19; Psikopat

734 108 3
                                    

Mejanya telah rapi, tanpa ada apa pun di atasnya, tanpa ada coretan tinta sedikit pun  padanya, ia telah membereskan pekerjaan anak-anak nakal yang mungkin hanya merepotkannya sedikit. Ia sudah pernah mengalami yang jauh lebih parah, ini tidak ada apa-apanya.

Tubuhnya sedikit tertarik ke belakang begitu tas ransel ia pakai tepat di kedua pundaknya. Menjadi anak IPA memang berat, itulah yang ia rasakan selama dua tahun ini. Hebat juga karena dapat bertahan hidup dengan nilai yang cukup memuaskan.

Setelah doa pulang selesai dibacakan, ia bergegas untuk melihat keramaian di sepanjang matanya memandang. Mengejutkannya lagi, beberapa garis polisi berwarna kuning memenuhi tempat itu, yang mana kakinya ia gunakan untuk berlarian kecil demi melihat apa yang terjadi.

Matanya melotot, seorang pemuda sedang memasukkan mayat ke dalam ambulans. Ditambah lagi, kain yang digunakan untuk menutupi terlihat sangat merah. Ia bergidik ngeri, mimik jijik dan kasihan bercampur menjadi satu. Ia memilih untuk menghindar dari kerumunan itu. Dua orang polisi tampak familiar di matanya, sebelumnya saat Detektif Sharon meninggal, ia juga melihat keduanya. Satu wanita dengan rambut pendek bob berponi, serta yang satunya lagi pria berbadan kekar dengan logat aneh juga lesung di kedua pipinya.

Mungkin nanti saja untuk mencari tahu tentang ini, ia lebih memilih untuk menghampiri gedung sebelah, kala ingin sampai ke kelas adiknya. Tangannya diangkat, dilambaikan begitu sosok lelaki familiar ada di hadapannya. Namun anehnya, raut muka adiknya tampak sedih.

"Lixie hei, kenapa?"

Sam yang masih setia mengelus punggung sahabatnya itu kini membantu menjelaskan, "dia masih sedih gara-gara Kak Thomas meninggal, kak. Soalnya tadi dia mau bolos, tapi Felix hentiin. Eh anaknya ga nurut. Jadi dia kepleset pager kak, terus ketusuk."

Felix sesenggukan, matanya memerah, bulir-bulir bening masih mengalir hingga dagunya. "A-andai Felix bisa hentiin, tadi Kak Thomas n-nggak bakalan meninggal kak... Felix nggak becus... Felix ngecewain Sky..."

Ia lihat yang bersangkutan, Sky, juga ikut menenangkan yang lebih muda. Nampaknya lelaki itu panik, sebab Felix terlihat sekali bila sudah menangis cukup lama. Gadis itu mengusak perlahan pucuk kepala adiknya, menatap khawatir, kedua alisnya turun, berat hati untuk sekadar meninggalkan pamit pada adiknya kini. 

"Lixie, udah ngelakuin yang terbaik, itu bukan salah kamu. Udahan ya nangisnya? Nanti nggak ganteng lagi dong adeknya kakak. Mana senyum manisnya?"

Yang dipuji hanya dapat tersenyum malu-malu, rona merah mulai terlihat sedikit demi sedikit di pipinya, mungkin akibat kulit pucatnya diterpa sang mentari, juga bagaimana saudarinya membuat jantungnya berdegup lebih kencang. 

"Kakak mau kerja kelompok setelah ini, Lixie bisa kan pulang sendiri?"

Sebelum Felix dapat menginterupsi, Javier telah memotongnya. "Kebetulan kita mau nemenin Felix kak, mungkin dia masih shock. Boleh nggak kalo kita main?"

"Boleh kok, mama papa juga lagi keluar, masih kerja. Kakak udah bikinin ayam balado di dapur, ada cemilan juga di ruang tengah. Tolong temenin Felix dulu ya," balasnya supel.

"Waduh, kok ngerepotin gini kita kak, kan jadi enak, hehehe," celetuk Han. 

Kekehan singkat dilontarkan Davina sebagai balasan, sementara ia lajukan kakinya untuk meninggalkan mereka kala ia lirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya itu, sudah jam tiga sore lewat lima belas menit, ia harus segera bergegas. Untung saja ia sempat membeli buah-buahan dan roti di kantin mereka, mungkin lain kali saja ia akan membelikan Regina yang lebih mahal. Toh, bukan itu tujuannya. 

Rumah Regina seharusnya tak jauh dari akademi mereka, tak butuh waktu lama untuk dapat lekas sampai tujuan. Tas ranselnya bergerak ke atas dan ke bawah, memantul, seiring dengan langkah kakinya yang cepat. Ia usap peluh yang mengalir dari kening hingga lehernya, membuat wajahnya tampak bersinar. Mungkin kalau ia sedang lari pagi, jarak bukan jadi masalah baginya. Hanya saja, tubuhnya sangat lelah diterpa dengan lima mata pelajaran pokok pada hari yang sama. 

Ia akhirnya sampai, pada rumah megah bergaya old money khas seperti orang kaya jaman dahulu, sebetulnya terlihat dari gaya berpakaian Regina yang membuktikan bahwa dirinya adalah sosok berkelas, meski kelakuannya tidak demikian. Dengan sopan ia menekan tombol bel yang langsung memunculkan dua orang maid, tak disangka ia dapat diperlakukan spesial di rumah orang kaya. Kemungkinan besar karena Regina telah memberi tahu bahwa akan ada orang yang mengunjungi kediamannya. 

Benar saja, ia tertegun sejenak begitu gadis yang memakai gaun biru selutut itu keluar dengan kursi rodanya. Mukanya pucat pasi, bibirnya kering pecah-pecah, tatapannya kosong, sementara seluruh kakinya diperban. Sang gadis mengalihkan pandangannya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. 

"Masuk, Dav."

Lantas, ia menuruti, membuntuti sang gadis dengan kursi rodanya, lalu duduk pada sofa yang telah disediakan. Ia berdeham sebagai awalan, bersamaan dengan asisten rumah tangganya yang membawa dua minuman untuk disuguhkan. 

"Jawab pertanyaan gue dengan jujur Dav, gue mau tau seluk beluk lo dan keluarga lo." 

Davina meneguk ludah.

"Felix Lee, adik tiri atau kandung?"

Felix, ini tentang Felix. 

Berbohong pun tak ada manfaat untuknya. 

"Adik tiri, Re."

"Lo tau dia dari panti asuhan? Atau anaknya saudara terus orang tua lo adopsi?"

"Dari panti asuhan."

"Lo tau back story dia?"

Davina terdiam sejenak, lalu menggeleng.

Bibir Regina bergetar, tangisannya pecah sedetik kemudian, Davina panik, lantas mendekat untuk menenangkannya, takut akan maidnya yang berpikir bahwa ia macam-macam dan sudah melukai tuannya.

"Adik lo, psikopat, Dav."

Matanya membola sempurna.

"Dia yang bikin gue lumpuh!"

"G-gak mungkin Re-"

"Apa penjelasan yang harus gue kasih biar lo percaya?" Tanyanya, disela dengan tangisannya yang semakin keras. "Apa lo gak sadar, bahwa setiap orang yang jahat sama lo dia bakal celaka? ITU KARENA FELIX OBSESSED SAMA LO, DAV. TAPI LO GAK SADAR!" 

"Adik lo udah nyakitin banyak orang, korban dia udah banyak. Georgio, gue, Rachelle, Thomas... Pagi ini dia meninggal kan?" 

"Coba lo inget-inget, mereka yang udah ngebully lo, termasuk gue!" 

Rahangnya mengeras, ia tak dapat bicara apa-apa lagi, memang kejadian itu tampak seperti berkaitan. Tapi saudaranya yang melakukan hal sekeji itu? Tidak mungkin! Felix bahkan menangisi kepergian Thomas. 

"Gak, gak akan mungkin-"

"Felix itu manipulatif! Dia bisa mainin ekspresi sesuka dia, dia bisa bikin orang-orang tertarik, suka, bahkan jatuh cinta sama dia! Itu daya tarik psikopat Na. Coba gue tarik kembali waktu tes kepribadian. Apa polisi ngasih tau hasil punya Felix?"

Lagi-lagi, ia menggeleng. 

Regina mendekat, lantas menggenggam kedua tangan Davina. 

"Dav, gue minta maaf atas semua perlakuan gue ke lo, gue udah keterlaluan. But please, selamatin orang-orang dari adik lo, sebelum semuanya terlambat. Apa lo mau anak-anak akademi jadi korban lagi?"

"Aku harus apa Re?" Tanyanya tak percaya, suaranya parau seperti masih tak percaya. 

"Inget-inget siapa aja yang udah pernah jahat ke lo, lalu kumpulin bukti ke polisi kalo Felix pembunuhnya. Bertingkahlah seolah lo gak tau apa pun di depan Felix, dan comfort ke dia tentang hal 'memaafkan', doktrin dia supaya dia berubah, Dav. Cuma lo yang bisa."

"Kalau lo beruntung, lo harusnya bisa masukin Felix ke rumah sakit jiwa, biar dia dapet terapi dan penyembuhan secara medis."

Angelic DemonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang