Dan ya, Davina Almeira mendiamkan adiknya selama dua hari penuh. Dan selama dua hari itulah Felix merasa gundah gulana. Kerap kali ia diam saja begitu diajak omong oleh teman-temannya, yang jelas membuat mereka kebingungan. Sebab apa yang membuat Felix menjadi pendiam dan tak ceria saja tidak jelas. Tetapi satu hal yang mereka dapat lihat dengan jelas, Davina tampak menjauhi Felix. Dua hari pula Davina tak pergi ke kantin. Ia tak tahan dengan situasi seperti ini.
Lantas, lelaki itu memantapkan hatinya untuk beranjak ke atas, mengucapkan permintaan maaf yang betul-betul serius kali ini. Sungguh, biasanya hati gadis itu lembut nan maha pemaaf. Tetapi sepertinya Felix telah di luar batas.
Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya. Gadis itu sebenarnya sudah tahu akan siapa empu dibalik pintu, namun dirinya masih kesal akibat kejadian tempo hari. Meski apa yang dikatakan adiknya memang benar bahwa ia pergi ke rumah Regina.
"Masuk," pungkasnya, dengan nada ketus tentunya.
Felix membuka pintunya perlahan, ia menyerahkan beberapa kue kering buatannya dan segelas susu pada kakaknya, ia letakkan di atas meja dengan perlahan. Mata dan pipinya masih sembab, mungkin karena menangis semalam penuh. Tak biasanya kakaknya sebegitu benci padanya. Melihat itu, Davina jadi merasa agak kasihan padanya.
"Kenapa?"
Namun karena gengsinya yang kini telah menjadi seorang 'kakak' begitu tinggi, ia hanya mengucapkan sepatah kata itu, kemudian kembali diam dan memainkan ponselnya.
"Soal kemarin..."
"I haven't apologized properly to you, kak. Felix mau minta maaf, karena nggak ngerawat kakak waktu sakit dan malah bikin kakak susah. Will you please forgive your brother?"
Wajahnya memelas, mata puppy eyesnya ia keluarkan sebagai senjata. Kalau sudah begitu, rasanya tidak mungkin ada yang menolak permintaan seorang Felix Lee. Yang lebih tua akhirnya menyerah, ia menaruh ponsel pada sisi ranjangnya, lalu mengusap perlahan rambut adik semata wayangnya. "I forgive you, with one condition."
"And what is that?"
"Jangan pernah curiga lagi sama kakak."
Terdapat nada penekanan yang jelas pada percakapan Davina barusan, ia betul-betul tak main-main dengan ucapannya sendiri. Felix bergidik, ia meneguk ludahnya, kemudian mengangguk patuh. Tak pernah ia lihat kakaknya menjadi se-menyeramkan ini.
"Mau belajar bareng?"
"Sure!" balasnya sumringah, sembari memamerkan deretan giginya, matanya menyipit.
Lantas, ia turun dari tangga itu setelah kakaknya membawa beberapa buku dan alat tulis bersamanya, tak lupa camilan yang tadi ia buatkan untuk kakaknya ia bawa pula ke bawah. Dua hari lagi mereka sudah menginjak ujian akhir, dan dalam waktu itulah orang tua keduanya akhirnya pulang. Mereka sepertinya pulang lebih cepat karena hasil dokter mengatakan bahwa penyakit leher ibunya tak terlalu serius. Sedikit saja serpihan kaca itu memotong pita suaranya, mungkin wanita itu telah tiada. Lagipula, kalau boleh jujur, Felix ingin dua orang itu pergi saja selamanya.
Oh, atau mungkin harus ia sendiri yang membawa orang tuanya pergi selamanya?
Keduanya berjalan menuju kamar Felix, yang seperti biasa, selalu berbau seperti kue kering. Kamarnya tak pernah berantakan, tiga boneka beruang merah muda, biru, dan cokelat yang tertata rapi pada ujung ranjangnya, gantungan pakaian yang diisi oleh sweater serta pakaian tertutup lainnya, gorden putih yang selalu bersih, terikat rapi pada kedua sisi jendela, serta meja belajar dengan lampu yang begitu apik dilihat. Rak bukunya tak akan kosong, selama Felix masih menempati kamar ini.
Felix pun begitu, ia mengeluarkan buku matematikanya. Belajar bersama dengan kakaknya memang selalu membuat waktu berlalu begitu cepat, rasanya seperti tak 'belajar'. Dilihatnya yang lebih tua sedang berkutat dengan buku kimia, tak beruntungnya ia belum mempelajari hal itu di sekolah, padahal ia sangat ingin mengajari kakaknya.
Keduanya hening, sibuk berkutat dengan tumpukan buku di hadapan mereka masing-masing. Tak ada satupun di antara keduanya yang menginginkan nilai rapor mereka turun. Davina terbiasa akan setelan orang tuanya yang mengharuskan bahwa angka dalam kertas itu harus memuaskan, awalnya memang lelah, namun lama-kelamaan itu sudah menjadi santapan sehari-harinya.
Gadis itu melirik yang lebih muda dengan sudut matanya, mencuri pandang, dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Sungguh, seribu pertanyaan kini mulai terputar kembali dalam otaknya.
Kok Felix nurut banget ya sama aku?
Kok Felix nggak pernah marah ya sama aku?
Kok Felix nggak ngebunuh aku aja?
"Felix."
"Iya kak?"
"Kalo ada apa-apa yang terjadi sama aku, kamu bakal gimana?"
Felix memiringkan kepalanya, sedikit bingung dengan pertanyaan yang lebih tua. "Cari siapa yang bikin kakak kenapa-napa, dan buat mereka ngerasain akibatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angelic Demon
Fanfiction"Halo kak, lets play, shall we?" Davina Almeira merupakan seorang gadis yang tinggal bersama keluarganya sebagai anak tunggal. Ia tersiksa selama ini karena kedua orang tuanya memang tidak menginginkan kehadirannya. Ia akhirnya harus menerima fakta...