23; Marahnya Davina

640 96 6
                                    

Ia lirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya dengan sudut mata. Untunglah hari terbilang masih pagi, sehingga Felix kemungkinan besar belum pulang sekolah hari ini. Kecuali jika ada acara tertentu, mungkin mereka akan pulang cepat.

Oh, mengapa ia tidak bertukar pesan pada teman Felix saja? Mereka pasti memberi tahu. Ia menepuk jidat.

Dibukalah ponselnya, mengetik satu nama pengguna yang sedari tadi tersangkut di otaknya. Kalau boleh jujur, ia bersyukur Felix memiliki teman yang sangat baik hati.

Meira.Dav
Maaf mengganggu, Sam. Hari ini apa Felix sudah pulang ya? Soalnya aku habis dari klinik, badan aku lagi ga enak.

samhwang
Waduh, hari ini guru-guru lagi rapat kak, jadinya pulang cepet. Udah pulang dari jam sembilan.
Anyway, cepet sembuh kakak cantik!

Darahnya berdesir begitu ia membaca pesan yang terakhir Sam kirim. Duh, kira-kira adiknya akan curiga terhadapnya atau tidak ya? Memikirkan hal itu saja sudah membuat jantungnya berdegup kencang. Tidak, tidak masalah, Felix selalu percaya padanya. Regina tampak mengintip layar ponselnya, gadis itu terlihat panik juga, namun berusaha sebaik mungkin untuk menenangkannya. 

"Tenang Dav, gue punya obat demam resep dokter tiga hari yang lalu, itu aja lo bawa pulang biar Felix gak curiga. Lo bilangnya ke klinik kan?"

Davina mengangguk, beberapa detik sebelum degup jantungnya terasa netral, tak seperti sedang dikejar hantu.

"Yang tadi, kenapa lo bilang mereka gak kecelakaan? Bisa jadi memang begitu kenyataannya kan? Otak Felix jadi gangguan karena kejadian itu." 

"Regina, Felix pernah masukin kaca ke makanan mama aku." 

Matanya membola sempurna. "He did what?"

"Ini hipotesis gila dari aku kalo dia bunuh semua anggota keluarganya." 

Regina menggeleng. "Gak mungkin, Dav. Dia family-man, lo bisa lihat sikap over-possessivenya ke lo. Dia bahkan gak sungkan bunuh siapa aja yang udah nyakitin lo. And you said that he slaughtered his family? No way!"

Gadis itu termenung, memikirkan sejenak perkataan temannya. Dan memang masuk akal, tidak mungkin Felix melakukan hal itu. Lantas, ia harus mempercayai bahwa Felix dan orang tuanya memang mengalami kecelakaan, lalu ia terkena gangguan mental sebab trauma itu. 

Tetapi semuanya begitu kompleks untuk dicerna dalam otaknya, apa ia harus meminta bantuan polisi untuk ini? 

"Dav, kalo misalnya kapan-kapan kita lanjutin cari tau tentang Felix, gimana kalo kita ke kantor polisi atau detektif aja? Mereka pasti tau lah ya, atau enggak setidaknya kita nemu sedikit clue. Bukannya malah burem gini kasusnya."

Yang diajak omong mengangguk, tetapi raut muka kebingungan terpampang pada wajahnya. "Tapi caranya gimana Re? Gak mungkin dong kita tiba-tiba minta dokumennya Felix, justru ntar kita yang dianggep aneh-aneh."

"Sst, you can count on me for this one, channel bokap gue banyak. Dan gue yakin bokap gue juga mau bantu, as long as alasan yang gue kasih nanti bisa masuk akal dan diterima." 

"Rere... makasih ya."

Lawan bicaranya tersenyum, kemudian mengangguk. Gadis itu justru senang bila ia dapat berguna untuk Davina, hitung-hitung untuk menebus kesalahannya di masa lalu perkara hal bully membully.

Tak lama hingga akhirnya ketiganya sampai pada kediaman Regina dengan selamat, juga ia lega karena tak menghabiskan banyak waktu di panti asuhan maupun di perjalanan. Pasti Felix akan berpikir yang tidak-tidak lagi terhadap dirinya. 

Davina turut membantu pria itu agar nona mudanya dapat turun dari kendaraan. Kalau boleh jujur, melihatnya kesakitan seperti ini saja ia sudah sangat iba. Lantas bagaimana batunya perasaan Felix yang malah melakukan itu pada Regina? Tetapi kembali lagi, apa yang lelaki itu lakukan, semuanya hanya demi dirinya.

Keduanya masuk, sementara sopir Regina memang menunggu di luar. Seluruh penghuni rumahnya menyambut dengan hangat. Namun tampaknya orang tua Regina memang masih tak di rumah. Untung saja, bisa gawat kalau ia ketahuan membicarakan hal yang sangat krusial.

Regina tampak mencari sesuatu, gadis itu lantas menyerahkan satu set obat demam yang ia pakai beberapa waktu lalu agar Davina tak dicurigai oleh Felix. Namun mengesampingkan itu hanya semata-mata untuk alasan, Davina sebenarnya memang merasa sakit hari ini. Tubuhnya terasa begitu lemas dan suhu badannya begitu tinggi. Ia hanya menutupi agar Regina tak khawatir berlebihan padanya. 

"Makasih Re, aku pulang dulu ya."

"Iya, be careful Dav."

Gadis itu menyusuri jalanan sembari sesekali menyentuh keningnya. Gila, keadaannya tak semakin membaik kala ia pulang, sepertinya ia harus betul-betul mengonsumsi obat yang diberi Regina. Sembari menyelam minum air, obat yang awalnya digunakan sebagai penyamaran ternyata berguna untuknya.

Ia sampai di rumahnya, kebingungan begitu Felix tak menyambutnya seperti biasa, lantas gadis itu masuk mengucap salam, dan tak mendapati adiknya dimana pun. Di lantai atas juga tidak ada.

"Lixie?" 

Ia turun dari tangga dengan hati-hati, mencium bau bangkai yang menyengat. Sialan, bau apa ini? Pikirnya begitu.

Laki-laki itu tersenyum dan menatapnya lekat-lekat. Menyodorkan sebuah keranjang yang ditutupi dengan taplak kotak-kotak. Begitu dibuka, ia terkejut bukan main.

Keranjang tersebut berisi dua tikus yang telah terpotong beberapa bagian tubuhnya dengan ceceran darah yang masih segar.

"Felix..."

"Iya? Kakak suka kan? Let's play, shall we?"

"Lixie..."

"Felix tau kakak ke rumah Kak Rere tadi, iya kan?"

Davina terdiam, masih dengan raut wajah tak percayanya.

"Apa yang Kak Rere bilang tentang Felix? Hm?"

"Kakak dibilangin apa sama Kak Rere?"

"Felix nggak mau dia jadi pengaruh buruk bagi kakak!"

Emosinya terasa dipancing oleh yang lebih muda, lantaran dirinya masih harus menahan rasa sakit dalam dirinya. Tubuh demamnya sama sekali tak membantu untuk mengendalikan amarahnya.

"FELIX!" bentaknya, cukup keras hingga membuat tubuh lelaki di hadapannya tersentak.

"KAKAK NGGAK PERNAH AJARIN KAMU BUAT BERBURUK SANGKA SAMA ORANG LAIN! KAKAK KE RUMAH SAKIT, KAKAK KE KLINIK!" teriaknya, melemparkan satu set obat-obatkan yang telah ia dapatkan tadinya, tepat pada wajah Felix.

Gadis itu dapat melihat pupil adiknya yang berkaca-kaca.

Felix, gadis itu memanggilnya Felix, bukan dengan nama panggilan kesayangannya. Davina pasti sangat marah padanya.

"Kakak lagi sakit, Felix. Kakak lagi berusaha ngerawat kamu saat papa mama nggak ada. Tapi lihat balesan kamu? KAMU FITNAH KAKAK! KAMU KIRA GIMANA RASANYA WAKTU BADAN KAKAK LEMES TAPI MASIH SEMPET BUATIN MAKAN MALEM BUAT NANTI?"

"Kakak... Maaf," cicit Felix pelan.

Davina meledakkan amarahnya, ia merasa cukup kesal, juga karena kondisi tubuhnya yang tak mendukung. "Apa nggak cukup kakak masakin kamu setiap hari? Apa nggak cukup kakak rawat kamu setiap hari waktu mama papa pergi? Apa nggak cukup kamu jadi anak kesayangan mama papa sementara aku rasanya nggak berguna di mata mereka? Kamu kira kakak nggak capek?"

"Kakak capek, Felix."

Baru ketika ia hendak melangkah masuk, meninggalkan saudaranya disana, Felix berlari, terduduk, lantas memegangi kaki kanannya, menahannya agar tak lepas dari pandangannya.

"Lixie minta maaf," ujarnya, masih terisak. "Lixie minta maaf karena nyusahin kakak, janji nggak akan ngomong gitu lagi. Kakak... Lixie minta maaf..."

Air matanya masih mengalir kala ia mencoba menghentikannya, dilihatnya sang kakak yang sedikit demi sedikit merasa iba padanya.

"Ayo masuk, buang tikus kamu itu, kakak jijik."

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang