17; Balas Dendam

699 108 3
                                    

"Davina, kamu bisa bantu saya bawa berkas ini? Saya nggak tau mejanya Miss Shinta."

Perhatiannya yang semula tertuju pada makanan yang kunyah kini teralih pada pemuda yang wajahnya tertutup oleh tumpukan kertas, lantas ia mengambil alih sebagian berkas tersebut untuk membantunya. Sejujurnya, ia terkejut begitu mengetahui siapa yang meminta tolong.

Matanya membelalak, kemudian menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada orang yang melihat. Bisa gawat kalau ia berurusan atau bahkan dekat-dekat dengan orang ini.

"Iya, Jason."

Tanpa basa-basi lagi, yang memang adalah hal paling Davina benci, ia berjalan mendahului teman satu angkatannya yang memiliki banyak penggemar. Gitaris, pemain basket yang cukup handal, tampan, tinggi, memiliki tubuh dan otot yang indah, siapa pula yang tidak ingin bersanding dengannya?

Namun Jason malah mempercepat langkahnya agar bisa sejajar dengan sang gadis. Davina tidak menyukai hal itu, dekat dengan Jason malah akan menambah masalah baginya. Ada baiknya jika ia menjaga jarak agar terhindar dari segala problem yang akan mengusik hidupnya.

"Kenapa nggak minta tolong Lia?"

"Karena kamu jago Bahasa Inggris, Davina. Pasti lebih kenal Miss Shinta."

"Nggak masuk akal, Lia juga jago kok."

Suara beratnya ia keluarkan. "Saya maunya kamu."

Alis Davina mengerut kesal. Dasar bocah tidak jelas, batinnya menggerutu. Bayangkan tiada angin tiada hujan lalu seorang lelaki mengucapkan itu padamu. Terlebih, tidak terlalu dekat denganmu. Bukannya terbawa perasaan, malah ingin menggampar wajahnya. Ia sudah terbiasa kemanapun sendiri, jadi terasa aneh bila Jason bersikap seperti ini padanya.

Akhirnya sampailah mereka pada ruang guru. Setelah mengucap salam dengan sopan serta membungkukkan badan, barulah gadis itu melangkah masuk untuk menyerahkan apa yang dimintai pertolongan oleh temannya. Ia merasa lega bahwa momen dengan lelaki itu telah berakhir, tak perlu lagi berlama-lama dengannya.

"Terima kasih ya Davina, saya-"

"Aku ke kelas, Jason."

Pemuda itu ditinggalkan dalam keadaan speechless, tanpa sepatah katapun, ia mneggaruk kepalanya bingung, kemudian turut pergi, baru kali ini ia merasakan 'penolakan' yang sebenarnya bukan penolakan. Mungkin butuh effort besar untuk mendekati gadis pendiam sepertinya.

Davina menaiki tangga kembali untuk mengembalikan mangkok yang tadinya ia tinggal di meja begitu saja. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengembalikan alat makan pada ibu kantin sebelum dibersihkan, untuk meringankan pekerjaan sang wanita, pikirnya begitu. Tetapi tidak begitu seseorang dengan sengaja menginjak rok panjang menjuntainya hingga ia tersungkur menghadap tanah, ia menghela nafas berat, seolah telah menduga hal ini terjadi.

Gadis dengan rambut panjang sepinggang itu kini menarik rahang Davina hingga menghadapnya sebelum ia dapat bangkit. "Lo jangan pernah deketin Jason, Jason punya gue."

"Pacar bukan, orang tua bukan, ngasih hak milik, aneh."

Jawabannya justru membuat lawan bicaranya begitu murka. Tak biasanya sang gadis pendiam berani melawan seperti ini. Itu pula yang membuat seisi kantin terkejut akan perlawannya. Oh, jangan bertanya dari siapa ia belajar.

"Jelek, lo tuh jelek. Sadar, Jason ga akan tertarik sama lo."

"Kalo saya jelek kok Jason maunya ngomong sama saya? Kamu insecure ya sama saya?"

Muka meledeknya itu memicu gunung meletus yang sebentar lagi akan diledakkan. Astaga, sepertinya Davina sedang ingin mencari masalah hari ini. Atau... mungkin sebaliknya? Gadis itulah yang mencari masalah dengan Davina.

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang