Tubuhnya kaku, dalam dirinya dipenuhi perasaan tercengang, otaknya kosong, langkah kakinya menuntunnya kemana saja, entah ia sampai tujuannya atau tidak. Setidaknya benaknya sudah dijejali oleh hal kompleks. Ia rasa sebentar lagi akan pingsan jika kerap memikirkan hal itu. Tak tahu menahu apa rencana yang selanjutnya akan ia lakukan.
Langsung melaporkan pada polisi dan detektif? Tidak mungkin, ia hanya akan ditertawakan jika tak ada bukti apapun. Mendiamkan saja? Seperti kata Regina, ia takut akan korban yang kembali berjatuhan.
Satu percakapan yang menyangkut dalam pikirannya.
"Bukannya gue ngehina Dav, tapi lo tau biaya Akademi Journey of Knowledge gak murah, apalagi dibandingin sama penghasilan ortu lo. Lo gak curiga sama mereka? Dan sifat over protektifnya Felix ke lo itu menunjukkan seolah-olah lo adalah saudara kandungnya, padahal bukan. Lo bilang kan kalo Felix tau nama lo sebelum lo perkenalkan diri?"
Memang benar, Felix mengetahui namanya bahkan saat sebelum ia sempat menyebutkan. Ia rasa memang ada sesuatu yang salah dengan adik tirinya.
Tak terasa, kedua kakinya telah menuntunnya pada rumahnya sendiri, ia melangkah masuk, terlihat beberapa sepatu yang masih berjajar rapi, yang mana menunjukkan bahwa teman-teman Felix masih disini. Aman, Felix tak akan curiga. Raut muka lelah ia tampakkan, sehingga mereka benar mengira bahwa dirinya memang sedang kerja kelompok.
"Kakak pulang, Lix-"
"Kakak habis dari rumahnya Kak Rere ya?"
Deg.
Tenang, Davina, jangan memasang raut muka panik. Ia memalingkan wajahnya, lantas meneguk ludahnya, menaruh tas ranselnya perlahan, menguap yang dibuat-buat, kemudian meregangkan tubuhnya. "Heem, iya Lixie. Asli males banget sumpah, kenapa juga harus ada tugas sama dia."
Sejauh ini aktingnya cukup bagus, ekspresi lelahnya mampu membohongi yang lebih muda, tak ada satu pun tatapan curiga yang dilayangkan padanya. Gadis itu menghela nafas berat, mencoba memikirkan kebohongan selanjutnya, jaga-jaga apabila Felix bertanya lebih detail.
"Tugas apa kak? Bukannya kakak sama Kak Rere beda kelas?"
Nah kan.
"Iya, bukannya Kak Rere IPS ya kak?" sahut Javier heran.
"Memang kok, itu kan tugas ekskul pramuka soalnya. Disuruh nyiapin bahan ajar buat kelas sepuluh. Nah, aku satu kelompok sama dia," balasnya tenang, tanpa tampak gagap ataupun berbicara patah-patah. Ia rasa ia perlu mendapat nominasi sebagai aktris terbaik tahun ini karena dapat berbicara datar walau jantungnya sudah hampir lepas.
"Duh, derita banget ya harus sekelompok sama tuh orang," cibir Sam, ia memang betul-betul tak menyukai perilaku Regina dalam segi apapun.
Davina terkekeh. "Asli deh, kayaknya dia lumpuh gara-gara kena karma, suruh siapa sengaja nyandung kakiku."
Semua penghuni ruangan diam seketika, lantas tertawa perlahan, sepertinya mereka tidak berani jika menyangkut hal berbau kecelakaan.
"Waduh, lampu mana lampu," celetuk Han, membuat tawa mereka makin menggelegar.
Seraya mengambil pakaian dan handuk untuk membersihkan diri, Davina mencoba sedikit demi sedikit bersikap seperti biasanya. "Eh iya Lix, kamu kok tau aku di rumah Rere?"
"Tau dong! Soalnya kakak lewat Jalan Pahlawan, itu kan arah rumahnya Kak Re," jawabnya tanpa ragu.
"Ih, kamu hafal banget alamatnya anak-anak, keren!"
Mungkin kalimat itu adalah kebohongan yang menyelamatkannya, setidaknya untuk saat ini.
Han menanggapi. "As expected from our secretary, kak."
Setelah selesai membasuh tubuhnya, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan kaos berlengan pendek serta celana panjang, tak lupa rambut yang diikat rapi menjadi ekor kuda. Beruntunglah ia karena kedua orang tuanya sedang check up rutin hari ini, baru saja ia dikabari melalui ponselnya. Jadi tak masalah bila teman-teman Felix disini hingga larut malam.
Namun jika dilihat lagi, Felix tampak seperti lelaki remaja normal yang bisa berkumpul dengan siapa saja. Hanya saja, perkataan Rere mengenai 'daya tarik seorang psikopat' tersebut juga masuk akal baginya.
Ia meminjam komputer Felix, yang sudah diizinkan oleh sang empu, mengetik 'ciri-ciri seorang psikopat' pada bar pencarian, betapa terkejutnya ia begitu melihat apa yang dipaparkan pada artikel tersebut.
1. Mahir berbohong
2. Mempesona dan perfeksionis
3. Cepat bosan
4. Lemahnya rasa empati
5. Susah ditebak
Benar-benar menggambarkan Felix.
"Felix, kamu kemarin pulang terakhir kan? Lihat Georgio? Dia masih hidup kan kemarin?"
"Eh? Aku pulang bareng anak ekskul kak, jadi nggak terlalu lambat. Kak Georgio masih ada kok kemaren. Aku pulang telat soalnya beli jebakan tikus, kemarin di kamar kakak aku lihat ada tikus."
"Tapi kan enak, gaada yang gangguin kakak lagi?"
"Tetap aja Felix... Dia ga pantes meninggal. Meski dia ngebully aku dari kelas sepuluh."
Ia jadi bergidik ketika mengingatnya, empati Felix betul-betul nol besar.
"Kakak lagi ngapain?" tanya seseorang tepat di belakangnya. Beruntunglah bahwa refleks Davina sangat cepat, ia telah mengganti layar pada video youtube sebelum yang lebih muda dapat melihat apa yang dilakukannya.
"Ah, aku butuh buat lihat tutorial, Lixie ngapain disini?"
"Tadi waktu kakak di rumah Kak Rere, kakak beneran kerja kelompok kan?"
Sorot mata itu, membuat dirinya jantungnya berdegup kencang tak karuan. Senyum yang selalu terpampang lebar, serta pertanyaan yang terkesan memanipulasi. Baru kali ini ia takut dengan seorang Felix Lee.
"Kamu nggak percaya sama kakak?"
Kalau kamu mau ngehipnotis aku, aku juga bisa, Lix.
"Kakak nggak akan pernah bohong sama kamu, Lixie sayang," ujarnya, mengecup kening adiknya perlahan.
Yang diperlakukan seperti itu mematung, wajahnya memerah sedetik kemudian, ia bahkan sampai menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya karena malu, lututnya melemas, bibirnya ditekuk, membuatnya tampak menggemaskan karena cemberut.
"J-jangan gitu dong kak..."
Davina terkekeh. "Kenapa? Kamu suka ya?"
"Ih, kakak!"
Gadis itu mencubit gemas pipi yang lebih muda, lantas pamit agar adiknya tak khawatir. "Kakak ke kamar ya, minta tolong bilang kalo mama papa udah pulang."
"Will do kak, selamat istirahat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Angelic Demon
Fanfiction"Halo kak, lets play, shall we?" Davina Almeira merupakan seorang gadis yang tinggal bersama keluarganya sebagai anak tunggal. Ia tersiksa selama ini karena kedua orang tuanya memang tidak menginginkan kehadirannya. Ia akhirnya harus menerima fakta...