkerut ketika membaca nama yang tertera pada layar smartphone-nya yang sekarang berlatar hijau.

Kirana cepat menepi, lantas mengangkat panggilan tersebut. "Tumben kamu nelepon Mama."

Terdengar kekehahan garing seorang cowok di seberang sana. "Maaf, ya, Ma, kalo aku jarang nelepon."

"Nggak apa-apa, kok," jawab Kirana. "Jadi, ada hal apa? Kamu nggak mungkin cuma iseng nelepon Mama, kan?"

Wisanggeni kembali terkekeh garing. "Mama tahu aja." Ia membisu sejenak sebelum berucap, "Ma, apa aku boleh minta tolong?"

"Boleh, dong! Kamu, kan, anak Mama juga. Emangnya, kamu mau minta tolong apa?"

Jeda satu embusan napas panjang sebelum cowok jangkung itu menjawab, "Tolong, yakinkan Amel bahwa aku bukan anak kandung Mama dan papa."

"Eh!?"

Kirana dibuat terkejut dengan permintaan tolong sang anak.

________________

Selasa, 20 September 2022

KETIKA ORKAY JADI ARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang