25; Ujian

598 88 0
                                    

Tak terasa, ujian demi ujian telah berlalu, keduanya; Felix dan Davina, sama-sama mendapat nilai terbaik untuk hampir semua mata pelajaran. Terutama Felix, tak jarang lelaki itu mendapatkan skor sempurna dalam final testnya. Jujur, itu tak membuatnya bangga atas dirinya sendiri, ia sudah terlalu sering diapresiasi karena akademisnya. Bahkan dalam waktu yang hanya satu setengah jam, ia sudah mampu untuk menyelesaikan semua soal dengan waktu sangat minim, dan masih memberikan sontekan pada teman-temannya.

Ia meregangkan tubuh, melenggang keluar dari ruangan setelah menunjukkan bukti bahwa ia telah log out dari situs ujiannya pada guru pengawas. Seperti biasa, sampai di hari terakhir pun, hasilnya tetap sempurna, ia mendapat nilai sembilan puluh tujuh untuk Bahasa Inggris. Sebenarnya, ia berekspetasi lebih untuk pelajaran yang sangat ia dalami sejak ia kecil.

Tak lupa ia mengirimkan jawabannya pada Sam, temannya itu cukup tau diri untuk tidak mengirim beribu pesan spam, ia sabar menunggu, mengerti bahwa Felix pasti memberinya jawaban.

"Kak Nana gimana ya..."

Dilihatnya Sky yang keluar setelah dirinya, lelaki yang selalu berada peringkat pertama itu kini menemaninya duduk di depan kelas sembari menunggu teman-teman lainnya keluar. Raut mukanya cerah, ia pasti juga mendapat nilai yang memuaskan.

Entah mengapa, jantung Felix berdebar tak karuan hari ini, ia merasa sangat khawatir pada kakaknya. Berkali-kali ia melirik jam merah muda yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. Ini sudah melewati jam pulang, banyak pula murid lain yang telah berdatangan untuk pulang. Namun kelima temannya tak kunjung tampak.

"Mereka kenapa ya Sky? Kok ga keluar-keluar."

"Biasanya kalo hari terakhir, servernya suka error, Lix. Mungkin Sam, Han, Peter, Shotaro, sama Javier handphonenya lagi ngelag. Emang sekolah gak bener, kita bayar mahal cuma buat ngalamin lagging doang."

Felix mengangguk paham, ia juga tak terlalu mengerti mengenai tes secara online ini, yang ia tau hanyalah, ujian manual menggunakan kertas jauh lebih baik.

Sial.

Jantungnya semakin berdebar kencang, terutama ketika ia melihat gerombolan anak SMA yang keluar dari gerbang, dan tak melihat figur kakaknya. Apa Davina sudah pulang? Apa ia berhasil kembali ke rumah?

Perasaannya seolah kembali tenang begitu sosok kawan-kawannya keluar meramaikan lorong kelas, mengangkat ponsel mereka kuat-kuat ke atas, demi merayakan nilai mereka yang memuaskan akibat Felix dan Sky yang murah hati berbagi jawaban.

"Gimana nih nilai lo Lix?"

"Aku dapet sembilan tujuh," balasnya dengan senyuman.

"Anjir keren banget! Tapi makasih ya, karena lo juga gue dapet delapan sembilan, lo gimana Sky?"

"Sembilan lima."

"Gila, as expected sih. Gue sembilan puluh, lumayan lah ya," sahut Han.

"Hari ini hari terakhir kita ujian, nongki setuju gak?" Javier memberi saran.

Keenamnya mengangguk, termasuk Felix, meski ia sedikit berat hati untuk meninggalkan kakaknya sendirian di rumah dengan orang tuanya di rumah, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang lebih tua pasti baik-baik saja. Tidak apa-apa, Felix, tidak akan ada yang terjadi pada kakakmu.

Setelah mengirim beberapa pesan singkat untuk memberi informasi bahwa ia tak akan pulang cepat hari ini pada kakaknya, ia kemudian bergegas mengikuti Javier, sepertinya ia yang akan menjadi tuan rumah kedua setelah Felix.

Kedua tangannya penuh dengan kantong plastik berisikan makanan ringan, minuman kaleng, serta roti yang akan ia berikan pada kakaknya nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua tangannya penuh dengan kantong plastik berisikan makanan ringan, minuman kaleng, serta roti yang akan ia berikan pada kakaknya nanti. Sudah banyak rencana dalam kepalanya yang akan ia jalankan nanti, demi merayakan selesainya ujian akhir mereka, dan kenaikan kelas yang sebentar lagi akan mereka laksanakan. Tubuhnya terasa seperti diisi kembali energinya setelah bermain dengan teman-temannya.

Jalanan tampak sudah sepi, kemungkinan karena hari sudah petang. Memang, langit sudah menunjukkan warna ungu dan jingganya, pertanda sang mentari setelah ini akan menenggelamkan diri, digantikan dengan rembulan bersama bintangnya.

Ia perlu membasuh diri setelah ini, lalu setelah itu baru mengajak kakaknya untuk menonton series bersama. Sudah banyak deretan film yang ingin ia tonton bersama yang lebih tua. Namun ia tunda kesempatan itu karena ujian mereka di depan mata. Tetapi karena tanggungan telah selesai, ia rasa tak ada salahnya untuk ia dan Davina refreshing bersama.

"P-pa, sakit!" 

Jantungnya seolah berhenti berdetak begitu ia mendengar teriakan itu, sangat familiar, tak salah lagi, itu pasti kakaknya. Ia bergegas membuka pagar yang sedikit sulit untuk ia dorong ke dalam, emosinya menggebu, urat-uratnya bahkan tampak pada siapa pun yang melihatnya saat ini. Ia mendengar suara pukulan dan rintihan begitu ia semakin dekat, kakinya ia gunakan untuk berpacu, masuk ke dalam rumah. Matanya menatap horor begitu ia melihat sang pria yang tengah menjambak kakaknya, dengan beberapa utas kabel dalam genggamannya. 

"F-Felix..." ujar Emilya terbata, ia seolah begitu kaget dengan kenyataan anak kesayangannya melihat dirinya dan suaminya menyiksa anak gadisnya sendiri, darah dagingnya, yang keluar dari rahimnya. 

"Nak, ini nggak seperti yang kamu pikirkan..." sahut Ericko, masih berupaya mencari pembelaan. 

Kantong plastik yang tadinya ia bawa itu kini jatuh begitu saja ke lantai. Nafasnya memburu. Dengan cepat, ia mengambil sebuah pena yang tergeletak di atas meja, lantas berlari, dan menancapkan ujung pena itu berkali-kali pada kaki Ericko. Pria itu sama sekali tak melawan, hanya menangis kesakitan sementara Emilya dan Davina berteriak ke penjuru arah meminta bantuan, keduanya histeris, tak pernah dalam sekali seumur hidupnya Felix berani menampakkan sifat aslinya. 

"Anak gak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia, sebelum orang tua melakukan dan minta sama Tuhan untuk diberi anak. DAN INI BALASAN KALIAN ATAS HADIAH YANG DIBERI TUHAN?" 

Davina terseok-seok, ia berusaha melarikan diri dari sana sedangkan adiknya masih memperlihatkan amarahnya, teriakan Felix dengan suara deepnya bahkan membuat seluruh penghuni rumah berjengit kaget. Air matanya masih menetes deras. 

"AKU NGGAK AKAN BAHAGIA SEBELUM KAK DAVINA BAHAGIA, MA, PA. KARENA AKU PUNYA ADIK, DAN ADIKKU JUGA MENGALAMI HAL YANG SAMA SEPERTI KAK DAVINA!" 

Matanya membelalak, Felix punya adik, Olivia... Olivia adalah adiknya. 

"AKU MUAK SAMA ORANG-ORANG SOK BAIK SEPERTI KALIAN YANG MEMPERLAKUKAN ANAKNYA KAYAK SAMPAH!" 

Ditendang dan diinjaknya luka tusukan bolpoin itu. "Kalian yang memohon untuk punya anak, lalu seperti ini cara kalian memperlakukan perempuan yang keluar dari rahim mama sendiri? Apa mama sama papa bahkan pantas disebut orang tua?" 

"Aku pikir dengan sabar dan kehadiranku disini bakal buat semuanya berubah. Tapi apa? Kalian tetap sama! AKU NGGAK PERNAH SUKA SAMA KALIAN SEJAK KALIAN DATENG KE ACARA KELUARGA!" 

Jeritan Felix mampu membuat keheningan kecuali suara kursi yang ia lempar pada wanita itu. 

Tapi tunggu, 'datang ke acara keluarga'?

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang