"Latar belakang Felix Lee belum kami ketahui. Orang tua dan relatif yang lain juga tak ditemukan. Satu-satunya data yang kami ketahui mengenai Lee adalah tanggal lahir, gender, serta usia."
Terus terang, kata-kata ibu panti asuhan saat itu benar-benar mengganggu pikirannya. Darimana Felix berasal? Siapa dia sebenarnya? Pasalnya, Felix terlihat begitu baik pada orang-orang. Tetapi saat ibunya kesakitan kemarin, ia tidak berbuat apa-apa dan malah memandanginya saja. Bukannya ia memiliki prasangka buruk terhadap adik tirinya, hanya saja hal buruk kemungkinan dapat terjadi kan?
Aduh, memikirkan ini membuat isi kepalanya semakin kompleks. Gadis itu tak henti-hentinya memegangi perutnya sendiri karena kram yang dirasakannya. Maklum, hari pertama menstruasi memang membuat emosi memuncak. Ia hanya dapat terbaring lemah, matanya menitikkan air mata sedetik kemudian. Nyeri yang ia rasakan begitu hebat. Kedua kakinya seakan lumpuh tak berfungsi. Ini yang ia benci dari haid.
Terdengar ketukan pintu dari luar yang entah siapa sang empu dibaliknya. Davina mempersilahkan. Memunculkan laki-laki memakai hoodie merah muda yang membawakan beberapa camilan dan teh hangat untuknya. Ia duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan nampan itu perlahan-lahan di meja.
"Sakit banget ya kak?"
Ia hanya dapat tersenyum simpul menatap adiknya, kemudian mengangguk pasrah. Sang adik tampak semakin khawatir, raut mukanya berubah sedih, seolah-olah merasakan kesakitan itu pula.
Felix duduk di pinggir ranjang kakaknya, membuka camilan satu persatu, kemudian menyuapkan dengan lembut. Ia bahkan dengan berani mengusap perut gadis itu. Tentu saja tanpa maksud apapun, tetapi sukses membuat yang lebih tua merasakan ribuan kupu-kupu di perutnya.
"Kalo Kak Nana lagi mens gini, Felix jadi pengen tuker tubuh. Biar kakak nggak ngerasain sakitnya."
Tidak dapat dipungkiri, ia merasa jauh lebih baik karena kehadiran Felix. Sebelumnya, belum pernah ada yang memperlakukannya sebaik ini, bahkan kedua orang tuanya sendiri. Ia merasa sangat bersyukur dikaruniai adik tiri yang begitu sempurna.
"Oh iya, gimana hasil tes psikologinya tadi?"
Ah ya, mereka diinterogasi dengan sekumlah polisi dan diberikan hasil tes. Felix ingat itu. Tetapi lelaki itu tidak diberikan hasil apa-apa setelah ditanyai beberapa pertanyaan, itu yang membuat dirinya heran. Padahal teman-temannya, Sam, Sky, Peter, dan lainnya juga mendapat hal yang sama, hanya ia saja.
"Aku nggak diberi tau apa-apa sih kak, how bout u?"
Davina meneguk ludahnya perlahan. Ia sempat menguping dari kawan sekelasnya, apabila tidak diberikan hasil tes, maka terdapat masalah pada siswa tersebut, entah apa yang dimaksud. Dan ia juga tidak salah mendengar bahwa ada dua murid sekolah menengah pertama yang tidak mendapatkan hasil tes. Yang pertama adalah adiknya, dan yang kedua... Entahlah.
"Tadi normal sih Lixie, nggak ada yang abnormal. Kok kamu nggak dikasih tau ya?"
Pancingan gadis itu tak dihiraukan oleh yang lebih muda, ia kini semakin giat menyuapinya. Hal itu semakin membuat dirinya penasaran. Rasa-rasanya, banyak yang disembunyikan dari lelaki berambut pirang itu.
Entah bagaimana caranya, Davina harus dapat mengungkap siapa sebenarnya adik tirinya itu.
Omong-omong, keduanya sendirian malam ini. Ibu dan ayah mereka pergi ke luar kota untuk mengambil obat pasca apa yang telah terjadi pada leher Emilya. Jadi, disinilah mereka menikmati malam dua insan seorang diri. Sembari sesekali menepuk tangan dan kaki mereka karena banyaknya nyamuk yang menerjang.
Felix menyelipkan tubuhnya ke ranjang kakaknya, sembari mengangkat selimut itu agar menutupi sebagian tubuh keduanya. Davina tampak terkejut, adiknya begitu berani malam ini, tidak seperti biasanya. Tetapi biarlah, lama-lama ia terbiasa akan sikap adiknya yang memang clingy.
Lelaki itu beralih menghadap yang lebih tua, tatapannya amat lembut, seolah takut kakaknya tergores secuilpun.
"Kakak sejak kapan dibully?"
Yang ditanya terdiam, tidak berpikir bahwa akan ada seseorang yang menanyakan hal itu. Entah mengapa, ia tidak bisa berbohong pada kedua netra yang memandangnya lekat-lekat, serta paras bak malaikat itu.
Davina menghela nafas perlahan. "Sejak SMP, Lixie. Aku emang ga ada kekuatan untuk ngelawan, aku takut mereka semakin menjadi kalau aku berani. Aku juga belum pernah bicarain ini ke siapapun."
"Aku kira setelah SMP, Georgio dan temennya bakal pindah ke SMA yang lebih bagus. Tapi ternyata engga, mereka tetap disana dan satu sekolah sama aku."
"Awalnya, mereka ga suka aku yang cuma baca buku di pojokan. Kata mereka, aku teacher's pet. Caper, culun, itu yang mereka ucapin ke aku sehari-hari. Padahal aku belajar di sekolah karena kondisi di rumah kurang nyaman. Kamu tau sendiri kan gimana modelnya kamarku? Kalo di perpustakaan sekolah, turunnya agak jauh, aku takut telat masuk kelas." tuturnya panjang lebar.
Mata Felix sayu, ia tampak iba. Mendengar cerita kakaknya saja sudah sangat menyayat hatinya. Ia tidak membayangkan berada di posisi yang lebih tua. Meski begitu, Felix juga memiliki empati loh.
Yang kemungkinan emosi itu hanya ia rasakan untuk dan pada kakaknya seorang.
"Yang ngelakuin itu ke kakak cuma Kak Georgio sama temen-temennya aja? Atau ada yang lain?"
Pertanyaan adiknya kali ini membuatnya kurang nyaman. Memang apa yang akan dilakukannya pada mereka? Tetapi sekali lagi, mulutnya seperti terkena sihir yang memaksanya untuk berbicara yang sejujurnya. Ia berakhir menceritakan semuanya pada adik tirinya itu.
"Rachelle, Regina, Stella, Natalia. Kakak kelas dua belas itu juga pernah mukul aku cuma gara-gara ngira aku rebut pacar Kak Rachelle. Padahal aku ngga kenal siapa cowo yang dimaksud. Tapi aku sempat lawan."
Good girl.
"I see, pasti berat ya kak ngejalanin kehidupan SMAnya? Tapi kakak beneran hebat banget, kakak juga nggak minta pindah ke mama papa. Felix bangga banget sama kakak."
"Inget, kalo ada apa-apa, kakak boleh banget cerita ke Felix. Felix bakal lebih dari seneng untuk dapet kepercayaan ini, makasih ya udah mau cerita," lanjutnya lagi.
Perkataan yang lebih muda seolah membuat hatinya menghangat seketika, ia tersenyum lega. Ia juga merasa bangga akan dirinya sendiri yang akhirnya memiliki keberanian untuk mengatakan yang sejujurnya.
Davina mengangguk, kemudian matanya terasa berat beberapa detik kemudian. Dengkuran halusnya terdengar oleh sang adik, membuat lelaki itu bangkit dan menyelimutkan kain tebal itu menutup seluruh tubuh kakaknya kecuali bagian kepala. Ia juga sempat mengecup tangan kakaknya dengan halus.
"Selamat tidur, kakak! Mimpi indah ya."
Setelah menutup pintu kayu itu, ia turun dengan perlahan-lahan, melantunkan nada yang hampir setiap saat keluar dari kedua belah bibirnya.
"Yah, nambah lagi dong list di bukuku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angelic Demon
Fanfiction"Halo kak, lets play, shall we?" Davina Almeira merupakan seorang gadis yang tinggal bersama keluarganya sebagai anak tunggal. Ia tersiksa selama ini karena kedua orang tuanya memang tidak menginginkan kehadirannya. Ia akhirnya harus menerima fakta...