✧DelapanBelas✧

91.3K 6.8K 32
                                    

Happy Reading guys♡



***

Pintu di depan Radit terbuka. Sosok Ifana datang dengan mata membulat terkejut, bahkan membekap mulutnya seakan tak percaya Radit ada di depannya.

“K--Kak Tio? Ada apa? Kok bisa ke sini? Kok tau ruma---”

“Tante Indri mana?” Radit bertanya mengabaikan pertanyaan beruntun Ifana.

“Ah, mama? Ada, ada kok di kamar.”

Radit menerobos masuk, bahkan tanpa sengaja bahunya bertabrakan dengan bahu Ifana membuat cewek itu agak tergeser ke sisi pintu. Katakan saja Radit tak sopan masuk begitu saja ke rumah orang.

Ifana menipiskan bibir, lalu mengikuti arah langkah Radit dari belakang. “Maaf, Kak. Rumahnya ... sempit.”

Gumaman Ifana Radit abaikan. Ia membuka pintu kamar karena memang hanya ada satu kamar di sana. Sosok yang pertama Radit lihat adalah Indri yang terbaring lemah di atas ranjang kecil, tubuhnya diselimuti sampai leher dan ada beberapa tablet obat di meja samping.

Mata Radit mendadak memanas.

Cowok itu jongkok, menyentuh tangan Indri. Mungkin karena pergerakan itu, Indri membuka matanya dan terkejut mendapati sosok Radit.

“Tante ... apa kabar?”

Meskipun terkejut, tak bisa dipungkiri rasa bahagia menyelimuti hatinya. Indri tersenyum dan merubah posisinya menjadi duduk bersandar.

“Radit, Tante baik. Kamu gimana? Lama nggak ketemu, kamu baik-baik aja, kan?”

Indri menarik Radit memeluknya. Hal yang membuat Ifana memalingkan wajah karena tak kuasa melihat adegan itu lama-lama atau air matanya akan luruh. “Ifa ambil minum buat Kak Tio dulu,” pamit Ifana segera pergi dari sana.

“Mama sama Papa pasti marah besar sama Tante kalau mereka tau,” ujar Radit, melapas pelukannya.

Indri tersenyum hangat. “Kita udah banyak ngerepotin keluarga kamu, Radit.”

Indri merasa, sudah cukup sampai sini keluarga mereka merepotkan keluarga Erlangga. Bukan berarti Indri ingin memutuskan tali silaturahmi.

Sekecil apapun kesusahan yang keluarga mereka punya, keluarga Erlangga selalu berdiri paling depan untuk membantu. Tentu Indri sungkan karena mereka terus-menerus membantu tanpa mau dibalas.

“Dan kalau itu alasannya, mama sama papa justru bakal lebih marah.”

Indri tersenyum lagi. “Maaf, ya.”

Radit diam tak menjawab. “Tante ... sakit apa?”

“Cuma kecapean, terus banyak pikiran. Selain itu, Tante baik-baik aja.”

“Kenapa nggak ke rumah sakit?”

“Sekali lagi, Tante baik-baik aja.”

Radit diam sesaat, lalu kembali bertanya, “Om Derka ...?”

Indri berkaca-kaca, merasa diingatkan lagi tentang kesedihan ini. Entah keberapa kalinya ia menangis dalam sehari.

“Om Derka, suami Tante. U--dah pergi, Dit.” Indri terbata-bata saat menjelaskan, berkali-kali mengusap pipinya yang basah. “Ternyata ... dia nyembunyiin penyakit jantungnya selama ini sama kita semua. Dia---”

Indri tak bisa melanjutkan kata-katanya, membuat Radit memeluk Indri kembali.

Dalam diam, Radit mengusap matanya. Ternyata, ucapan Ifana tadi benar, cewek itu sama sekali tidak berbohong untuk mengambil simpatinya.

Line of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang