✧Tiga✧

98K 7.1K 47
                                    

Happy Reading♡♡



***

“Waah, ini sepatu yang aku pengen dari kemarin!”

Radit tersenyum lebar, merasa puas dan bangga pada diri sendiri. Berkat Dina, teman dekat Erika ia tahu apa yang sedang Erika inginkan. Dan sepatu inilah yang cewek itu incar sejak kemarin.

Tiba-tiba kotak hadiah dari Radit itu ia dorong menjauh membuat Radit mengangkat alis. “Kenapa?”

Erika mencebikkan bibir. “Bukan berarti aku nggak marah lagi sama kamu.”

Radit tersenyum. “Iya, kamu bebas marah sama aku, karena emang aku yang salah. Eh, tapi ini sepatunya diterima, kan?”

Erika diam, menatap sepatu itu.

Diamnya Erika membuat Radit menarik sudut bibirnya. “Diterima, dong! Aku udah beli buat kamu masa nggak diterima.”

“Ya udah, deh. Aku terima. Makasih, Sayang!”

Radit menunduk menahan senyum. Entahlah, dia seperti orang gila yang senyum-senyum sendiri karena panggilan Erika yang ditujukan padanya.

“Dimakan, gih! Abis ini mau jalan-jalan nggak?” tanya Radit.

Erika mendongak, membalas tatapan Radit. “Aku udah bilang, kan. Aku nggak selalu punya waktu luang, aku punya banyak kesibukan. Dimulai urusan sekolah, acara keluarga, pokoknya banyak. Dan karena itu kita jarang keluar sekedar jalan-jalan karena saat aku nggak sibuk, kamu yang sibuk dengan urusan sepupumu itu.”

Erika memang salah satu anggota inti OSIS, juga berasal dari keluarga kaya yang artinya ia juga harus belajar bisnis mengingat ia anak tunggal.

Mendengar ucapan Erika, Radit mengerutkan kening. “Kok bawa-bawa Ifa lagi?”

Erika mengedikkan bahunya. “Nggak, aku nggak nyebut namanya tadi!”

Walau begitu, Radit paham apa maksud Erika. “Aku udah di sini, kan, sekarang. Kasih dikit kejutan buat kamu. Dan nggak ada Ifa. Itu masih kurang, ya? Untuk kemarin-kemarin, oke deh aku yang salah. Tapi sekarang, kan, nggak ada Ifa. Tapi kamu tetap ungkit-ungkit dia.”

Radit hanya tak suka Ifana dikaitkan pada hubungannya yang sering tak berjalan mulus ini. Ifana hanya anak SMP manja yang sering bergantung padanya.

Erika menyesap minumannya. “Oke, aku yang salah.”

Radit menghembuskan napas panjang. Dari nada bicaranya, Erika sangat tak terima dan seperti menahan kesal.

“Aku pulang.” Erika tiba-tiba berdiri, mengambil tasnya membuat Radit buru-buru mencegah dengan mencekal pergelangan tangan Erika.

“Mau ke mana?”

“Pulang.”

“Secepat ini? Makanan kamu belum abis.”

Erika menipiskan bibir lalu melepas cekalan tangannya. “Iya, secepat ini. Aku sibuk.”

Lagi, Radit menahan pergelangan tangannya. “Aku anterin.”

“Nggak usah.”

Belum sempat menahannya lagi, Erika lebih dulu menepis tangannya dan keluar kafe. Bahkan cewek itu sampai lupa membawa hadiah pemberian Radit.

“Erika, sepatu kamu!” Radit berniat mengejarnya, berharap Erika masih terlihat setidaknya di luar kafe. Namun nyatanya, cewek itu sudah masuk mobil dan perlahan pergi.

Helaan napas panjang keluar, Radit memandangi kotak dengan pinta merah di atasnya dengan sendu. Padahal belum ada dua jam ia tiba di sini dan bertemu dengan Erika.

Line of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang