17. PERPISAHAN ( 2 )

15 7 8
                                    

Semilir angin menerpa wajah Amel yang tengah tidur di kursi, berbantal kedua tangannya yang dilipat di meja.

Ia membuka mata perlahan, menguap sembari merenggangkan tubuh, lantas mengucek matanya yang berair dan agak sembab.

Begitu penglihatannya pulih, Amel membelalak. Sekali lagi, gadis itu mengucek mata. Barangkali penglihatannya bermasalah. Ia juga mengerjap-ngerjap, tapi yang ditangkap netranya tetap sama; pemandangan ruang kelas.

Ketika mengedar pandang, ternyata hanya Amel seorang di kelas.

"Kenapa gue bisa ada di sini?" tanyanya bingung.

"Coba tebak siapa." Amel membeku. Ia segera melepas tangan yang menutup kedua matanya. Menoleh ke sumber suara guna memastikan sosok si pemilik tangan.

Lagi-lagi, gadis itu dibuat terbelalak.

"Hai."

Amel mengabaikan sapaan ramah sosok lelaki berpakaian serba putih yang berdiri di sampingnya. Ia lekas berdiri, lantas memeluk sosok tersebut.

Lantaran tak siap, sosok itu terdorong hingga dua langkah ke belakang.

Amel mulai terisak. Sementara dekapannya semakin menguat. Tak ingin sosok itu pergi dari dirinya. "Syukurlah ... syukurlah semua itu hanya mimpi buruk."

Galang---sosok yang Amel peluk---mengembuskan napas pelan sebelum ia membalas pelukan sang kekasih. Tangan kanannya mulai mengelus lembut surai panjang gadis yang sudah menjadi pacarnya selama dua tahun itu. "Maaf, sudah membuatmu menangis."

Amel menggeleng. Perlahan isakannya mereda menjadi tangisan kecil sebelum akhirnya lenyap. Menyisakan mata yang berkaca-kaca.

Masih dalam posisi yang sama---memeluk Galang dengan kepala bertopang pada bahunya---gadis itu berkata, "Berjanjilah, jangan pernah tinggalin aku."

Galang membisu. Ia lalu memutuskan untuk mengalihkan topik obrolan. "Apa kamu tidak mengenali kelas ini?"

Amel hanya menggeleng.

"Parah. Padahal kelas ini menjadi saksi bisu saat kita jadian dua tahun lalu."

Gadis itu melepas pelukannya, menatap Galang tak percaya. "Maksud kamu, kelas ini ...."

"Iya. Kelas kita saat masih kelas X," sambung Galang. "Akan tetapi, wajar kamu tidak mengenali kelas ini. Selain kelas ini udah berubah, kamu juga nggak pernah ke sini lagi semenjak naik kelas."

Amel membisu. Ia tidak ingat, kapan dirinya masuk ke kelas ini, tapi itu tidak penting. Yang terpenting, Galang masih bersamanya.

"Amel." Galang memecah hening dengan suara lembutnya. Ia tidak lagi mengelus lembut surai panjang Amel, meski gadis itu kembali memeluknya.

"Iya, Lang?" tanya Amel sembari sekilas mengerling pada sang kekasih.

Cowok itu mengangkat tangan kanannya. "Sepertinya, waktuku tinggal sedikit."

"Apa yang kamu bi--Lang, tanganmu!" Amel memekik panik. Baru saja ekor matanya menangkap tangan kanan Galang yang terlihat ganjil.

Namun, ternyata bukan hanya tangan kanannya saja. Ketika Amel melepas pelukannya, ia mendapati tangan kiri serta kedua kaki Galang juga sama.

"Tubuhmu ... tubuhmu kenapa, Lang!?"

Bukannya menjawab, Galang justru memeluk Amel erat. "Tubuhku baik-baik aja."

"Apanya yang--"

"Tolong, biarkan aku bicara!" Galang menginterupsi.

Bagai terhipnotis, Amel seketika terdiam.

"Aku sungguh bersyukur bisa mengenalmu. Aku juga berterima kasih karena kamu sudi menerimaku sebagai pacar, menganggapku penting dalam hidupmu.

"Akan tetapi, mengenai permintaanmu tadi ...." Cowok itu tersekat. Berat rasanya melanjutkan kalimat berikutnya.

Kendati demikian, ia tetap melanjutkannya sebelum tubuhnya benar-benar lenyap. "Maaf, aku tidak bisa memenuhinya.

"Bukan karena aku tidak mencintaimu. Sungguh, jika boleh memilih, aku ingin terus bersamamu. Namun ...."

Galang melepas pelukannya. Ia memandang tepat pada netra indah sang kekasih yang kembali berkaca-kaca. "Aku yakin, kamu tahu apa kelanjutan kalimatku. Aku berharap, kamu tidak--"

"NGGAK!" Amel mulai histeris. Air matanya juga kembali tumpah. "ITU SEMUA HANYA MIMPI BURUK! KAMU ADA DI DEPANKU DAN MASIH HI--"

Plak!

Sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi kanan Amel.

Tidak terasa, tapi hati Amel sungguh sakit dengan fakta yang baru menamparnya.

Tangisan gadis itu pun berubah menjadi isakan yang menyayat hati Galang.

Dengan tubuh hampir sepenuhnya tembus pandang, cowok itu kembali memeluk Amel erat. Berkali-kali mengucap maaf atas perbuatannya.

Tak menunggu tangisan Amel reda, Galang melanjutkan kalimatnya yang terpotong tadi. "Aku berharap, kamu tidak terlalu bersedih atas kematianku."

Ia melepas pelukannya. Menempelkan keningnya pada kening Amel dengan tangan kanannya berada di belakang kepala gadis itu. "Setelah terbangun nanti, berjanjilah padaku untuk tidak terlalu bersedih. Kamu juga jangan menyalahkan dirimu sendiri karena semua ini sudah kehendak Tuhan."

Amel semakin terisak. Kalimat terakhir Galang mengingatkannya pada ucapan Harun perihal penyebab kematian sang kekasih.

Sekali lagi, Galang mendekap Amel erat. "Kumohon, berhentilah menangis," pintanya, tapi tak dihiraukan oleh gadis itu.

Galang hanya bisa mengembuskan napas pelan. Ia sudah hampir kehabisan waktu, jadi tak bisa menemani Amel terlalu lama.

Tak lama kemudian, cowok itu melepas pelukannya, mengecup kening Amel, lantas berbisik pada rungu kiri sang kekasih. "Aku mencintaimu. Semoga kamu bahagia di sana bersama sosok penggantiku." Sebelum akhirnya lenyap bagai debu yang diterpa angin.

Meninggalkan Amel yang masih terisak sendirian di ruang kelas. Gadis itu merosot ke lantai sebelum meneriakkan satu nama.

"GALAAANNG!"

_________________

Jumat, 22 Juli 2022

KETIKA ORKAY JADI ARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang