"AAAAAAAAAA!"
Teriakan seorang gadis yang baru saja sampai di halaman depan sekolah begitu kencangnya. Ia menyesal datang sepagi ini. Apa yang baru saja dilihat membuatnya mabuk kepayang, perutnya mual, ia ingin muntah disini dan saat ini juga.
Mayat Georgio tergantung di ring basket dengan bercak darah yang masih tersisa pada dahinya, dikelilingi oleh lalat dan burung gagak. Davina dan Felix yang baru saja sampai juga terkejut bukan main, begitu pula guru-guru yang memarkirkan kendaraannya.
"Tolong dibantu!"
Pria paruh baya itu tampak berkeringat dingin sementara ia memindah mayat tersebut ke brankar dorong. Sang kepala sekolah memijit kepalanya, menelepon seseorang di balik sana. Nadanya terdengar begitu serius.
Davina sudah tak dapat berbicara apa-apa lagi. Kematian Georgio benar-benar mengenaskan. Ia baru ingat bahwa kemarin terdapat beberapa anak yang masih menjalani ekstrakulikuler, apa mereka tidak melihat Georgio? Astaga.
"Felix, kamu kemarin pulang terakhir kan? Lihat Georgio? Dia masih hidup kan kemarin?"
"Eh? Aku pulang bareng anak ekskul kak, jadi nggak terlalu lambat. Kak Georgio masih ada kok kemaren. Aku pulang telat soalnya beli jebakan tikus, kemarin di kamar kakak aku lihat ada tikus."
Davina mengangguk saja atas penjelasan adiknya. Seberapa besar ia benci pada lelaki yang baru ditemukan meninggal itu, ia tak sampai hati untuk melihatnya seperti ini. Meski lelaki itu sudah membuat kehidupan SMAnya seperti di neraka.
"Tapi kan enak, gaada yang gangguin kakak lagi?"
Gadis itu mengernyit. Apa-apaan yang baru saja Felix katakan? Mendoakan agar orang itu meninggal tetap saja tidak benar. Davina masih heran dalam hati, siapa yang berani melakukan ini pada Georgio? Terutama jika ayahnya adalah seorang aparat negara.
Pantas saja sang kepala sekolah tampak pening, ia harus menyiapkan mental untuk bertemu ayah Georgio. Atau kemungkinan terburuk, sekolah ini akan ditutup.
"Tetap aja Felix... Dia ga pantes meninggal. Meski dia ngebully aku dari kelas sepuluh."
Felix tidak menyahuti apa-apa lagi, sampai mereka akhirnya harus terpisah karena bel telah bunyi. Para siswa tetap harus melaksanakan pembelajaran, meski polisi telah datang, menyebar dimana-mana, dan mendatangi kelas satu persatu.
Polisi dan detektif tak pandang bulu dalam menginterogasi, baik guru, staf dan kru sekolah, serta murid-murid, semua diberi beberapa pertanyaan yang harus dijawab di sebuah ruangan private. Berurutan dari kelas dua belas hingga kelas satu. Well, walau kemungkinan anak SD melakukan kejahatan adalah sedikit sekali.
"Sumpah ngeri banget ya, masa iya ada pembunuh di sekolah kita."
"Rasanya nggak mungkin sih, Sam. Mungkin orang luar yang ga suka sama Kak Georgio?"
Temannya hanya mengangguk, sedangkan Sky dan Shotaro yang duduk di belakang mereka ikut menimbrung dalam percakapan mereka. Karena kebetulan kelas sedang kosong, syukurlah bagi mereka. Guru-guru pasti juga sibuk membantu penyelidikan polisi.
"Menurut gue, pembunuhnya pasti lebih tinggi atau gede daripada Georgio. Secara, mayatnya disangkutin gitu aja di ring basket. Jadi gak mungkin kalo anak SMP atau SD."
Pendapat Sky ada benarnya, karena seniornya itu adalah seorang kapten basket, jadi tubuhnya pasti atletis dan berotot. Mereka bertujuh kini saling berhadapan membentuk lingkaran. Yang lain sudah tak terkejut lagi akan geng Sam yang memang selalu kompak.
"Bisa jadi pembunuhnya dua orang atau lebih kan? Mereka janjian buat ngebunuh Kak Georgio, terus mayatnya diangkat berdua juga," ujar Han.
Mereka saling memberi tanggapan masing-masing terhadap kejadian yang baru terjadi, tak jarang teman sekelas mereka gabung dalam obrolan itu, karena terdengar menarik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angelic Demon
Fanfiction"Halo kak, lets play, shall we?" Davina Almeira merupakan seorang gadis yang tinggal bersama keluarganya sebagai anak tunggal. Ia tersiksa selama ini karena kedua orang tuanya memang tidak menginginkan kehadirannya. Ia akhirnya harus menerima fakta...