14; Interogasi Kedua

654 119 0
                                    

"Kenapa Sam?"

"Karena Sam jago olahraga. Dan kalo Felix... Ya karena dia yang paling mencurigakan, kak. Coba deh kakak dengerin gerak-geriknya dan baca lagi dokumentasi Lily, jawabannya itu persis seorang psikopat. Dan kata Lily, dia sama sekali nggak nyentuh air putih yang disuguhin sama Lily. Kayaknya dia tau kalo itu bakalan mau ngambil sidik jarinya dia."

"Makes sense, nanti coba aku selidikin deh."

"Alright, play safe kak. Jangan sampe ada korban lagi. Semangat kerjanya!"

"Makasih, Naren. Kamu juga ya!"

Setelah mengencangkan tali sepatuku, aku beranjak merampas tas selempang biruku dengan pita di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah mengencangkan tali sepatuku, aku beranjak merampas tas selempang biruku dengan pita di depannya. Penampilanku kasual, tidak mencolok dan tidak mengenakan seragam. Sebisa mungkin aku tidak mengundang perhatian banyak orang.

Aku mengikuti alamat yang sudah kucatat pada buku kecilku, dan disinilah kediaman Almeira, aku sudah berdiri tepat di hadapannya. Rumah bernuansa hijau muda pastel yang mendekati putih, halaman yang luas dengan pagar pendek berjeruji warna cokelat, serta bunga-bunga yang memenuhi taman belakang. Kalau dibandingkan dengan Kediaman Lee, sangat jauh drastis, tempat ini lebih sederhana namun sangat luas. Rumahnya juga tidak bertingkat.

Aku melangkah memasuki pagar yang tidak dikunci dan mengetuk perlahan, menampilkan seorang gadis yang sedikit lebih pendek dariku. Rambut panjang lurusnya dengan poni sedahi begitu indah, aku tersenyum sebagai tanda sapaan.

"Halo, aku Detektif Sharon. Ini kediaman Davina Almeira dan Felix Lee, benar?" Tanyaku dengan nada seramah mungkin, tak lupa memasang senyumku.

"Benar, ada apa ya?"

"Maaf, saya mau bertanya sedikit saja mengenai kalian berdua."

"Ah, baik. Silahkan masuk."

Ia mempersilakanku masuk dengan membuka jalan, aku duduk di ruang tamu sembari melihat-lihat keadaan sekitar. Terdapat foto keluarga tanpa Felix disana, tentu saja, mungkin itu sudah lama. Gadis itu tampak pergi ke belakang untuk memanggil adiknya. Dan benar saja, ia datang kemari bersama sang adik.

Aku menyunggingkan senyumku lagi, ia sendiri juga tampak sangat ceria. Keduanya duduk di hadapanku, Davina menyuguhkan tiga gelas teh yang ia letakkan di atas meja.

"Kalian adik dan kakak tiri... Atau pacar?"

Aku mengamati lamat-lamat perubahan ekspresi mereka. Davina tampak mengernyit, sedangkan Felix tersenyum malu-malu, wajah pucatnya bahkan menampilkan sedikit rona merah pada kedua pipi berbintiknya. Sangat jelas, benar bahwa kemungkinan ia menyukai kakak tirinya sendiri. 

Benar-benar aneh, ada yang salah dengan anak ini.

"Kami saudara tiri."

"Ahh gitu ya," balasku. "Felix, boleh saya tanya darimana kamu berasal?"

Ia membuat gestur seolah berpikir, matanya menghadap ke atas. "Maaf, Felix nggak inget! Bangun-bangun udah di panti asuhan." 

Yang jelas, terdapat perubahan raut muka pada sang gadis, entah apa maksudnya. Narendra dan Lily benar, seperti ada yang salah dengan lelaki ini. Aku menjaga diriku agar tetap tersenyum meski ribuan hipotesis sudah ada dalam benakku. Bahkan ketika aku menjalin kontak mata terus menerus dengannya, ia tidak tampak gugup, dan malah membalas kontak mataku. 

"Felix, saya boleh minta kontak kamu?"

"Boleh dong, mau whosapp atau circle?"

"Dua duanya saja ya, just in case."

"Alright!"

Kalau dari cara bicaranya, Felix terdengar seperti seseorang yang sangat cerdas. Dan Lily pun mengatakan demikian, aku melihat rekap nilai rapor dari akademi dan takjub akan jajaran A+ yang mendominasi sebagian hasilnya. Hanya saja, akademi itu belum melaksanakan tes intelektual, padahal kami—polisi dan detektif, sangat membutuhkannya.

Setelah kami bertukar nomor dan ID, aku melanjutkan basa-basi tidak penting yang rasanya cukup untuk menambah catatan pada bukuku. Setidaknya, penelitian secara psikologis sudah kulakukan, kini saatnya aku membuntuti gerak-gerik Felix kemanapun ia pergi dan berusaha agar tak ketauan. Saat memegang ponselnya, aku menancapkan suatu chip yang memperbolehkanku untuk melihat kemanapun benda itu pergi, mari doakan agar ia tak mengetahui apapun tentang itu. 

Ia pun tidak tampak curiga, aku mulai senang dengan bocah ini, ia ramah dan tidak nakal seperti remaja pada umumnya. Semoga ia bukan pelaku pembunuhan Havidson dan Azalea, walau tersangka utama adalah dirinya. 

"Sudah dulu ya ngobrolnya, saya izin kembali, terima kasih banyak, Davina, Felix. Maaf juga merepotkan," pamitku pada mereka. Keduanya melambaikan tangan padaku, dan aku hanya memamerkan deretan gigiku, memakai kembali sepatu yang awalnya kulepas, dan beranjak keluar dari tempat itu.

Mari doakan agar semua pekerjaanku selesai malam ini.

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang