03; Makan Malam

1.1K 198 1
                                    

"Felix sayang, kenapa baru pulang?"

"Oh maaf, tadi baju aku ketinggalan di sekolah, mama."

"Yasudah, mandi ya!"

Felix mengalungkan handuk pada lehernya. Ia menginjakkan kaki pada kamar mandi. Menyalakan shower yang kini mengalirkan tirta pada kulit mulusnya. Percikan darah pada pipinya hilang, oh ia benci tekstur cairan kental merah itu.

Moodnya membaik hari ini. Ia tak henti-hentinya melantunkan lagu pada mulutnya. Suara beratnya belum sempat ia keluarkan pada siapa-siapa. Ia tidak ingin merusak citranya sebagai good boy pada orang lain.

Rambutnya yang basah membuatnya tampak seperti kucing yang baru saja keramas. Ia berjalan ke atas menuju kamar sang kakak. Dapat ia lihat gadis itu sedang serius belajar.

Ini gila, cahaya dalam kamarnya begitu buruk. Bahkan mungkin hanya mengandalkan penerangan alami dari matahari saja. Mejanya juga begitu kecil, berbentuk persegi yang hanya memuat dua buku. Tidak ada lampu belajar dan semacamnya. Ini sangat berbeda dari kamarnya.

"Kak, Felix ganggu gak?"

Yang dipanggil memusatkan perhatiannya padanya. "Eh? Engga Lixie. Ada apa?"

"Boleh tolong keringin rambut Felix?"

"Iya, sini."

Ia melepas handuk yang menutupi atasannya, menampilkan tubuh berbentuk dengan bawahan yang masih berbalut handuk. Davina mencoba fokus untuk mengeringkan rambut Felix dan tidak pada yang lain. Adiknya hanya terkekeh.

"Badan Felix bagus nggak? Felix suka olahraga loh kak."

"I-iya, Lix."

"Felix habis ini SMA, pasti nanti Felix lebih rajin."

Tidak ada sahutan. Surai pirang adiknya ini benar-benar halus, ia sangat senang untuk bisa menyentuhnya. Ia ingat betul bahwa gaya rambut yang digunakan Felix di sekolah berbeda ketika di rumah. Ingin bertanya, tetapi rasanya tidak enak.

Setelah cukup kering, ia menyisirnya lembut seolah-olah takut surai itu akan lepas kapan saja. Felix tersenyum riang. Ia menggenggam tangan kakaknya, menatapnya tepat pada netranya.

"Mau belajar bareng?"

"Hah?"

"Ayo belajar sama Felix di bawah, kak."

Davina menurut saja. Dalam hatinya ia begitu ketakutan akan orang tuanya yang akan mengomeli atau bahkan memukulinya di kemudian waktu. Tapi biar sajalah, yang penting Felix senang.

Sejak kehadiran Felix, ia merasa ada seseorang yang berpihak padanya. Dan ia mengucapkan syukur atas hal itu pada Tuhan setiap malamnya.

Ia membuntuti Felix ke bawah, melihat kedua orang tuanya di ruang tengah yang sedang menonton televisi. Davina menghindari pertemuan mata pada keduanya. Tak berani untuk sekadar menjalin kontak mata.

Ia sampai di kamar Felix, agak takjub sebenarnya karena lelaki itu mampu senantiasa menjaga kebersihan kamarnya. Benar-benar seperti pertama kali Felix datang ke tempat ini. Hanya saja ia agak heran mengapa terdapat pemukul baseball   dan pisau dapur.

Felix terlihat tidak nyaman dengan kakaknya yang melihat-lihat benda pribadinya, tetapi ia diam saja. Karena itu kakak kesayangannya, hal ini bisa dimaafkan.

"Lixie, kamu habis makan kue?"

"Oh, enggak. Aku emang selalu punya pisau, kak. Jaga-jaga kalo ada yang jahat."

Kan aku belum ngomong apa-apa tentang pisaunya, Lixie.

Gadis itu mengalihkan pembicaraan agar suasana tak lebih jauh menjadi canggung. Ini bisa bahaya kalau Felix juga tak suka dengan dirinya, lalu siapa yang akan berpihak padanya?

Ia duduk setelah Felix mengambilkan kursi untuknya. Kemudian membuka buku yang ia bawa dari lantai atas untuk belajar bersama. Sepertinya materi mereka sama, hanya saja di SMA memang lebih dikembangkan lagi. Mereka belajar mengenai lingkaran. Felix memperhatikan sedikit materi yang kakaknya pelajari, kemudian tubuhnya berbalik untuk menjalin obrolan.

"Felix udah belajar tentang itu, mau Felix ajarin?"

Davina mengernyit, adiknya hanya SMP, tidak seharusnya lelaki itu mengerti tentang materi itu. Kepalanya otomatis mengangguk, bagaimanapun ia sangat stres dengan rumus dan hitung-hitungan yang harus dipelajari.

Felix menuturi kakaknya dengan perlahan dan lemah lembut, senyumnya tidak luntur. Ia juga mengaplikasikan rumus itu pada contoh soal, jadi belajarnya tidak pasif. Lelaki itu menatap lekat-lekat kakaknya yang kini berusaha keras untuk memecahkan lembar kerjanya.

Kakaknya cantik, benar-benar cantik.

Felix menyelipkan rambut kakaknya yang menjuntai ke telinga, ia kini mengusap pipi Davina.

"L-Lixie?"

"Kakak cantik."

"Eh? Makasih."

"...Tangan kamu berdarah, Lix. Kamu nggak apa-apa?"

Itu benar, dapat dilihat bercak kemerahan pada tangannya, sepertinya masih segar. Davina ingin mengobatinya, tetapi dicegah oleh sang adik.

"Itu nyamuk kok!"

Gadis itu mengangguk saja, tak ingin menganggap serius akan perkiraannya barusan. Ia kemudian kembali serius mengerjakan lembar tugasnya.

Ia menyodorkan beberapa lembar kertas tersebut. Meminta adiknya untuk memeriksa lembar kerjanya. Penglihatan Felix mengedar dari tumpukan benda itu, ia tersenyum puas setelah mengetahui semua jawaban kakaknya benar.

Davina sebenarnya sangat cepat menangkap pelajaran, hanya saja ia kurang diberi fasilitas oleh orang tuanya agar dapat belajar dengan benar. Itu yang membuat nilainya kurang memuaskan di mata orang tuanya.

Dan Felix tidak suka itu.

Tidak ada yang boleh menyakiti kakaknya seorang.

Keduanya menoleh secara bersamaan setelah mendengar panggilan dan ketukan dari balik pintu kamar Felix. Refleks, lelaki itu langsung membukanya. Menampilkan kedua orang tuanya yang awalnya tampak gembira, namun tersenyum kecut setelah melihat kehadiran Davina di belakangnya.

"Kamu ngapain masuk kamar Felix? Lancang kamu."

"Felix yang mau Kak Nana masuk, ma. Buat belajar bareng."

"...Ayo makan malam dulu."

Keempatnya bergerak menuju meja makan yang sudah dihidangkan beberapa jamuan. Setahu Davina, ibunya tidak pernah memasak sebelum kehadiran Felix. Sungguh, kehadiran adiknya ini benar-benar menguntungkan dirinya.

Suasana di meja makan cukup hening. Tiada yang membuka percakapan selain bunyi gesekan piring, garpu, dan sendok. Suara batuk dari seorang wanita itu membuat perhatian mereka teralih.

Emilya tampak kesulitan bernapas, sehingga Davina memberinya air minum di sebelahnya. Batuknya tak juga kunjung reda, malah kini semakin parah. Ericko yang di sebelahnya menepuk punggungnya perlahan. Berusaha untuk membantu.

Felix diam saja.

Sampai hingga batuk tersebut mengeluarkan darah di piringnya yang berisi makanan. Davina menganga, terkejut akan apa yang baru saja dikeluarkan dari mulut ibunya.

Sebuah kaca.

Tidak, bukan sebuah. Melainkan beberapa buah kaca terus dikeluarkan dari mulut wanita itu.

Ericko segera merampas kunci mobil yang ada di atas rak cokelat di sebelah televisi. Membopong istrinya yang masih terus terbatuk. Bahkan kini wanita itu mulai menangis, memegangi tenggorokannya yang terasa begitu perih. Ekspresi wajahnya seolah meminta bantuan.

Oh hell, Felix suka itu.

Membuatnya tersiksa, rasanya ia ingin terbahak. Ia memasang wajah khawatir saat kakaknya ikut khawatir pula. Namun ayahnya memukul tangan Davina saat akan membantu ibunya memasuki mobil.

Ingat, Felix tidak suka akan siapapun yang menyakiti kakaknya.

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang