Ia menyambar beberapa cookies buatan Felix, rasa manis dan lezatnya lumer pada indra perasanya, dominan cokelat, mungkin karena Felix mengetahui kakaknya menyukai demikian. Tubuhnya terasa lebih baik, setidaknya tak begitu lemas, ia memiliki cukup energi untuk menjalankan misinya. Gadis itu mengemasi barang-barang yang diperlukan, lantas melangkahkan kaki keluar dari rumahnya. Tetapi sebelum itu, ia sudah meninggalkan catatan yang ia tempel pada kulkas, jaga-jaga apabila adiknya pulang terlebih dahulu.
Rumah megah itu tersaji di hadapannya, kedua penjaga dengan senang hati membuka pintu untuknya, agaknya telah familiar dengan parasnya. Juga, wajah pelajarnya tak dapat dipungkiri, Davina memang memiliki aura dan meninggalkan kesan pertama baik bagi siapa pun. Tak lupa, seutas senyumnya ia berikan pada satu wanita dan satu pria yang tadinya akan menghadang.
Regina menemuinya, masih terduduk pada kursi rodanya, gadis itu tersenyum, senang akan Davina yang telah memberikan kepercayaannya. Lagi pula, perkataan Regina memang benar adanya, ia tak memiliki alasan lagi untuk membencinya hanya karena kejadian tempo hari. Gadis itu menatap canggung sebelum menghembuskan nafasnya perlahan.
"Re, aku mau kasih tau sesuatu."
Alisnya terangkat, semakin penasaran dengan apa yang akan diperlihatkan oleh lawan bicaranya. Betapa ia terkejutnya bukan main begitu namanya terpampang jelas pada buku harian sang iblis. Yang membuatnya lebih merinding adalah ketika asmanya belum dicoret oleh sang empu, menandakan bahwa ajalnya akan tetap berada di tangan Felix.
"Well, dia bakal tetep bunuh gue ya?"
"Rere... Aku bakal lindungin kamu! Setidaknya aku janji masukin Felix ke rumah sakit."
Air matanya lolos begitu saja, ia tak menyangka kalimat tersebut keluar dari seseorang yang pernah dirundung olehnya. Tak heran jika Felix tergila-gila dengan gadis di hadapannya ini, siapa yang tidak suka dengan sikap baiknya?
"Makasih Na... Maaf udah bikin lo sedih, maafin semua kesalahan gue, will you?"
"Kamu temenku, Re. Aku udah maafin kamu."
Sekali lagi, dadanya menghangat mendengar kalimat itu. Davina benar-benar seorang malaikat. Dan ia bersyukur untuk itu.
"Jadi, menurut kamu, harus gimana?"
"Lo kenal dia dari panti asuhan kan? Coba kita ke panti asuhan aja dulu."
"Loh? Kamu gimana Re? Kaki kamu..."
Regina hanya dapat menahan air mata. "Di rumah akan jauh nggak aman bagi gue Na. Felix... dia pasti nemuin gue, bahkan sampe di ujung dunia sekalipun."
Davina menatapnya iba, gadis itu benar, adiknya pasti akan membunuhnya jika memiliki kesempatan. Apalagi, lagaknya yang mencurigakan setelah Felix memutuskan untuk memberinya ampun dengan membiarkannya lolos begitu saja.
Ia sepertinya menuruti saran Regina, barang yang semula ia keluarkan sebagai bukti, kini ia simpan rapat-rapat dalam tasnya, Regina juga sudah memberi informasi mengenai panti asuhan yang akan dituju pada sopirnya karena sebelumnya telah ditunjukkan juga oleh Davina. Dengan hati-hati, para asisten rumah tangganya dengan sigap membantu nonanya untuk masuk dalam mobil miliknya. Begitu pun Davina, ia baru masuk kendaraan setelah dipersilakan.
"Ini ke Panti Asuhan Suara Hati, betul non?"
Regina mengangguk, tak butuh lama agar sopirnya melajukan kendaraan dengan kecepatan normal, Davina ingat betul jalan-jalan yang mereka lalui meski baru kali pertama ia mengunjungi tempat itu. Ia merasakan campur aduk dalam hatinya, merasa khawatir akan Felix yang pulang mendahului dirinya, di sisi lain juga merasa harus bertanggung jawab pada Regina untuk mengirim Felix demi mendapat penanganan dari sang ahli. Sudah tak ada sepeser pun rasa ragu dari dalam hatinya.
Setelah beberapa menit, mereka akhirnya sampai pada tujuan. Mungkin cukup lama mereka berada dalam perjalanan, namun kendaraan tak padat, sehingga dapat mempersingkat waktu mereka. Zion-sopir pribadinya, membantu nona mudanya untuk turun dengan perlahan, untung saja jalanan di panti asuhan itu rata, jadi tak membahayakan baginya.
Keduanya berjalan beriringan melewati padang rumput yang telah dipotong halus, Davina berinisiatif untuk mengetuk pintu, memunculkan seorang wanita paruh baya dengan kemeja hitam dan kerah putih, beserta celana kain yang berwarna hitam pula. Wanita itu tampak sedikit kebingungan, bukan pasutri yang datang, melainkan dua gadis remaja.
"Kalian berdua mau adopsi?"
Keduanya serempak menggeleng, kemudian menjalin kontak mata, lantas tertawa lepas.
"Maaf bu, kami mau bertanya mengenai Felix Lee."
"Ah, yang belum lama ini diadopsi ya? Baik, silahkan masuk," sambutnya ramah.
Regina dan Davina akhirnya memberanikan diri untuk melangkahkan kaki pada ruangan serba cokelat yang cukup besar, setidaknya cukup untuk menampung beberapa tamu. Ia senang melihat interior di dalamnya, begitu apik dan menyejukkan mata. Ketiganya duduk, kemudian salah satu laki-laki datang dan meletakkan tiga cangkir berisi teh hangat.
"Jadi, apa ada masalah?"
"Begini bu, saya adalah anggota keluarga yang mengadopsi Felix waktu itu. Saya hanya mau bertanya beberapa detail. Bisa ceritakan bagaimana Felix akhirnya datang kesini?"
Wanita itu tampak berpikir sejenak. "Dulu, Felix datang kesini saat masih kecil sekali, mungkin kurang lebih delapan tahun, saya juga tidak tau umur Felix secara pasti, karena Felix tampak sangat dewasa untuk anak seumurannya. Dia bilang bahwa orang tuanya meninggal karena kecelakaan, sebab itu baju Felix penuh dengan darah saat pertama kali disini, untung saya sempat bawa dia ke rumah sakit. Tetapi, dia tidak mengalami luka fatal apapun, cuma goresan sedikit di lengan dan pahanya.
Keduanya diam.
"Felix itu... tampak seperti orang berada dulunya, bajunya terkesan mewah dan mahal, rambutnya pirang, dia juga punya banyak perhiasan, seperti anting yang dia pakai, atau rosario. Dia juga punya liontin pemberian ibunya, masih disimpan rapat-rapat. Dia bilang bahwa dia nggak ingat apa-apa setelah kecelakaan itu, termasuk tentang dirinya sendiri, mungkin cuma ingat perkara kecelakaan itu sebab trauma yang mendalam."
"Ini, liontinnya tertinggal disini," lanjutnya lagi, kali ini sembari menyerahkan kalung dengan batu merah di tengahnya, Regina menerimanya dengan lembut.
Regina merasa begitu iba terhadap cerita wanita di hadapannya perihal Felix. Namun berbanding terbalik dengan Davina, ia malah menatap horor seolah telah terjadi sesuatu yang mengerikan.
"Dav? Kenapa?"
"Dia bohong, mereka nggak kecelakaan."
"Maksud kamu bagaimana nak?"
"Bu, Felix cerita kalau dia punya saudari? Atau dia memang anak tunggal?" Tanyanya.
"Iya, dia punya saudari kandung. Tetapi Felix tidak ingat dimana saudarinya, yang dia omongkan cuma soal orang tuanya."
Keluarga Lee menghilang.
Tiga kata yang terngiang di dalam otaknya, ia coba memutar balik segala percakapannya dengan Felix agar membuat kesimpulannya benar. Namun tetap saja, tak ada bukti bahwa Felix memiliki gangguan jiwa disini.
Berpikirlah lebih pintar, Davina.
"Selama bertahun-tahun itu, Felix tidak pernah diadopsi oleh siapa pun bu? Hanya keluarga saya?"
"Semua orang sudah mencoba nak, mungkin karena Felix baik, penurut, dan tampan. Tetapi semua orang ditolak oleh Felix. Hanya kamu dan keluargamu, keluarga pertama yang diterima Felix untuk mengadopsi dirinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Angelic Demon
Fanfiction"Halo kak, lets play, shall we?" Davina Almeira merupakan seorang gadis yang tinggal bersama keluarganya sebagai anak tunggal. Ia tersiksa selama ini karena kedua orang tuanya memang tidak menginginkan kehadirannya. Ia akhirnya harus menerima fakta...