15. SISI LAIN HANA

40 27 40
                                    

Hari Senin tiba.

Lembaran baru Amel di SMA Galaksi akhirnya dimulai.

Lantaran belum membeli seragam dan logo sekolah barunya, jadi ia mengenakan seragam lamanya tanpa melepas logo SMA Cakra Buana.

Begitu turun dari mobil Wisanggeni, Amel langsung menjadi pusat perhatian.

Selain parasnya yang cantik, kedatangannya bersama Wisanggeni dan Hana menimbulkan tanya di benak setiap siswa SMA Galaksi yang melihat.

"Geni! Hana!" Kakak beradik itu mengurungkan langkah ketika hendak hengkang dari parkiran. Demikian juga dengan Amel.

Atensi orang-orang di sekitar juga teralihkan oleh suara cempreng tersebut.

Mereka mengalih pandang ke satu arah; sebuah motor sport hitam yang berhenti di ambang gerbang.

Kaca helm fullface si pengendara terbuka, menampakkan sosok si pemilik suara; seorang cowok berjaket abu-abu dengan ritsleting tertutup.

Ganteng, sih, tapi suaranya nggak banget, batin Amel.

"Lihat! Siapa yang kembali dari luar negeri."

Amel menoleh pada cowok jangkung di sampingnya. "Kalian saling kenal?"

Wisanggeni balas mengerling. Ia mengangguk. "Namanya Bima Atmajaya. Dia sahabat gue, sekaligus cowok yang berusaha mendapatkan hati Hana sejak SMP."

"Eh!?" Amel kembali mengalih pandang pada Bima yang tengah menjalankan motor sport-nya menuju parkiran motor khusus murid. Cowok itu serius menyukai Hana? Sejak SMP!?

*****

"Lah, sepupu Geni, toh. Gue kira pacarnya," ucap Bima setelah berkenalan dengan Amel.

"Bukan. Lagian gue juga udah punya pacar," timpal Amel.

Bima hanya ber-oh ria. Ia lantas mengalih pandang pada Hana yang berdiri di samping Wisanggeni. "Gue punya sesuatu buat lo."

Cowok itu menurunkan tas sekolah dari punggung. Meletakkannya di kap bagasi mobil Wisanggeni sebelum membukanya, lantas mengambil box kardus berwarna cokelat.

Ukurannya tidak terlalu besar, tapi mampu membuat tas cowok itu terlihat sedang "hamil".

Bima lalu menyodorkan box tersebut pada Hana. "Oleh-oleh buat lo."

"Oleh-oleh buat gue mana?" tagih Wisanggeni.

Bima hanya mengerling sesaat sebelum menjawab, "Ada di rumah. Gue nggak bawa, soalnya buru-buru mau ketemu Hana. Mau segera mengobati rasa rindu gue."

"Hilih! Baru juga dua hari nggak ketemu. By the way, apaan, tuh, isinya?"

Bima tersenyum. "Sesuatu yang pasti Hana suka. Nih, Han, ambil!"

Hana bergeming sesaat sebelum akhirnya mengambil box tersebut dari tangan Bima.

Amel yang penasaran memanjangkan leher ketika gadis berponi itu membuka penutup box. Namun, ia hanya mampu melihat sebagian badan karakter manusia berambut pink karena terhalang oleh badan box.

Hana memasukkan tangannya. Ia mengambil isi box tersebut; sebuah kotak musik berwarna dominan pink bermotif balon dengan Pinkie Pie versi manusia sebagai karakter penarinya---Amel juga pernah menonton animasi My Little Pony Equestria Girls dengan adik sahabatnya, jadi ia mengenal karakter tersebut.

"Wah, bagusnya," ucap Amel.

Sementara si penerima oleh-oleh tetap berekspresi datar. Ia kembali memasukkan kotak musik tersebut dalam box sebelum beralih menatap Bima. "Kak Bima benar, aku menyukai kotak musik ini.

"Akan tetapi, kotak musik ini akan berakhir sama seperti barang-barang lain yang Kak Bima kasih."

Eh!? Jangan-jangan, Hana membuang semua pemberian Bima? terka Amel dalam hati. Namun, sepertinya ia salah menduga.

Hana menyodorkan box berisi kotak musik itu pada Wisanggeni. "Kak, tolong simpan di mobil. Nanti sepulang sekolah, kita mampir dulu ke panti untuk menyumbangkan kotak musik ini."

Wisanggeni tak langsung menerima. Sekilas ia mengerling pada Bima sebelum berkata, "Han, apa nggak sebaiknya kamu simpan kotak musik itu? Bima pasti sudah susah payah mencarikannya untukmu.

"Lagipula kotak musik itu bagus, loh. Sayang kalo dikasih ke orang lain."

"Apa Kakak ingin aku memberi Kak Bima harapan palsu?" Lantaran tak mendapat respon, Hana segera meraih tangan Wisanggeni. Ia lalu memindahkan box itu ke tangan sang kakak.

"Aku ke kelas dulu." Hana berlalu begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun pada Bima.

Bima mengembuskan napas pelan. Ia menoleh ketika ada yang menepuk bahunya.

"Yang sabar, Bim," hibur Wisanggeni. "Tapi, kalo lo mau menyerah, gue nggak melarang. Lo berhak untuk bahagia, nggak perlu menyiksa diri dengan terus mengejar Hana."

Amel mengangguk, menyetujui ucapan Wisanggeni.

Bima tersenyum simpul. Ia kembali menatap lorong yang menghubungkan area parkir sekolah dengan bagian dalam sekolah. "Setelah mengetahui sisinya yang lain, gue udah bertekad membuat Hana bahagia. Jadi, hal seperti ini nggak akan membuat gue menyerah."

Sisi Hana yang lain? Pernyataan Bima menimbulkan spekulasi di benak Amel. Mungkinkah berkaitan dengan Hana yang selalu berwajah datar?

*****

Sesuai perintah Wisanggeni, Amel kembali masuk ke mobil. Ia duduk di kursi depan, di samping Wisanggeni yang duduk di kursi pengemudi.

"Kenapa lo tiba-tiba menanyakan soal sisi lain Hana?" tanya Wisanggeni berbasa-basi.

"Gue hanya penasaran. Semenjak pertama kali bertemu, gue nggak pernah melihat Hana tanpa wajah temboknya.

"Bahkan, kemarin ketika di panti, Hana juga tetap berwajah tembok. Seakan-akan, hanya itu ekspresi yang mampu ia perlihatkan pada orang lain."

"Bukan seakan-akan, tapi Hana memang hanya bisa berekspresi datar."

Amel dibuat terkejut. Ia menatap Wisanggeni tak percaya. "Tuan tidak sedang berbohong, kan?"

Wisanggeni menjawab, "Nggak. Hana emang hanya bisa berekspresi datar … karena sejak lahir ia mengalami kelumpuhan saraf wajah."

Tebakan Amel benar, sisi lain Hana berkaitan dengan alasan gadis berponi itu yang selalu berwajah datar.

Wisanggeni juga memberitahu; Hana dulu sering menjadi korban perundungan karena dianggap aneh oleh anak lain---membuat Amel merasa kasihan pada si gadis berponi.

Selesai memberitahu perihal sisi lain sang adik, Wisanggeni berpesan, "Jangan pernah lo meminta Hana untuk tersenyum! Permintaan itu justru akan membuat Hana tersinggung.

"Selain itu, sebaiknya lo menolak bantuan apa pun yang Hana tawarkan. Adek gue itu sepertinya nggak menyukai lo."

Bukan sepertinya, dia emang nggak menyukai gue semenjak pertama kali bertemu, timpal Amel dalam hati.

Ia mengembuskan napas pelan sebelum kembali membatin, Andai gue sedikit waspada, pasti nggak akan masuk dalam perangkapnya.

___________________

Jumat, 17 Juni 2022

KETIKA ORKAY JADI ARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang