09; Diary

842 156 9
                                    

"Kakak lagi lihat apa?"

Tubuhnya berjengit kaget begitu suara bariton itu untuk pertama kali menyapa indra pendengarannya. Gadis itu merinding, sekujur tubuhnya terasa bergetar, ia rasa. Ia menoleh perlahan. Menampilkan sang adik yang menyandarkan tubuhnya pada sudut pintu, dengan senyuman manis khasnya yang hampir tidak pernah luntur. Ya Tuhan, doakan nyawa Davina selamat saat ini.

"Ng-nggak Lixie, maaf... Kakak gak bermaksud lancang."

Felix berjalan mendekat, hingga gadis itu mundur dan kakinya terpentok kursi, membuatnya terduduk paksa. Adiknya menggenggam kedua tangannya, mengelusnya perlahan. "Gapapa kok, lain kali jangan ya kak, Felix gak suka."

"Makasih banyak udah mau bersihin kamar Felix, seluruh ruangan juga. Kakak masak banyak kan? Sekarang waktunya istirahat dulu ya. Mama sama papa juga pasti udah makan kak, lanjut bikin karinya besok aja. Udah jam sembilan."

Detak jantungnya netral sedikit demi sedikit, tidak seperti tadi yang berdegup kencang bukan main. Kalau boleh jujur, terkadang ia merasa terintimidasi oleh adiknya sendiri, seolah kehadirannya sendiri sudah sangat aneh. Tetapi karena Felix begitu baik padanya, ia jadi tidak tega akan berprasangka buruk.

"Lihat TV aja yuk!" Ajaknya.

Davina meng-iyakan saja, kemudian mengekori Felix ke ruang tengah. Disana sudah disiapkan arena oleh adiknya, dengan sofa dan bantal yang tertata rapi, pilihan DVD berbagai macam jenis, camilan, serta selimut yang akan melindungi mereka dari gigitan nyamuk.

Wah, kini perasaan was-was pada adiknya telah hilang. Ia duduk, mengambil posisi nyaman, dan merangkul lelaki yang sedikit lebih tinggi itu di sebelahnya. Keduanya memutar film horor dan gory, walau Davina sedikit penakut, tetapi Felix begitu menyukai dua genre film itu.

Begitu Davina melepaskan rangkulannya, ia menggigit bantal kuat-kuat dan menutupi matanya sendiri untuk menyalurkan ketakutannya.

Felix menatapnya intens, seolah menjadikan film itu tak menarik untuk dipandang dibandingkan dengan gadis di sebelahnya.

Cantik.

Davina menghela nafas syukur begitu kredit film telah ditampilkan, yang mana berarti telah usai. Thank God, pikirnya. Ia lupa fakta bahwa ia tidur di lantai atas sendirian yang mana membuatnya bergidik membayangkannya saja. Sialan, mengapa juga ia menyetujui ide adiknya untuk menonton hal-hal berbau mistis yang menyeramkan.

Begitu Felix sibuk berkutat dengan mengeluarkan kaset, gadis itu ingin menanyakan sesuatu yang ia pendam sejak tadi. Tetapi rasanya mulutnya tak berani untuk mengucap sepatah katapun.

"Felix."

Yang dipanggil agak terkejut mendengar nada serius yang tak biasanya, ia kini memusatkan perhatiannya pada kakaknya.

"Itu tadi buku apa? Kok ada nama Georgio—"

"Gak perlu tau."

Ketus dan dingin, bukan seperti Felix yang ia kenal. Saat ini ia hanya dapat mengatupkan pita suaranya, tak berani lagi untuk mengusik benda pribadi milik sang adik.

"Hahaha maaf maaf, Felix bercanda kok! Itu sebenernya buku diary, kak. Cuma Felix selalu lupa mau ngisi, tiap habis pulang sekolah kan selalu ngerjain tugas, makan malem, terus tidur. Jadi gak sempat deh. Ada nama Kak Georgio dan yang lainnya karena Felix benci sama mereka, mereka udah jahatin kakak. Felix coret karena Kak Georgio udah meninggal, kan gak etis kalo benci orang yang udah gak ada," jelasnya panjang lebar, berusaha mengusir tatapan curiga yang diberikan oleh kakaknya.

Meski begitu, Davina tetap saja gelisah. Ia masih merasa lelaki itu menyembunyikan ribuan rahasia di belakangnya.

"Oh iya, pisau kamu kemana? Tadi nggak ada di kamar."

"Ada kok! Felix taruh di bawah bantal."

Gadis itu bergidik, siapa juga yang menaruh senjata tajam di bawah bantal dan untuk apa pula?

Ia masih memperhatikan Felix yang membereskan ruang tengah persis seperti sebelumnya.

"Kamu kenapa benci mereka? Kan mereka gak jahatin kamu, Lixie."

"Felix gak suka orang arogan, kak. Benci malah. Orang yang pake power mereka buat ngerendahin orang lain, sok cantik, sok ganteng, sok kaya, merasa paling berkuasa padahal banyak orang yang jauh di atas mereka."

Tatapan tajamnya membuat yang lebih tua ciut, gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya. Yah, yang adiknya katakan sejujurnya benar. Orang-orang seperti itu memang memuakkan.

"Kakak gak mau tidur sama Felix aja? Kayaknya ketakutan gitu habis lihat horror."

"...Boleh deh."

"Bagus, yaudah yuk."

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang